Pages

Minggu, 26 Juni 2016

Di Balik

"Saya tulis di facebook ya Fitri. Biar menginspirasi."
//saya teringat postingan rian yang ini. Ga ditulis disana sih tapi inget dia pernah nyatut soal mengabarkan rezeki sebagaimana di Ad Dhuha:11
"Hmm baik bu kalau begitu"
.
.
"Tapi sebenarnya saya malu, Bu"
//lama nggak dibalas
"Saya tulis ya **maksa"
//kemudian saya khawatir sama responnya.
***

Tidak ada teman jurusan yang tahu soal rencana kepergian saya hari ini sebenarnya, sampai dosen pembimbing saya memaksa mengabarkan via akun sosmednya kamis lalu-dimana sejak hari itu saya beneran belum buka home fb lagi (udah lama sih ga buka home fb, awalnya karena menghindari baper sidang yang tidak perlu)
Sebenarnya saya sudah kabari beliau sejak lama. Tapi setidaknya saya bersyukur beliau nggak ngeh, karena kalau ngeh maka pengumuman via akun fbnya akan lebih awal dikabarkan.

Bukan apa-apa. Saya hanya menahan diri agar tidak terlalu mengumumkan-atau sederhananya memberi tahu banyak orang soal agenda ini. Karena tipe pemikir berlebihan yang entah mengapa saya anut, somehow membuat saya menjadi lebih lelah pikiran pasca lolosnya saya pada summer program ini-ketimbang ketika melalui liku pendaftaran-pendaftaran yang pernah saya lalui. Saya khawatir dengan ekspektasi orang. Saya tidak suka segala hal ini dikaitkan dengan ke-ayah-an. Saya takut orang hanya menilai luarnya saja ketimbang bahwa saya punya kekhawatiran bahwa setelah serangkaian agenda ini, saya harus jadi pribadi yang lebih baik lagi.

Sebelumnya saya ingin bilang bahwa, adalah kesyukuran tiada hingga ketika Allah memberi saya nikmat lolos pada program ini. Memberi saya kemampuan untuk ikut programnya. Lahir maupun batin.

Salah satu ketakutan juga adalah tentang apa yang orang lain lihat dan tangkap secara sekilas, secara tersirat, ketika tahu saya lolos program ini. Karena di dunia kita sekarang, kita cenderung melihat prestasi dan posisi dunia sebagai sesuatu yang keren. Ketua A, B, C, D. Sekjend J, K, L, M. Juara F, G, H, I. Sudah ke P, Q, R, S. Padahal jaman para ulama dulu, kata seorang kakak, orang dilihat dari berapa banyak ia berguru menuntut ilmu, seberapa jauh ia berjalan untuk benar-benar memvalidasi dalam proses meriwayatkan hadits. Dan betapa-sungguh kita masih jauh daripada itu.

Barangkali kita bisa menyangkal; kalau ya itu dulu para ulama bukan konteks kekinian. Tapi ketika menuntut ilmu agama adalah fardu ain dan  pemahaman melandaskan kegiatan apapun sebagai upaya ibadah masih bukan menjadi prioritas. Mau dibawa kemana akhirat kita :" ?

Jadi, maksud saya menulis ini adalah saya takut sekali dengan pandangan orang-orang setelah tau. Takut sekali dengan ekspektasi orang-orang. Sayanya yang khawatiran sih ya. Tapi saya pribadi benar-benar mengalami yang namanya resah ketika mampir OIA buat ngambil berkas kelengkapan visa yang dikirim langsung dari Jepang. Saya nanya ke diri sendiri. Saya meyakinkan diri sendiri. And it was never been easy. Makanya saya bilang tadi kalau ternyata ngurus segala proses pasca lolos lebih mengaduk-aduk diri dibandingkan proses daftar-daftarnya meskipun yang ini capek fisik :"

Anyway, semoga kita semua jadi pribadi yang lebih baik lagi. Selamat 100 hari terakhir. Pamungkas. Semoga ridha Allah tetap jadi tujuan utama :')

-penerbangan kode AK 349
-di atas awan
-18.02

Rabu, 22 Juni 2016

Bukan Tentang Diri Sendiri

Ketidaksengajaan perjalanan mengantarkan saya dan Husna ke Masjid Jogokariyan. Sudah lama sebenarnya penasaran sama masjid ini kalo pas Ramadhan. katanya, lagi nggak Ramadhan aja subuhnya penuh. Dan, kalau diingat-ingat mungkin terakhir kesini ada enam bulanan yang lalu saat jadwal asrama.

Jogokariyan dikenal sebagai kampung Ramadhan. Dari jaman 2014 kayanya aku tau kalo Ramahan di Jogokariyan itu rame banget. Dan benar. rame jualan. Rame acara. Rame dekorasinya Rame jugaaa hidangan berbukanya. Pas kita datang di waktu yang mepet azan, kita langsung disuguhi sepiring nasi gudeg, kurma,  dan air minum. Dan masih super banyak hidangan yang tersaji, padahal semua jamaah yang udah datang juga udah dapat hidangan tersebut. Dan yang membuat takjub adalah, seluruh hidangan ini disajikan pake piring beling. Which is itu harus dicuci, bukan sekali buang kayak nasi kotak atau nasi bungkuss kayak dua masjid lain yang saya pernah buka di sana.
.
.
.
soalnya....masyarakatnya mau berburu pahala nyuci piring-piring kotor itu :"

kemudian bada shalat magrib, kami kedapatan shaf di halaman, beralaskan tikar. dan depan samping kami ada meja yang tadi dipakai buat menghidangkan bertumpuk piring dan gelas.
terus ada yang lagi beresin piring dan gelas kotornya. Cekatan sekali.
seorang bapak bertangan satu. tangan kirinya hanya sebatas siku.
.
.
.
saat itu kami berdua makin tersadar-sebenarnya saya pernah mau bikin tulisan sejenis setelah menyadari kondisi seorang ibu dengan anak kecil saat Ramadhan-bahwa Ramadhan bukan hanya soal peningkatan capaian diri sendiri. Barangkali kita masih sibuk sama capaian-capaian pribadi. Kuaantitas halaman, rakaat shalat malam, ziyadah dan murajaah hafalan, seberapa sering ikut kajian, berapa banyak yang sudah disedekahkan. Dan dengan bangganya kita merasa Ramadhan kali ini lebih baik dibanding A, B, C, D yang mungkin capaian pribadinya belum sejauh itu.


Lupa kalau masih ada hal-hal yang barangkali untuk orang lain, yang dilakukan teman-teman kita. Hemh, jauh sekali ya masihan levelnya. Mari bebenah diri. Suka kagum sama orang yang baiiik banget nawarin bantuan buat orang lain. Semoga Allah menguatkan kita semua untuk kian bermanfaat bagi orang lain. Aamiin.


Jumat, 17 Juni 2016

Sidang Satu-per-Satu

Saya menulis ini di ruang sidang skripsinya Maya. Reflek begitu saja setelah kebaperan baru tau Nana sidang nanti siang. Bahkan pake keypad hp. Sekarang sidang Maya-temen (seper)juangan saya di makul sistem pakar. Dan akumulasi mengawal perjuangan 3 malamnya Zahra atas nulis skripsinya.
Ada yang saya takut : ditinggal skripsi-sidang-wisuda. Ditinggal nikah juga takut sih. Tapi saya sadar itu niscaya. Sangat mungkin. Ih apalagi kalo buka sosmed. Itu yang namanya temen itebe kayak panen aja sidangnya. Pekan ini-sejak aturan prodi berubah soal jadwal submit dan sidang-adalah jadwal sidang. Dan karenanya jadwal sidang itu bertubi-tubi tanpa ampun. Bisa paralel sampai 4. Dan bisa berturut-turut 3 sesi. Dan saya tau saya tetap bahagia atas kebahagiaan teman saya.  Walaupun di balik itu semua bisa baper guling-guling *hiks
Barangkali memang saya yang belum bisa atur waktu dan prioritas. Juga fokus yang akhir-akhir ini susah diduakan ke sana *bukan multitasking jenis fokus yang bisa dilakukan cewek macem saya ternyata. Ayo bangun Fiit :')
Dear gengs, kuminta doa ya huhu. Kalian yang membaca tidak perlu komen (di sini ataupun di dunia nyata). Cukup doa saja. Nggak perlu bilang-bilang juga. Saya butuh banyak doa, tapi saya tau saya juga butuh usaha lebih. Semoga Allah menguatkan saya :"
Terimakasih sudah mampir dan membaca. Menjenak dan barangkali menyempatkan doa. Sungguh pada doa-doa kita malaikat akan memintakan pada Allah doa yang sama bagi si pemgucap doa. Dan saya mendoakan teman-teman juga dilancarkan buat skripsinya. Yang udah selesai, saya doakan lancar, kuat, manfaat pasca skripsi. Sampai jumpa juga dalam keadaan yang lebih baik (baca: saya lulus makul TA)

Selasa, 14 Juni 2016

/halo

/halo
kenapa kalian,
ngangenin banget sih :"

Sabtu, 11 Juni 2016

Sampai Jummpa Besok, FLP-ku :")



sampai jumpa besok, FLP ranger!
#KatakanCinta;
kajian tentang agama dan cerita tentang apa saja
12-6-2016

Jumat, 10 Juni 2016

Confidence Is

Confidence isn't "they will like me"
Confidence is "i'll be fine if they don't"
@powerofspeech

If you not willing to learn, no one can help you. If you're determined to learn, no one can stop you.
-Zig Ziglar


Life is not about achieving, life is accepting.
-Siva

berjuang Fit, menangkan!

#setelahsiangsiangmewek:"

Selasa, 07 Juni 2016

Kesalehan Sosial

Ada kesalehan yang seharusnya juga menjadi harapan kita semua. Namanya kesalehan sosial. Saleh yang bukan diri kita sendiri. Saleh yang bukan kita dan lingkaran-lingkaran di sekitar kita. Tapi saleh yang menyentuh semua dimensi dan lapisan masyarakat.

Kita tentunya menginginkan lingkungan yang kondusif. Yang masyarakatnya saling percaya, jujur, santun, sopan, saling menghormati dan menghargai, disiplin, jujur, menepati janji. Dan masih banyak lagi. Sekali lagi, di semua dimensi. Di semua lingkaran yang kita punya.

Betapa terkejutnya saya ketika suatu waktu saya meminta maaf telat rapat lalu dibalas, tidak apapa, yang lain juga pada belum datang. Betapa budaya telat pada akhirnya menjadi pemakluman. Akibatnya, kita sering sengaja mempublikasi jam kumpul atau jam mulai acara setengah jam atau satu jam lebih awal karena cap karet sudah tertempel dengan masyarakat kita. Padahal, apa sulitnya bilang tidak bisa kalau memang tidak bisa hadir. Apa sulitnya bilang izin telat diawal kalau memang kita tahu jarak acara sebelumnya ditambah perjalanan tidak akan memenuhi titel datang tepat waktu.

Hari ini, tulisan ini terilhami oleh mirisnya saya ketika sepulang dari maskam bakda buka puasa, sepanjang jalan olahraga yang biasa dipakai pasar kaget sunday morning sampai jalan bawah dekat pom bensin masih ramai oleh manusia. Ramai jajan dan memuaskan keinginan perut dan mata. Orang-orang makan sambil duduk dan berdiri. Orang-orang duduk di tepian jalan dan bahkan batas tengah antar ruas jalan. Parkiran ramai betul. Yang diuntungkan bukan hanya pedagang takjil, tapi juga para penjaga parkir. Pengemudi kendaraan mengantri sepanjang jalan karena padatnya jalan membuat susah dilalui. Orang-orang masih bercanda tawa sementara sisa waktu magrib kian menipis. Bukan hanya pembelinya, juga pedagangnya, apa mereka sudah shalat magrib?

Masjid-masjid kita mungkin penuh dengan kajian menjelang buka puasa. Penuh dengan derma orang yang menjelma jadi sajian berbuka, bisa sekadar kurma, minuman berasa, bahkan santap makan malam. Tapi jalanan juga penuh dengan manusia, yang keluar ngabuburit hunting jajanan dan-katanya-kebersamaan. Yang semoga tidiak lupa setelah buka kita masih punya kewajiban shalat magrib yang terbatasi oleh waktu.

Saya jadi teringat salah satu kajian. Pembicaranya bilang begini :
Ramadhan itu, apakah akan sekadar menjadi perbaikan ketaqwaan pribadi, atau perbaikan hakiki pada setiap dimensi?
Semoga dimanapun kita berada kita bisa jadi agen yang turut mewujudkan kesalehan sosial di sekitar kita. Aamiin.

Senin, 06 Juni 2016

Soal Ramadhan Kita

Saya sejujurnya memulai Ramadhan ini dengan cukup baper kalau mengingat Ramadhan tahu lalu. Saya sakit di bulan Juni di mana saya pun harus memasuki Ramadhan dengan kondisi yang belum fit. Dua butir obat adalah teman setia saya saat sahur dan berbuka. Kala itu, saya sampai cek lab 3-4 kali dan saya ingat betul malama tarawih pertama saya baru pulang urus hasil lab, dibonceng Nusa, mampir beli makan, ke asrama, kemudian Nusa tarawih di UII dan saya di asrama.

Saya mengingat perjuangan Mbak Nurra skripsian ramadhan 2014 ketika saya masih di kosan. Dan Mbak Nurra secara amazing, di tengah skripsiannya, tetap bisa memotivasi saya untuk rutin datang kajian buka puasa di maskam. Apa kabar ibu guru Pribadi yang sekarang S2 di Taiwan? Cepet banget ya Mbak dari ketika menyaksikan perjuangan skripsimu itu. Sekarang aku yang ngerasainnya :"

Saya mengingat ramadhan 2012 ketika hari pertamanya saya habiskan di kereta sepulang dari daftar ulang masuk UGM. Juga mengingat temen saya yang cerita Ramadhannya sampai detik ini masih terus saya ingat *halo, apa kabar?

Saya mengingat ramadhan 2011 di mana hari pertama itu saya dan tim tatib lain kumpul bareng adek Magnivic. Kumpul perdana internalisasi bakda PTS yang melelahkan (tapi bahagia), tapi kumpul yang selo dan penuh ketawa. Tidak ada marah-marah, tidak ada toa, tidak ada teriakan. yang adda hanya bagaimana kami saling bercerita dan sharing. Yang kemudian pulang dari ruang audio visual kamar bagian depan saya di 101 H gelap.

Ada hal lain ketika saya memulai Ramadhan kali ini. Tapi sebenarnya, bukan itu yang ingin saya ceritakan. Haha, intronya kepanjangan #dasarbaper.

Hari ini saya membaca sebuah bc-n WA yang menceritakan suatu sekte di agama lain yang melakukan ritual puasa satu kali seminggu. kemudian mereka menyedekahkan uang yang seharusnya mereka pakai untuk makan. Suatu kali, ketika mereka bertemu dengan seorang muslim, dikatakanlah bahwa ia kagum dengan ritual berpuasa sebulan penuh yang dijalankan kaum muslimin. Katanya, "Berarti kalian bisa menyedekahkan banyak untuk orang-orang yang membutuhkan."-Kalimat yang menjadi bumerang bagi si pembuat status yang cerita ini.

Bagaimanalah jika tidak tertegun, karena bulan puasa begini, mata lebih lapar duluan dibanding perut. Sebagaimana hasil temuan Arum, saya sejujurnya nggak nyangka kalau Ramadhan bahkan mengubah trending topicc mesin pencari kita. Sehingga pengeluaran untuk beli printilan makanan seperti jajan-jajan es dan cemilan, juga peraasan untuk membeli lauk yang lebih mahal menjadi tidak disayangkan.

Kita boleh saja meyangkal membaca realita ini. Barangkali kita bukan termasuk orang yang suka belanja banyak untuk buka puasa. Atau malah menyengaja berburu takjil dan makan nasi gratisan yang disediakan masjid-masjid sebagai perpanjangan tangan para donatur. Tapi barangkali ada yang kita lupa. Pertama, maklumat puasa tidak mesti macam-macam makanannya mugkin karena kita terbiasa shaum sunnah sehingga puasa menjadi tidak sebutuh itu terkait makanan-makanan hidangan berbuka yang mewah. Itu artinya, di luar sana masih ada orang yang belum biasa dengan shaum sunnah-bisa belum biasa atau malah bisa jadi tidak tahu. Kedua, barangkali kita termasuk orang-orang yang belum menyadari bahwa uang jatah makan-setidaknya siang, atau juga ditambah makan malam karena makan malam kita sudah menginduk pada masjid-punya peluang untuk berbuah 700kali lipat dengan disedekahkan *baca : Al Baqarah 261-264.

Tidak perlu berpanjang lagi, baiknya saya sudahi. Semoga bisa menjadi perenungan. Dan sungguh, ini perenungan juga buat saya sendiri (mulai dari membaca bc-an wa itu sampai menulis tulisan ini.
-semoga bermanfaat :)

Sabtu, 04 Juni 2016

Ada yang Tertinggal di Asrama

oleh: imamgination R1.7
dikutip dari share-an FB Dini dan ditulis oleh Devi


Ada lagu yang belum selesai kita nyanyikan
Sebuah tangga nada yang tak pernah usai

Ada lantai yang lupa kita bersihkan
Sekedar karena kelas dadakan, ketiduran, atau mungkin kau sudah dihubungi oleh orang-orang

Ada langkah kita yang belum sampai
Mungkin karena tujuan yang terlalu jauh
Atau mungkin karena langkah kita masing-masing yang akan berjauhan sekarang

Kami selalu ketakutan membicarakan masa depan
Beberapa terasa semu dan jauh dari kenyataan
Tapi kami tetap melakukannya
Karena akan terlambat membicarakan masa depan jika kau sudah ada di masa depan

Ada kantuk yang tertinggal di mushola asrama
Sebuah pijatan kawan dan tepukan lembut membangunkan
Mana lagi yang lebih romantis dari seorang kawan yang membangunkan?
Beberapa membangunkan fisik dan beberapa membangunkan mental

Ada wajah yang lupa kita bersihkan
karena.. ah, sudahlah
..

Beberapa ketakutan saat hujan datang
Beberapa lagi senang karena ini saatnya berkumpul dengan kawan yang sulit ditemukan di luar sana

Ada yang ketakutan melangkah menanjak
Menanjaki anak tangga yang bisa jatuh suatu saat
..dan menanjaki dunia karena merasa dirinya bukan apa-apa

Banyak yang berpindah di dalam asrama
Buku yang berpindah
Orang yang berpindah
Baju yang berpindah
Atau bahkan sandal yang berpindah entah kemana dan kembali 5 minggu kemudian ke tempat asalnya

Ada yang akan berpindah dari asrama
Gerombolan langkah yang menyebar ke segala arah
Menapaki ribuan bumi
Hingga gerbang yang dulu kita lewati,
suatu saat nanti
..menunggu kita untuk kembali

Hadiah dari Dinda



Dear Dinda Ariska, terima kasih kadonya ya. Terharu banget pas Endri pulang dari Temajuk dan bawa kado ini. Bukan kadonya, lebih ke tulisannya. Pas saya KKN, Dinda adalah anak kelas 1 SD yang belum bisa menulis dan membaca. Buku tulisanya dipenuhi latihan menulis : huruf a berulaang kali, huruf i berulang kali, huruf a-b-c-d berulang kali. Endri pulang kira-kira Maret kemarin dan membaca tullisan ini, saya jadi tahu Dinda sudah bisa menulis dan membaca.

Ada satu hal yang saya ingat soal Dinda. Waktu KKN dulu, kami tiba saat Ramadhan. Anak-anak belum masuk sekolah. Kami punya program TPA. Sebagaimana anak-anak pada umumnya yang kalo maen sama sekolah nggak pake baju muslim dan kerudung, begitu juga Dinda. terus karena dia mau masuk sekolah seminggu pasca lebaran, kami para guru TPA nyemangatin Dinda sama Bunga yang merupakan anak TPA yang baru akan masuk kelas satu SD buat tetep pakai kerudung nanti kalo sekolah.

Lepas lebaran, Bu Yuli, ibunya Dinda cerita sama kita kalau udah muter-muter di Setingga (desa sebelah Temajuk, yang jaraknya lebih jauh dari Malaysia), buat nyari baju seragam SD yang panjang. Di SDnya Dinda ini emang kalo seragam nyari sendiri-sendiri nggak kayak sekolaan saya dulu yang bayarnya ke sekolah. Nggak nemu. Terus Dinda takut sekolah karena takut dimarahin kakak-kakak KKN kalo dia nggak pake baju panjang :"(. Apalagi, Bunga, temen sekaligus tetangga sebelahnya yang mau massuk kelas 1 SD juga dapet seragam panjang.

Somehow saya agak antara merasa bersalah sama bangga juga sih. Merasa bersalah karena kita mah mikirnya cuma ngasih nasehat biar ngebiasain anak kecil sana pake kerudung tapi dianya malah sampe takut, tapi bangga karena berarti nasihat itu-walaupun memang massih susah-sudah mulai tertanam di benak dia.

Halo Dinda, semoga kita ketemu lagi ya Sayang :")
rajin-rajin ngajinya yaa :)

-Dinda :")

Waktu dengan Keluarga

"Waktu yang kita habiskan sama keluarga kita kelak bakal lebih banyak daripada waktu yang kita habisin buat keluarga kita sekarang. Makanya, manfaatin waktu yang sedikit itu sebaik mungkin."
-temen saya, suatu ketika, di sunmor.

Waktu temen saya ngomong gitu, saya mbatin. Iya juga ya. Misalnya orang (secara umum) nikah umur 20-an, terus usia hidupnya (secara umum) 60 atau mungkin 70-an. Waktunya akan banyak dihabiskan sama keluarganya kelak, bukan sama keluarga yang membesarkannya which is itu ayah ibunya.

Ada percakapan pagi yang mengingatkan saya sama quote in. Dan hal lain: percakapan sepanjang perjalanan mungkin sebulan-atau bahkan lebih-lalu.

Pada quote itu, jika saya merefleksikan diri bahwa hampir separuh usia saya yang 21 lebih (hampir) dua bulan ini, nyaris 10 tahunnya saya habiskan di luar rumah. SMP, SMA, kuliah. Dan barangkali saya-atau kita bagi yang senasib meski dengan bilangan angka yang boleh jadi berbeda-tidak pernah tahu seberapa keras orang tua kita menahan dan menanggung rindu. Mereka ndak bilang, kok. Hmm, kalau kata umminya Nusa, temen saya dari Manokwari, Papua Barat : emang Ummi harus bilang kangen buat nunjukin kalau Ummi kangen?

Kita nggak pernah tau seberapa kangen orang rumah sama kita. Seberapa harapannya kita ada di rumah, kitaa pulang, dan ada saat momen spesial meskipun itu hanya makan hantran selametan tetangga bareng-bareng sama adek.

Maka dalam suatu percakapan di jalan, saya sama temen saya membahas tentang seorang rekan sekaligus kakak yang diminta pulang sama orang tuanya setelah kelulusannya yang sudah setahun dan yang diusahakan selama di Jogja belum Allah jawab dengan anggukan, kami pada akhirnya sepakat bahwa bukan soal pekerjaan cepat yang orang tua minta. Barangkali, orang tua lebih ingin anaknya mengusahakannya di rumah saja. Barangkali bukan perkara uang kos-kosan yang harus dibayar kalau di Jogja, atau kiriman uang untuk makan, atau apalah. Barangkali orang tua ingin, agar mereka dekat, sudah itu saja. Karena hidup selanjutnya boleh jadi akan susah untuk sering bersama lagi.

Sebagaimana yang kemudian temen saya ceritakan, waktu orang tuanya ngelepas ia sekolah asrama, beberapa waktu kemudian ayahnya mengirimkan email. Yang intinya baahwa tidak hanya anaknya yang berjuang, orang tuanya pun berjuang untuk bisa tidak merasa kehilangan dan meyakinkan diri bahwa di sana anaknya bisa mengusahakan hal-hal yang baik.

Ah, betapa kita tidak pernah bisa merasakan apa yang orang tua rasakan sebelum kita menjadi orang tua itu sendiri :")



Kamis, 02 Juni 2016

Speechless

Saya tidak bisa menafikan kalau saya adalah tipikal melankolis. Dan sejak istilah 'baper' menjadi populer, barangkali saya jadi lekat dengan istilah itu kalau masa-masa begini.

Sama kayak apa yang mas Adi bilang kemarin. Ketika Zahra, Alfath, Ibnu, Ufai, masing-masing bikin postingan blog. Temen-temen saya upload foto (yang banyak yang sama) serta caption yang macem-macem. Saya bingung apa yang pengen saya tulis, apa yang pengen saya sampaikan. I am speechless. Saya nggak bisa ngomong apapun rasanya pasca 31 Mei kemarin terkait berakhirnya masa pembinaan ini. Too much i got dan hmm.... *menariknafas

Ada yang saya sayang. Namanya kalian. Tempat belajar, tempat bertanya, tempat bicara. Tempat mendengar, tempat berpendapat, tempat berbagi : tawa, gagasan, pikiran, curhatan, bacaan, bahkan oleh-oleh.

Sedari kemarin saya wara-wiri ngurusin sesuatu, Terus semalam ke Magelang dan malam ini saya di rumah Bude. Dua malam tidak di asrama dan tadi bada Magrib rapat di Nakula. Ini bukan rapat pertama di Nakula yang bada Magrib di mana Nakula sepi. Biasanya juga sepi. Tapi yang hari ini kerasa banget sepinya. Sepi yang berbeda.

Terus karena sejak kemarin juga ngga buka laptop dan medsos, udah tau saya lagi kayak gini malah juga buka medsos-termasuk lovely dashboard blog. Hahaha, makin baper dong saya. Info a-b-c udah sidang. Kenyataan bahwa tanggal iniiiii banget empat tahun lalu saya wisuda SMA-yang sekarang udah makin sepi kemampuan mengingat momennya hiks :". Balasan email dari Zahra. Obrolan rapat tadi. Sesuatu dari Ayah. Dan saya yang pada titik ini masih suka ragu dan ngga yakin sama banyak hal tentang diri saya sendiri.

Ada yang harus beranjak, bergerak, berpindah, ada yang harus diajak bicara. Ada yang harus berusaha lebih keras.

Mohon doanya.
maaf kalo ngga jelas ya :"