Pages

Minggu, 30 Juli 2017

untuk Shofi


Rasanya masih tidak percaya ketika pertama kali mendengar kabar Shofi Jumat kemarin. Bukankah rasanya baru saja pagi atau semalam aku lihat update igstory kamu, Shof?

Dear Shofi,
aku kehabisan kata-kata sore itu. Jumat itu. Aku merinding dan bahkan sampai sekarang pun masih sesekali. Riangmu, semangatmu, ambisiusmmu, jurnal ilmiahmu, keimpulsifanmu, galaumu.
Barangkali aku belum sedekat itu sama Shofi. Tapi, aku belajar banyak hal soal kesungguh-sungguhan yang kau cerminkan. Aku mengagumi tekad kuatmu untuk jadi scientist. Aku heran kenapa energimu tidak pernah habis, kenapa kamu begitu betah baca jurnal ilmiah, kenapa kamu bisa terlihat sebegitu riang walaupun terkadang kamu tidak enak badan.

Perginya Shofi jadi teguran keras buat kami;
Apakah kematian tidak cukup menjadi pengingat?

Bukannya baru semalam kamu menempuh kereta Jakarta-Yogyakarta? Bukankah paginya pukul delapan kamu baru selesai mengirim email untuk deadlinemu? Bukankah beberapa teman kita baru saja berbalas komen denganmu dua jam yang lalu sebelum berita itu sampai pada kami?Bukankah rencana kembalimu dari Jogja tinggal senin besok? 

Tapi Allah memintamu pulang duluan. Lebih dulu dari rencanamu. Lebih abadi dibanding tujuan pulang awalmu.

Dear Shofi,
aku yang tidak sealmamater kampus saja menyaksikan bahwa betapa banyak yang kehilangan sosokmu. Apalagi mereka yang banyak irisannya denganmu, ya :"
Mereka mengenang kebaikan-kebaikanmu. Semangat juangmu yang terus menyala. Energi yang tidak pernah habis. Kontriubsimu yang jauh dari rasa lelahmu. Keinginanmu untuk Indonesia yang lebih baik dan bermartabat lewat mimpi-mimpi penemuanmu.

Semoga rahmat dan ampunan Allah selalu ada padaMu Shof. Semoga kebaikanmu masih terus mengaalir, karena kami yang kamu tinggalkan, rasa-rasanya masih menerima itu semua. Kelak, semoga kita bisa berjumpa di surga,, ya Shof.


Kami sayang Kamu, Shof.


Selamat Jalan, Kepulangan. Selamat Datang, Kepergian..Kebanyakan dari kita selalu rindu kepulangan akan rumah. Menanti-nanti waktu berakhirnya hari dan menyambut lonceng tanda pulang dengan kebahagiaan. Akankah kelak kita menyambut dengan suka cita pula, saat Allah menyerukan panggilan untuk pulang menuju ke rumah keabadian?Pulang adalah hak bagi mereka yang pernah berangkat. Kepulangan seperti senja yang indah adalah akhir yang tenang dan membahagiakan. Mungkin ia adalah perpisahan, tetapi ia menjadikan kepergiannya membekas indah pada orang-orang yang ditinggalkannya.. -via Siti Nur Rosifah


Fitri-yang merasa kehilangan
semoga aku bukan menjadi orang yang merugi 
karena tidak menjadikan kabar ini sebagai pelajaran bagi diri sendiri





update
“Karunia yang Allah berikan lebih besar daripada musibah, karenanya kita harus bersyukur.” -Abinya Shofi-via tulisan indah 

Jumat, 28 Juli 2017

#KomikPalestina : Rekomendasi Buku Anak Edisi Hari Anak 2017

Ahad lalu bertepatan dengan tanggal 23 Juli 2017. Tentu kita sudah tidak asing mengenal tanggal ini sebagai hari anak yang diperingati setiap tahunnya di Indonesia. Saya yang kebetulan banyak follow akun media sosial penerbit buku anak dan penulis buku anak pun melihat banyak postingan yang berkenaan dengan hari anak ini. 

Bagi beberapa orang, suatu tanggal diabadikan jadi tanggal peringatan suatu momen mungkin tidak terlalu penting. Saya pribadi juga nggak menganggap itu penting yang gimana banget gitu sih. Tapi, bagi saya momen peringatan adalah waktu untuk kita jadi semcam dikasih alokasi waktu untuk ngeh sama hal-hal yang berkaitan dengan momen itu. Kayak dikasih porsi khusus gitu, lho.


Khusus pada momen hari anak kemarin, selain peringatan hari anak, di media sosial juga lagi gencar soal Palestina. Bukan hanya konten berita, tapi juga komen-komen soal Palestina. Salah satunya soal anak-anaknya. Karenanya saya sempat terbayang tentang momen hari anak di Palestina.

Kamis, 27 Juli 2017

Al Fath : 11; Hati dan Mulut Kita


(
((mereka mengucapkan dengan lidahnya apa yang tidak ada dalam hatinya))

Halo, seberapa sering mengatakan (se)suatu doa karena kebiasaan, bukan memang karena sungguh-sungguh ingin dikabulkan isi bacaannya?

Seberapa sering membaca bacaan hanya karena yahu harus dibaca saja, tanpa paham apa makna bacaannya?


Badr, 25 Juli 2017

Minggu, 23 Juli 2017

Kapan Waktu Terbaik Memulai Puasa Daud?

Saya baru tahu praktik puasa daud waktu di Insan Cendekia. Sebelumnya, saya tahu secara teori namun belum pernah tahu ada yang mempraktikannya. Di Insan Cendekia, saya mulai melihat orang-orang yang memulai puasa daud (maupun meneruskan kebiasaan shaumnya sejak sebelum masuk IC).

Singkat cerita, Bu Evi, wali asrama putri angkatan saya ketika itu pernah berkata.
"Kalau mau mulai puasa daud, waktu yang paling baik itu, setelah selesai puasa Ramadhan. Karena saat itu perutnya sudah terbiasa dengan ritme puasa."

(baca:tentunya setelah menyelesaikan tanggungan hutang Ramadhan dan menuntaskan syawal).

-edisi tetiba ingat karena besok sudah penghujung syawal
Terima kasih, Bu Evi :)

Rabu, 19 Juli 2017

19-7-2017:This Night Vibes❤

Sudah lama menunda menulis. Kadang takut orang berprasangka. Kadang takut orang berlebihan mehgira-ira. Kadang pingin nuangin apa yang udah jadi draft berpekan-pekan lalu. Kadang sesederhana tidak menyediakan waktu. Maka, untuk merayakan dua postingan ini, instead of saya pos di igstory atau wastory, ditaruh sini saja, ditaruh rumah.




Halo, apa kabar kalian semua?

Selasa, 11 Juli 2017

Di Stasiun (Cibinong)


Stasiun Cibinong, sebagaimana stasiun-stasiun lainnya. Menyimpan banyak cerita. Tentang berpindah. Tentang pergi dan kembali. Tentang peluk-tangis-berpisah. Tentang perjuangan pagi-pagi. Tentang berebut antri keluar dari loket tiket. Tentang banyaknya penjemput yang mencaricari. Tentang gelisah protes orangorang yang penjemputnya belum sampai. Terlebih, tentang kontemplasi.
Stasiun ini sebenarnya sudah lama. Baru beroperasi kembali sekitar 1-1,5 tahun terakhir, kalau tidak salah. Terakhir dulu waktu saya awal-awal SD. Selebihnya, karena tidak dipakai, maka dinikmati sebagai tempat jalan-jalan : jalan habis sahur, ngabuburit, atau ahad pagi sebagai pemuas penasaran anak-anak kecil yang ingin tahu bagaimana rupa kereta tapi belum pernah mengindaranya langsung dengan mata. Maka cukuplah rel menuntaskan penasarannya.

Stasiun ini kecil. Tak punya kedai roti rasa kopi, minimarket, atau penjual roti maryam. Bahkan mesin atm satupun ia tak punya. Pekarangannya yang dulu terbengkalai sering dipakai main bola-bahkan sampai sekarang. Satu dua kali ada orang belajar motor di sana. Parkiran hanya bisa menampung motor dan itu pun akhir-akhir ini. Tidak ada parkiran mobil sama sekali. Tidak dilalui angkot di depannya. Depan stasiun ada dua sekolah dasar sehingga ramai abang jualan. Dari jualan jajanan sampai makan besar. Ada saja yang jualan dari jam jual abang bubur pagi-pagi sampai pecel lele kala malam.

Stasiun ini menyenangkan. Setidaknya bagi saya yang cukup menempuhnya hanya dalam bilangan rerata 10 menit berjalan kaki dari rumah. Kadang kurang, kadang pula lebih. Walaupun jalannya menanjak. Tidak apa. Tapi bisa mengantar kemana-mana. Meskipun jadwalnya masih terbatas; hanya 9x satu hari. 

Di stasiun suatu ketika, seorang anak perempuan dilepas ayah bundanya. Bawaannya memperlihatkan ia hendak pergi ke tempat yang jauh karena tasnya yang besar dan berjumlah dua. Orang tuanya memeluk lekat-lekat. Erat. Dua satpam menelan ludah. Amboi, betapa lamanya dirnya tidak dipeluk lekat-lekat oleh orang tua. Wajahnya menyiratkan rindu yang tak terkira. Stasiun, sebagaimana biasanya, selalu melukiskan pisah dan jumpa, antar dan jemput, temu atau lalu.

Di stasiun suatu ketika, seorang nenek bingung bagaimana tiket kartu bekerja. Maka petugas membantu dengan sukarela. Rombongan keluarga kerepotan hendak pergi ke rumah saudara. Petugas membantu dengan sukarela. Berulangkali orang bertanya memastikan arah. Maka sebanyak itu pula petugas menjawab. Di atas itu semua, barangkali hati petugas sering juga membatin: kapankah aku bisa ajak orang tua di kampung coba kereta antar kota? Kapankah bisa bersama berlibur naik kereta antar kota? Kapankah aku memijak tempat-tempat yang tadi ditanya.

Orang-orang terburu. Memenuhi loket keluar untuk segera mencapai tujuannya masing-masing. Ada yang ingin bergegas shalat karena tadi kereta berangkat persis waktu azan. Ada yang ingin lekas mampir beli oleh-oleh untuk buah hati: sekadar jajanan SD yang masih ada di dekat sekolah. Ada yang menunggu temannya. Ada yang ingin segera melepas penat di rumah. Ada yang ingin buru-buru melepaskan segala tumpah ruah pikiran dan perasaan di sudut ruang ternyamannya.
Cerita-cerita itu barulah yang tertampak mata. Runyamnya hati orang-orang disana tentu jauh lebih banyak. Berbagai pikiran memenuhi benak, mengisi ruang hati. Ada yang menimbulkan sesak, ada yang menaburkan bunga. Ada yang ingin dipendam sendirian, ada yang ingin segera diceritakan. Ada yang menyebabkan diam, memilih duduk lama di pinggir. Ada yang memburu-buru harus segera sampai.

Stasiun (Cibinong) selalu menyimpan banyak cerita.

Stasiun Cibinong,
17.17
11-7-17
*tanpa rekayasa waktu



Senin, 10 Juli 2017

Sepuluh Kebaikan

Saya menemukan ayat ini di Quran. Lalu, saya ingat postingan lama di sini. Waktu itu nggak nemu ayat ini jadinya pake ayat di Al Baqarah yang tentang sedekah.
Sekalian saya repost di sini. Postingan ini 2014 (meskipun lupa kejadian eksaknya lebih lama lagi). Kala itu umur Fatih barangkali 5 tahun lebih sedikit.
Matematika Kebaikan
Di rumah, Ummi pernah ngajarin Fatih kalau berbagi itu akan dapet 10 kebaikan.
Sampai pada suatu hari Ummi gorengin bakso buat Fahri sama Fatih. Bakso yang digoreng ini ukurannya masing-masing dipotong dulu, jadi per buah udah ukuran 1/2.
Kemudian bakso jatah Fahri udah habis. Sedangkan Fatih belum. Sisa empat buah (bakso ukuran 1/2) di piringnya.
Ummi : "Fatih udah nggak mau?"
Fatih : "Enggak, Mi."
Ummi : "Kasih Mas Fahri, ya?"
Fatih : "Yaudah deh Mi buat Mas Fahri aja."
Ummi pun udah mau ngasih baksonya buat Fahri, sampai kemudian Fatih ngomong lagi.
Fatih : "Dipotong-potong dulu deh Mi baksonya. Satu-satu dipotong-potong jadi dua aja." *(jadi ukurannya masing-masing 1/4 maksudnya)
Ummi : "Lho, kenapa ? Fatih masih mau?"
Fatih : "Enggak, Mi. Biar Fatih dapet pahalanya delapan puluh." *ngebayangin wajah polos anak ini
Ummi senyum, jelas gemes banget sama anak ini.
Ini cerita udah lumayan lama. Saya sendiri diceritain pas liburan kemarin. Jadi dalam kenyataannya mungkin redaksi kata-katanya ada yang beda, tapi insya Allah inti ceritanya tetap sama.
Mungkin Fatih emang itung-itungan jadinya, tapi secara logika, walapun masih kecil, Fatih ngerti kalau makin banyak berbagi, maka kita akan semakin banyak dapet kebaikan dari Allah. Meski ya emang aplikasinya kelihatannya kecil banget, cuma bakso yang kalo dipotong-potong lagi pun nggak akan nambah total pemberiannya.
Hayo, kita yang udah gede dan ngerti prinsip berbagi yang dijanjiin Allah ini, masih suka pelit dan perhitungan nggak?
"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir terdapat seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui." (QS. Al Baqarah : 261)
btw, mungkin dengan mengajarkan hal seperti ini belajar Matematika buat anak kecil akan terasa lebih menyenangkan #eh #salahfokus
Renungan buat diri sendiri juga
kangen kamu, Dek :')

Al A'raf : 23; Doa

Untuk yang belakangan terjadi dan terpikirkan :"

pas banget buka, pas banget ayat ini :"

Stasiun Cibinong, Kereta Nambo-Angke