Pages

Jumat, 11 Juli 2014

Apa Rasanya Melihat Kami Tumbuh Mi, Bi?

Tulisan hari ketigabelas ramadhan ini

Hujan sedari tadi turun membasahi Jogja, tepatnya sekitar tempat kami tinggal ini. Menyebabkan kami akhirnya berbalik arah mengurungkan niat pergi. Dan… menyenangkan sekali mengamati Aya dan Kakak di halaman kos kami senja sendu ini. Aya (5 tahun) dan Kakak (6 tahun), merupakan cucu ibu kos kami. Keduanya putih, tembem, menggemaskan sekali. Bermain-main di pekarangan rumah ibu yang luas dengan membawa payung lebar masing-masing. Aya mencangklong tas punggung barunya. Wajahnya berseri bahagia.

Selalu menyenangkan melihat wajah-wajah bahagia anak kecil, bukan? Seperti ketika kamu mungkin pernah mengunjungi panti dan mengamati suasana keceriaan anak-anak itu. Atau anak didik TPA yang kau ajar di masjid ujung jalan. Atau bahkan adik kandungmu sendiri. Wajah-wajah polos yang cepat sekali belajar banyak hal baru. Usia yang penuh akan tanya dan rasa penasaran. Wajah-wajah yang kalau kata Kak Nisa entah mengapa membuat lelah seolah menguap begitu saja, entah kemana.

Apakah rasa senang memperhatikan mereka sama halnya dengan perasaan yang sama dengan yang dirasakan orang tua kita? Entah, aku tidak pernah tahu. Aku belum pernah jadi orang tua dan mungkin sulit membayangkannya. Tapi biar bagaimanapun, aku tahu, Ummi dan Abi, juga seperti orang tua kalian semua, tentu begitu memperhatikan tumbuh kembang kita, para anak-anaknya.


Aku pernah memikirkan bagaimana perasaan Ummi ketika liburan usai dan aku harus kembali : memasuki asrama atau harus pergi lagi ke Jogja. Mungkin Ummi sedih, akan kangen, tapi tentu melepas ikhlas sesuatu yang dinamainya ‘perjuangan’ ini.

Aku juga pernah membayangkan bagaimana Ummi menatap wajah-wajah kami ketika telah terlelap tidur. Kita tidak pernah mengetahuinya, bukan? Aku pun tahu ketika Ummi menatap dan mengusap lembut wajah adik-adikku. Dan siapa yang bisa menjamin Ummi tidak melakukannya juga padaku? Mungkin memori Ummi dapat dengan cepat berpindah pada belasan tahun lalu : saat aku masih bayi, atau saat baru bisa berjalan, atau saat masih belajar naik sepeda roda tiga, atau saat baru masuk TK, atau saat…ah, terlalu banyak saat yang tentu diingat betul oleh Ummi.

Bukankah kita begitu sering berkata tentang terlalu cepatnya waktu berlalu. Tau-tau enam tahun SD sudah selesai, tiga tahun SMP sudah berlalu, tiga tahun SMA juga sudah berakhir. Bahkan seperti yang sering kami bicarakan akhir-akhir ini : bahwa semester empat sudah berlalu which means semester depan bakal peminatan, tahun depan bakal KKN, dan ternyata udah dua tahun aja lulus SMA. Time flies so fast, itu yang kita bilang. Tanpa sadar, orang tua kita juga merasakan hal yang sama.

Apa rasanya menjadi Ummi dan Abi yang melihat satu per satu anaknya tumbuh dan berkembang? Memasuki bangku sekolah pertamanya, bercerita tentang teman paling menyebalkan di sekolah, mengeluh ada PR yang rasanya terlalu sulit dikerjakan, atau merepotkan ketika lupa ada tugas dan menuntut minta dibantu mengerjakan sembari cemberut. Membuat mereka kesal pagi-pagi saat kita harusnya sudah beranjak bangun dan bergegas mandi sementara rasanya malas sekali. Padahal sedari tadi Ummi sudah di dapur bahkan juga tempat cuci baju. Entah kemampuan multitasking ibu kita mana lagi yang bisa kita dustakan, bukan?

