Kamis, 15 September 2016

Burger Isi Gado-Gado

Siang ini, ditengah keinginan saya membeli lotek-atau biasa dikenal oleh orang Jabodetabek sebagai gado-gado (karena di Jogja lotek dan gado-gado adalah makanan berbeda) atas keresahan saya terhadap keinginan mengunyah sayur setelah terpapar daging idul adha, saya teringat hal yang pernah saya lakukan dahulu di rumah.

Kala itu siang-siang Ibu saya pulang membawa gado-gado. Lupa jumlah bungkusannya, saya makan bersama adik-adik dari satu bungkusan yang sama. Saya mengapit gado-gado di antara kerupuk lalu bilang ke adik saya, "Burger isi gado-gado!" dengan nada seceria mungkin. Lalu adik saya tertawa riang sekali. Dan kemudian nyaris tiap suapan kami akan mengulang hal yang sama, menyelipkan gado-gado di antara kerupuk seolah-olah kerupuk adalah roti burger dan isi gado-gado sebagai dagingnya. Dan kami bahagia dengan alasan yang kami buat sendiri.

Saya lupa itu kejadian tahun berapa. Tapi kalau tidak salah ingat, saya masih aliyah. Dan adik bungsu saya yang baru lahir di akhir tahun masehi ketika saya kelas 9 hanya memperoleh tiga kemungkinan : umur 1, 2, atau 3. Ah, barangkali itu saat dia tiga tahun. Rasa-rasanya itu usia yang cukup layak kalau mengunyah gado-gado.

Saya mengenang kejadian itu sambil mengingat betapa singkat usia yang saya habiskan bersama adik saya. Sekolah tidak tinggal di rumah. Jarang-jarang pulang. Membuat saya hanya mengalami sebagian kecil perkembangan adik-adik kecil itu. Saya mengenang kejadian itu sambil mengingat betapa saya mau saja berulangkali melakukan hal bodoh menyebut kerupuk-gado-gado-kerupuk sebagai burger agar dia, dan saya juga, tertawa bersama. Saya mengenang kejadian itu sambil mengawang-awang betapa kita harus berpandai-pandai memosisikan diri menghadapi anak-anak(kita kelak)-sesuai usia dan zamannya.

Di tengah perjuangan penghabisan masa studi ini, saya selalu punya keinginan untuk pulang ke rumah setelah selesai segala urusan di Jogja. Sebagaimana cerita-cerita yang saya dan Nadiyah saling tukar, posisi menjadi anak pertama dan punya adik yang masih kecil, menerbitkan keinginan untuk segera selesai dan pulang. berKembali menjadi anak Ummi, kembali menjadi kakak-nya para adik, yang ada dan hadir di rumah. Yang belajar dari proses-proses hidup yang ada di rumah dan ikut terlibat membantu proses-proses itu. Yang menjadi tempat berbagi para adik soal cerita apa yang ada di sekolah. Langsung mendengar dan bukan sekadar via telepon.

"Dek, ini ada reading time di jadwal, bawa buku cerita sendiri apa udah ada di sekolah bukunya?"
"Biasanya sih Fatih baca buku pelajaran Mbak."#tepokjidat

"Ummi, Fatih kayaknya nggak kuat deh puasa arafahnya. Nanti zuhur buka ya? Kalau zuhur buka, dosanya yang diampunin cuma setahun aja ya?"

"Mbak ini ada kuis Bobo Mbak! Fatih udah tau jawabannya. Cepet Mbak, kirim-kirim lewat email Mbak Fitri. Wah nanti Fatih menang. Yang kemarin ngirim juga nanti menang lagi."
"Dek, yang ngirim kan nggak cuma Fatih doang. Ini pesertanya se-Indonesia."
.
.
terus pada kuis yang pertama dia beneran menang *terharu
"Wuuu...keren kan Fatih"-kirim voice note pake hape Ummi. Dapet tas dari Bobo.
.
pas ditelepon saya sama Ummi
"Mi, hadiah dari Bobo udah sampai?"
"Udah Mbak."
"Terus gimana si Fatih? Seneng?"
"Seneng Mbak.. Terus dia bilang, Mi tas di rumah udah banyak, kita kasih yang nggak mampu aja ya nanti." #terharu

"Mbak, Fatih libur sampai Rabu. Kamis masuk potong kambing. Paling nanti makanya sate lagi."
"Kok tau Dek?"
"Kan taun lalu juga gitu, Mbak. Hehe. Kayaknya sih."

"Fatih kenapa nangis?"
"Tadi Fatih naik sepeda, terus ada yang ngatain Fatih sok di jalan."-ngelanjutin nangis.

"Fatih mau sarapan sama bekal apa?"
"Apa ya Mbak...Fatih bingung."-saat itu dia lagi sariawan.
"Mbak...Fatih bingung, Fatih puasa aja deh Mbak..."
"Lah puasa apa Dek emangnya? Kan besok Jumat"-menahan ketawa.
"Puasa hmmm. Puasa Daud nggak boleh ya Mbak sehari aja?"

Bogor, 11 Januari 2016




1 komentar: