Pages
▼
Selasa, 24 September 2019
Aku pulang. Tidak ada yang membukakan. Rumah sepi. Aku cek hp, rupanya seisi rumah yang tersisa pergi ke abang nasi goreng ujung perbatasan komplek perumahan.
Rasanya sama seperti ketika terakhir sebelum meninggalkan kantor tadi. Sepi. Sendiri.
Rupanya itu kak, yang sepertinya menjadi jawaban pertanyaan kakak soal apa yang dirasa sekarang. Dirasa, bukan dipikir. Harusnya sudah tahu soal itu, karena pernah searena dengan gertakan orang-orang gang akan mengingatkan, kalau menjawab pertanyaan apa yang dirasakan dengan berpikir terlebih dahulu.e
Terlalu banyak sepi usai senja tadi. Entah mengapa. Orang-orang yang berharga mengubah waktu jadi diskusi. Aku mengubah waktu dengan memikirkan hal yang tiba-tiba dan entah apa ujungnya. Sulit sekali fokus akhir-akhir ini. Temanku terjebak oleh pertanyaan. Aku, semakin ikut memikirkan, kesadaran dan rasa syukur atas jawabanlah yang datang, dan menyadarkan. Terima kasih Allah, telah memberi jawaban atas banyak pertanyaan. Semoga Engkau ridhai perjalanannya. Dan tunjuki kami jalanMu yang lurus. Sambil merasakan perasaan sempit yang menghimpit, harap yang tak perlu, dan pengenyahan soal hal-hal yang menggugu-bernama rindu.
Aku, menciptakan obrolan-obrolan monolog dan imaji dalam perjalanan pulang. Yang satu dua buatku sedih dan berkaca-kaca.
Rasanya, masih, sepi.
Rasanya sama seperti ketika terakhir sebelum meninggalkan kantor tadi. Sepi. Sendiri.
Rupanya itu kak, yang sepertinya menjadi jawaban pertanyaan kakak soal apa yang dirasa sekarang. Dirasa, bukan dipikir. Harusnya sudah tahu soal itu, karena pernah searena dengan gertakan orang-orang gang akan mengingatkan, kalau menjawab pertanyaan apa yang dirasakan dengan berpikir terlebih dahulu.e
Terlalu banyak sepi usai senja tadi. Entah mengapa. Orang-orang yang berharga mengubah waktu jadi diskusi. Aku mengubah waktu dengan memikirkan hal yang tiba-tiba dan entah apa ujungnya. Sulit sekali fokus akhir-akhir ini. Temanku terjebak oleh pertanyaan. Aku, semakin ikut memikirkan, kesadaran dan rasa syukur atas jawabanlah yang datang, dan menyadarkan. Terima kasih Allah, telah memberi jawaban atas banyak pertanyaan. Semoga Engkau ridhai perjalanannya. Dan tunjuki kami jalanMu yang lurus. Sambil merasakan perasaan sempit yang menghimpit, harap yang tak perlu, dan pengenyahan soal hal-hal yang menggugu-bernama rindu.
Aku, menciptakan obrolan-obrolan monolog dan imaji dalam perjalanan pulang. Yang satu dua buatku sedih dan berkaca-kaca.
Rasanya, masih, sepi.
Senin, 23 September 2019
Kak Urfa pernah bilang soal mencintai orang baik.
Nyatanya-atau rupanya-mencintai orang yang dibutuhkan banyak orang lebih sulit lagi.
Setelah aku terjebak oleh tangis yang aku buat sendiri, ada pengumuman meninggal, dari masjid. Aku tersentak walau masih menangis. Bukankah lebih banyak yang bisa kusyukuri dengan kehidupan mereka? Seperti yang pernah dibicarakan dalam berbagi bersama Nadia, bukankah kita selalu punya pilihan untuk memaksimalkan perasaan sayang pada orang lain? Dengan cara apapun.
Sebagai subjek bukan objek.
Kenapa aku tidak bisa melatih hatiku sendiri?
Nyatanya-atau rupanya-mencintai orang yang dibutuhkan banyak orang lebih sulit lagi.
Setelah aku terjebak oleh tangis yang aku buat sendiri, ada pengumuman meninggal, dari masjid. Aku tersentak walau masih menangis. Bukankah lebih banyak yang bisa kusyukuri dengan kehidupan mereka? Seperti yang pernah dibicarakan dalam berbagi bersama Nadia, bukankah kita selalu punya pilihan untuk memaksimalkan perasaan sayang pada orang lain? Dengan cara apapun.
Sebagai subjek bukan objek.
Kenapa aku tidak bisa melatih hatiku sendiri?
Minggu, 22 September 2019
Kamis, 19 September 2019
Kemarin pulang malam, setelah 24 jam tidak berbincang dengan anak ini. Karena Selasa malam aku pulang dia sudah tidur, setelah batuk tak berhenti indikasi sesak dan diuap. Esok paginya aku terbangun jam setengah tiga, terjaga sampai subuh, dan justru tepar setelahnya. Terbangun dan anak ini sudah berangkat.
Jadilah kemarin pulang, berjumpa dengan anak ini dalam kondisi segar bugar, masih melek. Asik nonton video game minecraft. Tapi masih sempat menoleh padaku yang berdiri di sebelahnya. Menyempatkan berdiri, lalu memeluk tanpa aku duga dan sangka. Meski setelah itu masih langsung duduk lagi dan asik dengan youtube minecraftnya.
Fatih, selalu mudah menyampaikan sayang. Yang kadang jadi dibilang manja sama orang-orang.
Maafin Mbak Fitri ya Dek.
Pergi
Abidah pamit. Aku kehilangan kata.
Setelah beberapa hal yang terjadi hari ini, berpacu dengan waktu.
Aku cuma diam, mendengarkan. Sesekali mengangguk. Berkaca-kaca di pelupuk mata. Diam seribu bahasa. Bahkan aku gak nyangka aku akan seberkaca-kaca itu, gak nyangka akan betulan gak bisa bilang apa-apa, kehabisan kata. Terkatup, tertutup, berhenti. Sama sekali. Bahkan dia nawarin foto aku gak hisa merespon apa-apa....
"Masih ada teknologi, Fitri." katanya. Dia bilang jangan sedih, nanti dia ikut sedih. Dia bilang jangan sedih, soalnya dia gak sedih.
Mungkin Abidah nggak tahu kalau sedih nggak ikut-ikutan. Sedih datang gak saling. Sedih kadang sendirian. Dan sedih bukan karena satu dua hal, tapi tumpukan. Sedih bisa hadir karena akumulasi. Residu yang sekarang aku nggak tau gimana menghilangkannya satu-satu. Setelah hal-hal mendadak menjelang zuhur yang membuat aku berpikir soal kecewa, soal gesekan, soal potensi selek dan menyakiti yang justru semakin besar kemungkinannya ketika semakin dekat dengan seseorang setelah urusan lingkup profesional kerjaan. Setelah sadar untuk belajar lagi soal melatih sudut pandang dan pikiran responsible. Setelah respon dan tanggapan lain yang bikin khawatir, ekspresi dan gestur kecil yang menunjukkan ketidaknyamanan.
Dilepas Fitri, dilepas...
gitu suara-suara yang aku dengar.
Entah bagaimana.
Abidah benar-benar pamit. Suratku belum selesai-bahkan belum kutulis-sedikit pun.
Aku membaca surat kecilnya. Lalu betulan menangis.
Maafin Fitri ya Allah...
Setelah beberapa hal yang terjadi hari ini, berpacu dengan waktu.
Aku cuma diam, mendengarkan. Sesekali mengangguk. Berkaca-kaca di pelupuk mata. Diam seribu bahasa. Bahkan aku gak nyangka aku akan seberkaca-kaca itu, gak nyangka akan betulan gak bisa bilang apa-apa, kehabisan kata. Terkatup, tertutup, berhenti. Sama sekali. Bahkan dia nawarin foto aku gak hisa merespon apa-apa....
"Masih ada teknologi, Fitri." katanya. Dia bilang jangan sedih, nanti dia ikut sedih. Dia bilang jangan sedih, soalnya dia gak sedih.
Mungkin Abidah nggak tahu kalau sedih nggak ikut-ikutan. Sedih datang gak saling. Sedih kadang sendirian. Dan sedih bukan karena satu dua hal, tapi tumpukan. Sedih bisa hadir karena akumulasi. Residu yang sekarang aku nggak tau gimana menghilangkannya satu-satu. Setelah hal-hal mendadak menjelang zuhur yang membuat aku berpikir soal kecewa, soal gesekan, soal potensi selek dan menyakiti yang justru semakin besar kemungkinannya ketika semakin dekat dengan seseorang setelah urusan lingkup profesional kerjaan. Setelah sadar untuk belajar lagi soal melatih sudut pandang dan pikiran responsible. Setelah respon dan tanggapan lain yang bikin khawatir, ekspresi dan gestur kecil yang menunjukkan ketidaknyamanan.
Dilepas Fitri, dilepas...
gitu suara-suara yang aku dengar.
Entah bagaimana.
Abidah benar-benar pamit. Suratku belum selesai-bahkan belum kutulis-sedikit pun.
Aku membaca surat kecilnya. Lalu betulan menangis.
Maafin Fitri ya Allah...
Selasa, 10 September 2019
Surga Itu Mahal
Ibu cuma bilang satu kalimat: Surga itu mahal.
Aku nangis mendengarnya, sambil mendengar kalimat-kalimat di kepala.
Surga itu mahal, nggak bisa dibeli sama sekadar terima kasihnya manusia.
Belajar ikhlas, belajar selalu berharapnya sama Allah. Usaha terbaik, Allah yang balas. Balasan terbaik selalu dari Allah, bukan dari manusia. Belajar terus memberi, belajar sabar dan ikhlas ketika (perasaan) yang (rasanya) tidak terbatas justru tidak terbalas.
Surga itu mahal, nggak bisa dibeli sama sekadar penerimaan manusia.
Belajar merendahkan ekspektasi. Belajar cukup. Belajar nggak papa tidak diterima.
Surga itu mahal, dibeli pakai ilmu, diaplikasikan lewat taat, dijalani dengan istiqomah.
Surga itu mahal, kadang perasaan dunianya sakit, tapi Allah mau diri ini belajar.
Surga itu mahal. Semoga Allah mampukan sampai sana.
Aku nangis mendengarnya, sambil mendengar kalimat-kalimat di kepala.
Surga itu mahal, nggak bisa dibeli sama sekadar terima kasihnya manusia.
Belajar ikhlas, belajar selalu berharapnya sama Allah. Usaha terbaik, Allah yang balas. Balasan terbaik selalu dari Allah, bukan dari manusia. Belajar terus memberi, belajar sabar dan ikhlas ketika (perasaan) yang (rasanya) tidak terbatas justru tidak terbalas.
Surga itu mahal, nggak bisa dibeli sama sekadar penerimaan manusia.
Belajar merendahkan ekspektasi. Belajar cukup. Belajar nggak papa tidak diterima.
Surga itu mahal, dibeli pakai ilmu, diaplikasikan lewat taat, dijalani dengan istiqomah.
Surga itu mahal, kadang perasaan dunianya sakit, tapi Allah mau diri ini belajar.
Surga itu mahal. Semoga Allah mampukan sampai sana.
Tadi, 22.14an
10 Sept 2019