Habis banget baca tulisan bulek Hana yang judulnya
Mengontrol Hati. Emang kerasa banget sih di antara belantara dunia per-IG-an dan per-sosmed-an, akun-akun itu menjadi diary yang terwakili dalam postingan-postingan. Tidak ada yang salah dengan semua itu. Atau kalau pada beberapa hal ingin ada yang disalahkan, dua sisi bisa melihat dari sudut pandang berbeda. Semisal : Jangan terlalu sering pasangan muda gitu umbar kemesraan, kasihan yang masih memperjuangkan jodohnya. Dan kemudian yang lain : Tapi itu bagus menurutku, soalnya postingan kakak itu menggambarkan bagaimana pasangan muda dalam Islam, dapet nilai dakwahnya.
Yha, yha, semuanya bisa dilihat dari dua sisi. Antara yang namanya bahagia kan wajar mau dishare ya. Itu perwujudan dari naluri eksistensi diri yang namanya aja naluriah, emang datang dari sananya. Di sisi lain, kadang postingan sosmed membuat kita merasa kecil, merasa ngga bisa dibandingin sama dia, merasa nggak ada apa-apanya, kalah jauh, dsb. dsb. Kalo dalam kasus foto pasangan muda dulu pernah ada diskusi antara ngebela si Kakak karena fotonya jadi media syiar sama ngebela kakak yang menyarankan untuk tidak pos foto terlalu sering karena bisa menimbulkan penyakit hati pada orang lain semisal iri.
Diskusi kita menimbulkan beberapa selentingan pemikiran. Semisal : ya itu kan gimana kita belajar memanage hati kita masing-masing, jangan gampang baper dan iri lah. Atau selentingan lain yang bilang : Ya mungkin kita ngerasa postingan itu
fine-fine aja karena kita belum pada tahapan orang yang lagi mengusahakan jodoh. Dua-duanya benar. Kita barangkali nggak iri, seneng ngeliat postingan kakanya si pasangan muda. Dan bener juga emang pinter-pinter gimana kita ngelola hati juga sih gimana biar gak gampang baper liat postingan orang dan tetap bersyukur atas apapun yang ada pada diri kita.
Balada sosmed emang bermata dua sih. Antara kebebasan posting tapi juga bisa ikut bahagia atas kebahagiaan orang lain. Karena kebebasan berekspresi nggak boleh jadi bumerang buat kebahagiaan kita sendiri.
Share kebahagiaan ndak dilarang untuk niatan syukur (baca terjemah Adh-Dhuha ayat 11) dan berbagi cerita. Syukur-syukur bisa menginspirasi. Tapi sosmed bukan segala-gala. Kalau saya sih lebih nyaranin kasih info kebahagiaan ke orang-orang terdekat dulu. Ke orang-orang spesial. Apresiasi dan berterima kasih atas doa dan kebaikan mereka, terutama orang tua, kakek nenek, kakak adik, dan semua
supporting system. Kemudian kalau mau share ya ndak papa. Tapi itu dulu sih kabarin orang-orang dekat biar tau dari personal lebih dulu somehow lebih berkesan dibandingkan tau lewat sosmed. Tapi ini kalu yang sifatnya baru dapet kebahagiaan macam kerja, nikah, dedek bayi (yha tau sendiri lah kadang suka hits foto
tespack gitu). Tapi eh kadang suka sedih juga kalau ada yang niatnya posting kebahagiaan dan perjuangan tapi (menurut saya) agak salah lokasi, misalnya foto semangat
workingmom dan peralatan breastpumpnya. Oh men, menurut aku sosmed bukan tempatnya unjuk hal beginian :".
Dan kita sebagai orang yang dapet kabar bahagia dari orang, mari latih diri dan hati agar senantiasa bisa ikut berbahagia atas kebahagiaan orang lain dan nggak irian. Semoga Allah melimpahkan kebaikan juga untuk kita, hehehe.
Eh kok jadi panjang ya, padahal ide intinya cuma satu sih abis baca postingan Bulek Hana : bagaimana kita mengabari orang-orang dekat terlebih dulu ketimbang cepet-cepetan posting sosmed. Maap-maap kalo ganyambung dan banyak curcolannya, ehehehe.
Kadang eh pengen baca riset dampak sosmed ke kehidupan kita.