Pages

Senin, 07 Desember 2015

Ayah-Sebuah Novel Andrea Hirata

Saya baru saja menuntaskan Novel Ayah karya Andrea Hirata di lobby kampus *sengaja banget pasang foto dengan background tangga kampus. Meskipun rasanya agak sedih untuk tidak bilang hina kalo inget tadi habis bimbingan dan membaca novel membuat saya merasa jadi tidak fokus mengejar janji masa depan *halah. Tapi saya ingin sekali menghighlight kalimat ini :




"Dari Amiru aku belajar bahwa tak semua orang mendapat berkah untuk mengabdi kepada orangtua."

Kalau mau bercerita sedikit, sampai tengah-tengah saya bingung kenapa novel ini diberi judul Ayah. Tapi sampai akhir, saya merasa menyesal tidak datang ke toko buku Toga Mas saat Andrea Hirata meluncurkan buku ini. Untuk mendengar keseluruhan apa yang hendak ia paparkan di launching buku (atau bedah buku) hari itu.

Saya tidak berniat meresensi buku dalam tulisan ini. Tapi kutipan tadi menggerakkan saya untuk menulis postingan ini. Bahwa berkah untuk mengabdi pada orang tua tidak diberikan oleh Tuhan untuk semua orang. Barangkali kita adalah salah satu yang Tuhan berikan kesempatan untuk itu. Tidak semua orang berkesempatan untuk mengenali orang tuanya sejak lahir. Tidak semua orang ada pada hubungan yang baik dengan orang tuanya. Tidak semua orang (dengan berbagai alasan baik yang serius maupun yang dibuat-buat) punya waktu untuk sejenak singgah dan bercengkerama dengan ayah-bundanya.

Maka berbahagialah kita, yang masih punya kesempatan untuk itu. Berbahagialah jika masih ada  kedua orang tua. Berbahagialah jika masih ada satu orang tua. Berbahagialah jika masih ada orang yang merawatmu sedari kecil, meski kau pun tak tahu siapa orang tuamu. Berbahagialah jika kamu masih punya keluarga. Karena masih ada orang-orang yang mungkin nasibnya tidak seberuntung kita.

Kita boleh jadi mendefinisikan dengan persepsi massing-masing soal berbakti atau mengabdi pada orang tua. Saya boleh jadi sangat baper dengan frase ini karena rasanya sudah lama sekali saya tidak menyentuh home; bukan house karena keterpaparan ini. Ah, atau barangkali saya saja yang terlalu membuat-buat alasan.

Pulanglah, nak.


Hei, tapi saya belum ingin menyelesaikan tulisan ini sampai sana. Saya ingin berterimakasih pada Pak Cik *untuk tidak bilang Boi atau Bung* Andrea Hirata. Lama sekali rasanya tidak baca novel tebal dan meski ngga segitunya, saya cukup ketagihan baca buku ini dan terbuai dengan majas-majas penulisan Melayu yang khas. Selain kekaguman saya terhadap Laskar Pelangi yang sudah diterjemahkan entah sampai beraapa bahasa *bangga sekali rasanya melihat cover-ccover buku itu berjajar rapi dicetak di kertass-kertas ini. Pak Cik, tunggu aku di Museum Kata Belitong. Kelak, saya akan ke sana :") Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar