Tampilkan postingan dengan label belajar menceritakan. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label belajar menceritakan. Tampilkan semua postingan

Sabtu, 09 Februari 2019

Hal-hal Hari Ini 090219

Memang Allah paling jago bolak balikin perasaan, kondisi, atau apapun itu.
Kemarin bisa happy, alhamdulillah hari ini kembai diingatkan soal tidak berharap pada manusia.
Kembali diingatkan untuk kamu udah kasih usaha maksimal belum Fit? Biar sampe sama apa yang dipengenin. Kebawa baper sampe sempet nangis di motor. Padahal ya hal-ha yang masih daam lingkup kendali aja belum dimaksimalin naaak, kenapa keselnya berlebihan....
Lalu melow karena gatau kenapa kepikiran kalo bikin visi tuh apa ya, cita-cita besar, impian yang tinggi. Inget waktu-waktu one on one sama Abidah atau kawahyu aku pernah bilang, kayaknya aku ga visioner...lalu bidah bilang, menurutku, fitri melakukan ini ini ini itu udah menunjukkan visioner. kalau kawahyu dulu tuh apa ya pesannya, lebih ke setiap orang punya rolenya mungkin ya. kadang aku suka mikir pengen jadi best support system gitu di manapun bantu apa yang bisa dibantu, di kerjaan misalnya. mungkin ini juga karena lagi ada perasaan ngga produktif banget sekarang-sekarang ini, mana karyanya, kok main hape aja sih, pelarian capek apa alesan, apa ga inget sama cita-cita yang penting. tujuan akhir. ngomel sendiri. baper sendiri. malu. malu juga sama Allah. lalu nangis di kondangan orang. sendiri.
Lalu bersyukur, Allah kasih Andalusia buat chillin. Lama banget rasanya ga meneduh di masjid buat ambil jeda sesaat. Memikirkan hal-hal. Melangitkan tanya. Takut. Khawatir. Dan yaudah kayak pasrah aja gitu. Nulis-nulis sempet dikit. Air mata netesnya yang cukup nggak kusangka. Deras juga. Finally senyum, alhamdulillah. Lebih  membaik. Nggak pulang masih bawa kesal. Ikut senang juga waktu tau kabar hebat dari teman. Alhamdulillah. Sesenang itu juga dapat masjid yang nyaman.


Islamic Centre Andalusia,
tadi siang.

Senin, 15 Oktober 2018

Bicara

Pernahkah kamu, menyusun kata-kata sepanjang perjalanan, atau pertanyaan, atau bahan topik obrolan. Tapi ketika sudah bertemu orang yang semula kamu berencana ajak bicara. Pun jika semuanya telah tersusun ketika berhadapan-atau bersisian. Semua kata-kata itu tertahan. Bisa karena apapun, karena kondisi, suasana, kesempatan, waktu, atau bahkan karena dirimu memaksa untuk menahan semua rencana kata-kata itu; walau semua kata rasa-rasanya sudah di ujung mulut meminta dikeluarkan.

Nggak ada yang mudah. Terlebih, jika sudah sesulit itu perjuangannya, ternyata si lawan bicara atau orang-orang di sekeliling justru menganggap, kamu membatasi diri, atau kamu insecure, atau kamu nggak mau bicara sama aku. Padahal, jikapun asumsi mereka itu keluar karena keyword-keyword dari mulutmu sendiri, itu hanya karena panik dan terlalu bingung menjelaskan kekompleksannya.

Mereka nggak tahu perjuangan di baliknya :")


Minggu, 24 Juni 2018

Monolog 4 Juni 2018

Sama kayak postingan sebelumnya bahwa ini juga poin pembelajaran di googlekeep yang aku tulis dan jabarkan ulang di sini, sebagai pengingat. *Asa dulu mah nulisnya diary, wkwk. Sebenarnya menulis di blog itu sekaligus dalam rangka belajar membuat seasuatu yang sistematis.

Pertama, belajar memaksimalkan sesuatu. Memanage ekspektasi dari orang lain itu sulit. Tugas kita memaksimalkan apa yang kita bisa dalam meraihnya. Aih, sesungguhnya ekspektasi nggak cuma dari orang lain kan ya. Juga dari diri sendiri. Ekspektasi dari diri sendiri pun bisa yang sifatnya menyangkut diri sendiri, dan ada juga yang sifatnya ekspektasi soal ibadah ke Allah. Kalau yang sifatnya ibadah, kita nggak berharap dilihat oleh orang lain, tapi harapannya ada pada Allah melihat dan menerima amalan kita. Kalau yang berhubungan sama orang lain, misalnya kerjaan. Ada fase yang dibutuhkan atasan untuk tahu progress kerja bawahan, juga rekan kerja satu sama lain. Ini bukan dalam rangka nyombong, tapi untuk bisa mengukur, baik dalam menentukan pace kerja masing-masing (utamanya rekan kerja) maupun menjadi pertimbangan dalam menentukan target (utamanya atasan). Jadi, dalam rangka memaksimalkan sesuatu, baik yang kita ekspert di dalamnya maupun belum, komunikasi, barangkali adalah jembatan penghubungnya. Komunikasikan upaya maksimal kita dan kalau ada hambatan atau hal apa yang bisa mentrigger upaya maksimal itu menghasilkan sesuatu yang besar.

Selanjutnya, kalau targetan atau upaya maksimal belum tercapai, komunikasikan alasannya. Juga misal ketika di awal diberi tanggung jawab, kita merasa ndak mampu. Kasih tau alasannya. Misal, dalam jangka waktu yang ditentukan, kerjaan yang diberikan pada kita belum bisa dituntaskan karena alasan kita yang belum ekspert di sana, perlu mencari referensi tambahan, kerjaannya terlalu gendut, atau bisa selesai namun butuh waktu lebih lama. Komunikasikan agar orang lain paham hal apa yang menghambat, atau mungkin bisa mentrigger (misal nambah orang, beli tools baru, dsb). Jangan denial dari awal bilang nggak bisa. Jelasin karena apa ngga bisanya, biar bisa diadjust dan dicari titik temunya. Entah dari ekspektasinya yang diturunin, waktu yang diperpanjang, atau mencari katalis untuk mempercepat eksektasi itu selesai sesuai timebox (yang tadi, bisa orang, tools, dsb). Dan orang lain mengetahuinya (saya jadi ingat ketika mandek skripsi lalu berat banget cerita ke dosen pembibing T^T). Kalau dari awal udah bilang ngga bisa, tanpa penjelasan, orang akan antipati dan tidak respect, karena kita menutup sesuatu tanpa penutup yang baik. Yha, semua orang juga ga suka kan sesuatu yang tanpa penjelasan, heu~

Komunikasikan dan bicarakan adalah kunci dari dua poin yang dibahas sebelumnya. Kalau misal kita bicara dengan orang yang tidak kita suka sekalipun, mengutip dari hadits, lihat apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Tetap lakukan proses komunikasi dengan niatan mencari titik temu antara hal-hal yang perlu dikomunikasikan. Jangan ketika tahu dengan siapa harus bicara, sudah ada mindset yang mengunci diri kita dengan orang itu, lalu jadi males duluan. Tidak ada tembok yang perlu dibangun. Kalaupun kesal dengan seseorang, kita perlu bedakan mana ranah pribadi dan ranah profesional. Sabar, mulai dengan bismillah.

Terakhir, soal menjaga. Saat ada di fase terasa orang menjaga jarak dengan kita, barangkali emang ada jeda yang hendak diciptakan oleh orang tersebut. Kalau merasa ada salah dan perlu konfirmasi untuk minta maaf (takutnya ada kesalahan yang ga sadar dilakukan), silakan minta maaf. Tapi kalau tidak perlu, biarkan saja. Hormati jeda yang dibuat. Mungkin, orang tersebut pun berusaha keras sebenarnya dalam menjaga jarak dan menciptakan jeda. Dan kalau kita tahu emang itu yang dibutuhkan, berusahalah untuk sama-sama menjaganya.

It seems banyak muter-muternya. Sekian.


Sabtu, 20 Februari 2016

::Sajak Februari :")

::Sedang suka puisi Sajak Februari karya Helvy Tiana Rosa. Penasaran? Silakan cari *lagi nggak mau copas, pengennya foto bukunya aja. Tapi sayang belum punya dan atau dapet pinjeman ๐Ÿ˜*

Senin, 11 Januari 2016

Obrolan Sabtu Sore

"Kamu umurnya berapa sih sekarang Fit"
"20..."
"Oooh 20, itu mah cari temen aja dulu yang banyak. Kalo mau dapet yang baik, ya kita sering-sering tuh ikut majelis taklim. Kan gitu tuh katanya."

manggut-manggut

"Aku dulu pengen nikah umur 25. nah umur 24 aku bingung, Yah kok ini pengen nikah umur 25tapi sampe sekarang belum tau sama siapa. yaudah deh habis itu aku doa aja sama Allah. Minta yang mapan; maksudnya bisa menafkahi sama mau nerima yang pake kerudung. Dulu kan pake kerudung masih jarang baanget Fit.

Terusnya aku akhir-akhir kuliah kan udah mulai selo. Tinggal skripsi sama ada yang ngulang. Iseng tuh mau les musik. Apa ya, aku pikir ah kalo piano kan mahal. Yaudah aku beli gitar tuh Alhamdulillah ada uang 300ribu buat beli gitar. Aku belajar tuh sama temen. Tapi kan ya namanya belajar sama temen ya gitu ya. Sebisanya, terus ya gitulah ngerti ssendri kalo belajar sama temen gimana.

Suatu hari temenku ulang tahun, aku ke rumahnyalah. Temenku cerita kalau adiknya les musik di Kotabaru katanya di sana enak, pengajarnya juga masih muda. Akhirnya daftarlah aku di sana, dapat guru Masnya. Ya akhirnya itulah yang jadi ayahnya anak-anak."

senyum.