Apa rasanya menjadi Ummi dan Abi yang melihat satu per satu anaknya tumbuh dan berkembang? Ketika kita mulai punya rahasia yang tak lagi bisa diceritakan pada keduanya. Kemudian kita memilih teman untuk jadi tumpuan cerita. Ketika kita mulai menarik diri dari terlalu dekat dengan mereka dan mulai lebih suka menghabiskan waktu dengan teman-teman. Izin pergi kesana kemari tanpa peduli bahwa mereka selalu cemas setiap kita pulang lebih dari maghrib. Dulu aku kira Ummi dan Abi biasa saja. Aku baru tahu mereka sekhawatir itu ketika adikku yang pulang agak telat.

Apa rasanya menjadi Ummi dan Abi yang melihat satu per satu anaknya tumbuh dan berkembang? Yang mulai memilih jarak untuk alasan mencari ilmu. Padahal kalau kita telusuri lagi, porsi mana yang lebih dominan di perantauan? Apa iya benar-benar serius menuntut ilmu? Padahal keduanya tak pernah luput berdoa untuk kita. Tapi mungkin kita masih terlalu sibuk untuk senantiasa mendoakannya selepas shalat.

Apa rasanya menjadi Ummi dan Abi yang melihat satu per satu anaknya tumbuh dan berkembang? Yang menaruh harap besar pada sukses dunia akhirat anak-anaknya. Suatu ketika selepas shalat, aku, Fafa, dan Ummi pernah berbincang sejenak. Kemudian kami bertanya, Ummi ingin anak-anaknya jadi apa? Ummi bilang, harapannya cuma satu : kami jadi anak yang sholihah. Itu saja. Ummi tidak pernah neko-neko meminta pada kami agar jadi apa. Beberapa teman yang kuceritakan bilang merasa speechless atas pinta Ummi. Sholihah, hanya itu. Terdengar sederhana tapi bermakna luas. Kata yang pendefinisiannya punya arti berbeda dari tiap orang yang ditanya. Pada Abi, ak umasih belum berani menanyakannya. Doakan saja ya biar segera berani, atau Abi malah tanpa sengaja bilang sendiri.

Apa rasanya menjadi Ummi dan Abi yang melihat satu per satu anaknya tumbuh dan berkembang? Mungkin syukur, bahagia, dan sesekali juga kesal. Kita cuma bisa berasumsi dari hari-hari yang pernah kita lalui bersama dengan mereka. Tidak pernah tahu kalau tidak bertanya langsung, bukan? Aku beberapa kali bertanya hal-hal semacam pertanyaan itu. Ummi selalu menjawab dengan senyum, menjawab pendek, “Ya senang lah”. Aku tahu, pasti rasanya lebih berwarna dari itu, karenanya sulit sekali digambarkan oleh kata-kata. Tentunya, ada sebal juga.

Kita tumbuh, berkembang, kemudian menua dan tentunya harus juga mendewasa. Satu per satu meninggalkan rumah berkenalan dengan banyak hal lain di pelosok negeri, bahkan dunia. Tanpa sadar, seiring dengan itu semua, ayah dan ibu kita di rumah yang pada akhirnya menarik nafas lega setelah anak-anaknya satu per satu meniti hidupnya secara mandiri, juga menua. Wajahnya mulai mengeriput, rambutnya perlahan memutih, penglihatannya perlahan menjadi kabur. Tapi jelas, kasih sayangnya tak pernah berubah seiring berjalannya waktu. Doanya tetap melangit tanpa peduli apakah kita mendoakannya atau tidak. Jika pun perhatiannya tidak terindra, barangkali itu karena cinta adalah kata kerja. Cintanya menjelma menjadi doa, menjadi teh di atas meja, menjadi masakan-masakan dengan bumbu cinta. Menjelma menjadi pertanyaan kabar atau pertanyaan kapan pulang, menjadi penggantian seprai menjelang kepulangan, menjadi berondongan pertanyaan dan obrolan hangat di rumah. Menjelma menjadi upaya membangunkan kita pada pagi hari, menjadi menunggui shalat sunnah sebelum jamaah shubuh, menjadi anjuran tilawah, shalat sunnah, bahkan urusan dakwah dan menunaikan amanah. Dan seperti kata Abi, tanggung jawab orang tua tidak pernah selesai. Bahkan sekalipun anak-anaknya sudah punya keluarga sendiri dan hidup terpisah nantinya.

Karena, percaya atau tidak, mereka ingin berada bersama kita di surganya kelak :”)

Yogyakarta, 11 Juli 2014
Ummi, Abi, bagaimana rasanya?
Selamat ber-birrul walidain teman-teman yang sudah liburan di rumah :)

gambar dari sini

Tidak ada komentar:

Posting Komentar