Hari ini di motor, aku menahan nangis.
Bukan nangis karena lelah seperti yang lebih dominan kulakukan. Tapi aku menahan nangis saat Kaisa memintaku mengulang-ulang Surah Al A'la. Tanpa diselang-selingi lagu yang biasanya ia suka.
Juga karena sebelum berangkat sekolah Kaisa sangat-sangat mandiri berusaha berganti kaus panjang ke pendek, lalu memakai gamisnya sendiri. Kuperhatikan lama tanpa distraksi, ia pakai, lepas, pakai lagi, putar-putar, barangkali dilepas lagi entah berapa kali. Semua ia lakukan dalam diam, tak bertanya, tak meminta. Penuh konsentrasi. Lalu memakai kerudungnya rapi. Baru mencari-cari wajahku.
Bukan aku terharu karena ia memakai baju menutup aurat. Tapi kesungguhannya memperjuangkan apa yang ia suka sekaligus apa yang ia inginkan. Sudah biasa kaisa meminta dipakaikan baju, celana, padahal ia bisa. Rasanya beribu kali ia minta aku melakukan padahal ia mampu. Tapi melihatnya penuh konsentrasi tadi pagi, sungguh haru dan bangga.
Pun juga ketika berulang kali minta aku mengulangi Surah Al A'la. Tanpa selingan lagu karena biasanya itu yang ia minta. Bernyanyi sepanjang jalan hingga aku berpikir aku yang harus menawari diselang-selingi surah yang ia suka. Aku tidak terharu karena merasa wah anakku sudah lebih cinta Al Quran daripada lagu, sama sekali tidak. Karena biasanya memang aku yang menawarkan menyelingi lagu karena merasa bersalah soal dominasi lagu di masa kanak-kanaknya. Tapi melihat respon spontannya yang mau terus-terusan dibacakan Al A'la membuatku merasa, oh, seperti ini ya perasaan orang tua yang anak-anaknya mau terus dibacakan Al Qur'an. Oh seperti ini ya perasaan teman-temanku yang anaknya, di usia sepataran Kaisa, nyaris hafal Juz Amma. Oh seperti ini ya perasaan terharu ketika secara fitrahnya, manusia itu menyukai Al Quran dan ingin terus-terusan bersamanya.
Pagi tadi, di sela membaca Al A'la aku harus menahan tangis haruku.
Kaisa sampai di Surah Al A'la bukan urut dari depan atau belakang. Sejauh ini ia suka suatu surah secara random. Suka Al Adiyat karena lihat gambar kuda, suka Al Ghasyiyah karena ada nama teman baiknya-Ainun, juga kali ini tanpa sengaja bertemu surah Al A'la karena menyebutkan dua nama dalam satu ayat terakhirnya: Ibrahim dan Musa, yang selain nama nabi, juga nama dua temannya di sekolah.
Bahkan sampai di gerbang perumahan tempat sekolah Kaisa berada, ia masih memintaku baca Surah Al A'la. Padahal waktu ia sedang suka-sukanya Al Ghasyiyah, ia akan menolak baca surah itu. Ia akan minta baca surah yang lebih pendek saja karena sudah mau sampai. Tapi kali ini, ia tetap minta Al A'la, tanpa penawaran lain.
Kami sampai, Kaisa belum berniat turun. Kulihat sudut matanya seperti berkaca-kaca. Aku khawatir ia menolak skeolah lagi kali ini. Tapi kupikir, mungkin karena batuknya juga. Entahlah.
Lalu turun, ia menarik tanganku ke teras sekolah. Aku bersiap dengan skenario terburuk. Aku berusaha pelan-pelan melepasnya, agar ia tak berubah pikiran seperti kemarin-kemarin-kemarin. Kami berpelukan, lama sekali, lebih lama dari biasanya. Aku agak panik, tapi berusaha tetap tenang. Aku tarik duluan badanku lalu ia mau juga melepasnya. Aku membisiki nanti akan menjemputnya. Lalu aku pergi keluar. Tak seperti biasanya, ia juga tak banyak bicara.
Di jalan, aku melepas tangisku. Juga teringat akan Kaisa yang akhir-akhir ini menolak sekolah. Entah apa yang ia pikirkan atau yang terjadi di alam bawah sadarnya. Entah apakah karena masuk kerjanya ayah ke kantor dari kebiasaan WFH atau mungkin alasan lainnya, tapi aku menyadari satu hal. Menolaknya ia sekolah menandakan ia adalah anak yang bisa menyampaikan apa yang ia inginkan, apa yang ia butuhkan. Menandakan ia percaya dan tahu ia akan diterima orang tuanya-walau mungkin ada kecewa atau rasa tak nyaman. Ia bukan robot yang senantiasa menuruti kemampuan orang tuanya.