Pages

Kamis, 10 Juli 2014

Sedikit Belajar tentang Menjadi Wanita pada Fitrahnya (Bagian 1)

Catatan hari keduabelas Ramadhan 1435 H…(bagian 1)

Hari ini, atas izin Allah, saya berkesempatan datang ke acara talkshow yang diadakan panitia RDK (Ramadhan di Kampus). Padahal suatu kejadian di pagi hari membuat saya nyaris membatalkan rencana untuk pergi pagi ini. Tapi emang semuanya kuasa Allah, hanya sekejap, niatan saya berubah haluan kurang dari waktu satu menit.

Saya tidak menyangka kalau materi talkshow ini akan berujung pada permasalahan yang sedikit menyinggung munakahat. Lihat saja topik pada posternya, perempuan menjawab tantangan zaman. Saya kira yang dibahas nantinya paling seputar bagaimana kita sebagai perempuan menjawab arus globalisasi yang terjadi saat ini. Ternyata tidak. Mmm, mungkin sedikit iya juga sih.

Ada banyak ilmu yang saya dapat hari ini, mungkin saya kurang bisa sistemati menyampaikannya layaknya pemateri tadi menyampaikan. Tapi semoga tetap bisa didapat kebermanfaatannya.

Acara ini diisi oleh tiga pembicara, dan pembicara pertama cukup bisa membawa iklim acara menjadi menarik. Saya rasa sebenarnya acara ini lebih cocok disebut seminar daripada talkshow. Baiklah, topik bahasan yang pertama adalah konsep pemberdayaan wanita dari perspektif Islam. Bahwa saat ini budaya barat yang sudah diadopsi oleh masyarakat kita adalah bahwa wanita dituntut menjadi superwoman. Di mana perannya sebagai pengurus rumah tangga juga digandakan sebagai wanita karir. Kemudian menjadi ke arah wanita sebagai single mother, ketika ia harus menghidupi keluarga tanpa bantuan suami. Dan kemudian pada fenomena maraknya penitipan anak sebagai solusi ketika sang ibu bekerja. Tidak sampai disitu, penitipan anak tidak dapat dijangkau biayanya oleh beberapa keluarga. Hal yang nyesek yang saya dengar tadi adalah bahkan ada ibu yang sampai hati meninggalkan anaknya selama delapan jam di mobil ketika ia bekerja. Tahu apa ujungnya? Anaknya itu meninggal. Ini kejadian nyata di luar negeri. Naudzubilahimindzalik.

Tidak ada yang salah dengan penitipan anak, selama sang ibu tetap bisa memberi kasih sayang yang cukup. Berkaca dari sejarah, dulu Rasulullah saw. juga disusui oleh Halimah As Sa’diyah. Tapi coba diperhatikan lagi, bahwa Halimah adalah ibu susu yang dipilih karena punya kualitas lebih dari ibunda Rasulullah sendiri. Halimah berasal dari suku yang bahasa Arabnya adalah bahasa Arab yang murni. Kalau ibu Erma selaku pemateri tadi bilang, “Saya belum pernah menemukan ada pembantu rumah tangga yang pendidikannya lebih tinggi dari ibu kandungnya sendiri.”

Kemudian poin selanjutnya adalah tentang fakta-fakta yang terjadi di masa ini.

Pertama, disfungsi ayah/suami.
Di poin ini saya baru tahu kalau pendidikan adalah tanggung jawab ayah, sementara pengasuhan adalah tanggung jawab ibu. Selama usia 0-2 tahun, peran ibu sangat penting karena di usia ini anak masih diberi asi. Dan pemberian asi secara langsung itu penting, karena di sini ada interaksi secara langsung antara ibu dan anak. Ketika menyusui, sang ibu bisa memmbacakan Al Quran, membaca doa, mengajak ngobrol sang anak, dan lain sebagainya yang akan mendatangkan kedekatan pada anak. Sementara jika menyusu menggunakan botol, anak akan cenderung memegang botol dan berusaha sendiri. Ia tidak berinteraksi secara langsung degan ibunya.

Sebagian ibu, merasa galau ketika punya tuntutan pekerjaan dan anak yang masih dalam usia wajib asi. Untuk menjawab kegalauan ini, Bu Erma bilang, kembalikan lagi pada prioritas. Apakah prioritas kita itu Allah? QS Al Baqarah ayat 233 menyebutkan bahwa seorang ibu hendaknya menyusui selama dua tahun penuh. Quran lho yang bilang. Sekarang kembali lagi pada diri masing-masing, prioritasnya pada siapa? *ternyata prioritas itu nggak cuma ibadah kayak shalat ngaji saja*

Kemudian usia selanjutnya 2-7 tahun masih menjadi tanggung jawab ibu. Di mana pada usia ini anak masih belum mandiri. Ia belajar makan sendiri, ke kamar mandi, dan lain sebagainya yang masih membutuhkan perhatian dan kesabaran ibunda. Namun setelah usia 7 tahun, anak sudah mandiri, maka ibu sudah tidak punya kewajiban lagi pada Allah dalam segi pendidikan anak. Kewajiban ini ada pada ayah, namun karena ibu sebagai seorang istri, ketika diminta menaati suami dalam bekerja sama mendidik anak, disitulah letak kewajibannya. Jujur saya juga baru tahu kalau kewajiban mendidik itu lebih dititikberatkan pada ayah. Bahkan Bu Erma bilang, ketika ayah dan ibu cerai, namun letak tinggalnya berdekatan maka si anak bisa siang ikut ayah untuk mendapat pendidikan lalu malam ikut ibu untuk mendapatkan perhatian dan kasih saying yang lebih. Namun jika ayah dan ibu kemudian tinggal berjauhan, ia mestinya ikut pada sang ayah karena padanyalah terletak kewajiban mendidik itu, sementara kasih sayang adalah hak sang anak yang bisa didapat dari ibunya. Dan kewajiban harus didahulukan daripada hak.

Poin kedua, fenomena bahwa istri tidak digaji.
Titel ibu rumah tangga pada kebanyakan orang masih dianggap kurang terhormat dibandingkan jabatan karir. Padahal kalau kita sadari, subhanallah, dari ibulah generasi yang lebih baik akan dimulai. Dan alasan kemandirian ekonomi membuat sebagian IRT bekerja. Alasan lain yang melatarbelakanginya seperti misalnya ketakutan jika nanti menjadi single mother (baik karena suami meninggal maupun cerai). Padahal dalam QS Ath Thalaq ayat 6 disebutkan bahwa meskipun sudah cerai, istri itu teta digaji (baca : dinafkahi). Sayangnya fenomena zaman sekarang udah nggak ngikutin kaidah-kaidah yang ditetapkan Al Quran.

Di poin ini juga dibahas tentang pemisahan harta antara suami dan istri. Bukan apa-apa, hal ini jika tidak dilakukan akan menimbulkan kesulitan ketika salah seorang meninggal dan harus dilakukan pembagian waris. Ingat, ahli waris bukan hanya anak, ada juga hak ayah, ibu maupun saudara-saudara. Salah-salah jika harta istri semuanya harta suami atau sebaliknya, maka orang-orang tadi tidak mendapatkan haknya. Ada lima hal yang termasuk harta wanita : mahar, waris (dari orang tua, saudara, dll), hadiah, nafkah dari suami, dan upah yang didapat dari luar. Kalau harta suami sama kayak istri tapi tanpa mahar dan nafkah dari suami.

Poin selanjutnya, disfungsi wali.

Bu Erma bilang, seharusnya orang itu tidak usah khawatir ketika ayahnya meninggal. Dalam konsep Islam, setiap anak yatim akan otomatis memiliki wali. Dan wali inilah yang akan mengambil alih semua urusan sang anak. Tapi, katanya lagi, kalau zaman sekarang mah repot ngurus wali itu cuma kalau mau nikah *apalagi anak perempuan*. Dan dalam Islam, konsep wali itu nyata. Hal ini perlu digarisbawahi. Ironisnya, masa sekarang ini solusi Islam masih belum diminati.

Baiklah, poinnya nggak saya bahas semua ya, nanti kalo mau kita ngobrol aja ;)

Kemudian yang menarik dan seringkali membuat dilema kaum hawa adalah tentang bekerja. Terutama pada para mahasiswa yang baru saja diwisuda alias sarjana. Mana yang akan dipilih? Kerja atau keluarga?
Kalau menilik ke pembahasan tadi, perempuan itu sebenarnya sudah ada yang menanggung. Jika bukan ayahnya, atau suaminya, maka akan ada walinya. Maka perempuan itu pada dasarnya tidak wajib bekerja. Ia baru wajib bekerja jika ada tuntutan syariat. Seperti apa contohnya? Misal di sebuah perkampungan ada seorang bidan. Jika ada penduduk yang mau melahirkan, maka ia wajib membantunya, karena ilmu yang ia miliki itu tidak ada yang dapat menggantikannya. Perempuan bekerja, seharusnya bukan karena tuntutan materi.

Yap, ini part 1nya, part 2 dan 3 segera saya post. Kalau dijadiin satu postingan nanti kepanjangan dan bikin males baca lagi, hehe. Tapi insya Allah ilmunya tadi dapet banget. Kalau ada yang kurang jelas, sila ditanyakan :))

2 komentar:

  1. Fitriiii, entah kenapa postinganmu ndak masuk ke reading list-ku dan komentarku nggak ke-publish TT
    Baca ini jadi bikin galau ya? Eh, nggak juga sih. Beberapa waktu yang lalu entah kenapaaa sempat kepikiran buat ngelakuin kayak yang kebanyakan senior aku lakuin di sini: ibu tetap kuliah S2/S3 dan anak dititip ke Hoikuen (TK sekaligus penitipan anak). Pendidikan anak bisa dilakukan usai urusan kampus selesai. Toh, banyak kakak-kakak yang "sukses" jug atuh ngedidik anaknya dgn cara begitu.
    Tapi....terus aku beberapa kali dengar kajian ttg fitrah seorang wanita, baca tulisan ibu-ibu yang bener-bener ibu rumah tangga, dll yang akhirnya membuat bayangan kesuksesan mendidik anak dan jadi wanita yg sesuai fitrahnya tuh lebih penting daripada sukses di penelitian dsb. Ah entahlah
    *Ya Allah, apa sih Nis, ini masih lamaa :"

    BalasHapus
    Balasan
    1. hihihi dauuus >.<
      yah dipertimbangin aja nis, kalau memang ilmu kamu itu blm ada yg menggantikan dan secara syariat tidak bisa digantikan oleh org lain *kaya misal bidan di suatu kampung dan cuma dia yg jadi bidan, ya itu diperbolehkan (liat di postingan lanjutan ini)

      tapi tentu,,,ada hal2 berharga sama anak yang tidak tergantikan ya :")

      Hapus