"Yah gitu ya Fit, kalau udah minta sama Allah nanti dikasih. Lah gimana coba di antara sekian guru les musik aku pas banget dapet sama masnya. Lebih jauh lagi, dari mana coba aku tiba-tiba pengen les musik."

jeda.

"Dulu jamanku mau pake kerudung ih susah banget Fit. Aku izin ke Papa nggak dibolehin. Dulu juga belum nikah kan, biasalah, ntar gimana kalau susah dapet jodoh? Ya kan padahal ada juga ya Fit yang gak kerudungan yang belum dapet jodoh."

ketawa.

"Pas Papa haji aku nekat aja pake kerudung. Dulu kampusku masih lebih banyak Fit daripada UGM mahasiswa yang pake kerudungnya. Tante tuh yang takut dan anti banget sama kerudungan komen, 'Ih kamu tuh ngapain sih pake kerudung? Dekil tau!'"

saya melongo.

"Ya aku jawab aja, 'Yeee yang gak pake kerudung yang dekil juga banyak!'"

saya ketawa.

"Lagian kan kenapa sih orang pake kerudung orang sewot banget. Dulu juga pas ke rumah tante di Jakarta, keluargaku yang pake kerudung aku doang. Di komen sama Tante, Ini kamu pake kerudung, mama sama Mbakmu aja enggak. Eh anak tante itu yang komen 'Ya biarin aja sih Mah, emangnya kenapa?'"

saya ketawa geli. membayangkan.

"Aku pake kerudung emang karena pengen sendiri Fit. Nggak mau aku kalo kepengaruh orang. Tapi ya namanya dulu mungkin ada titik jenuhnya juga. Sempet aku juga mikir ih pengen ya buka kerudung. Apalagi kalo udah liat temen-temen yang nggak pake kerudung, rambutnya bagus. Aku sempet mikir juga nanti kalau nggak pake kerudung orang tau kita cantik apa enggak dari mana ya? Tapi udahan lama maikir aku juga jadi mikir, ih ngapain sih, nggak malu apa sama diri sendiri. Yaudah nggak jadi buka, tetep kerudungan."

"Dulu Alhamdulillah Masnya mau nerima aku yang kerudungan. Malah di awal nikah Masnya yang minta aku buat pake gamis-gamis. Aku kan kayak yang tadi aku bilang, nggak mau kalau aku ngelakuin bukan karena aku pengen. Aku nggak mau karena orang. Kan banyak tuh ya artis-artis yang nikah kerudungan, pake baju panjang, nah terus cerai atau ada apalah, jadi buka kerudung. Aku nggak mau kayak gitu. Ya proses aku proses, sambil belajar."

"Terus dulu aku bilang aja, kalau aku pake gamis, situ pake celana cingkrang sama jenggotan. Mau nggak?"

saya ketawa.

"Masnya nggak mau yaudah aku juga. Tapi alhamdulillah nih sekarang aku juga udah pake baju panjang, lebih nutup. Kerudung juga lebih panjang. Sampe aku jahit baju juga ditanya sama tukang jahitnya, 'Emang boleh Mbak sama suaminya pakai baju panjang-panjang kayak gini?' Padahal kan ini aku juga jahit baju dikasih uangnya sama suami, ya?"

"Ada itu orang yang pakai kerudung tapi suatu ketika di FB aku liat dia nggak pake kerudung. Padahal apa yang mau dicari lagi sih? Suami udah ada, anak udah ada satu. Nyari perhatian dari siapa lagi sih?"

"Sekolah sekarang Fit, pake kurikulum 2013, tematik kan menuntut orang tua juga berpartisipasi aktif. Tapi kadang menurutku kelewatan deh. Ya masa anak kelas 5 orang tuanya ituntut anyak berpartisipasi juga. Makin gede kan harusnya anak makin diajarin mandiri. Ini masa udah kelas 5 mau kelas 6 masih kayak gitu. Pernah nih suatu hari dia dikasih tugasnya kelompokan sama gurunya. Buat senam, lagunya download dari Youtube, gerakannya bikin sendiri. Nah kan anak-anak belum bisa ya bikin gerakan senam kayak gitu. Yang repot emak-emaknya. Ini ibu-ibu temen sekelompoknya anakku ngumpul, ah kita nggak bisa juga bikin gerakannya. Akhirnya mau nggak mau kita manggil guru senam. Bayar juga kan. Terus anak-anak senamnya sambil kampanye poster tentang hemat air. Yang bikin akhirnya juga mama-mamanya. Ya kan bingung juga, ini yang sekolah anak apa mamanya sih?"

Saya tertawa, senang aja sdenger curhatan ibu muda. Saya kelak kayak gimana ya?

"Ya gitu deh Fit. Ada youtube, internet, tugas jadi kayak gitu. Padahal kan dulu jaman kita kecil, jaman aku kecil, jaman papaku sama papamu kecil juga nggak ada youtube sama internet orang pinter-pinter aja kan ya?"

Saya mengangguk, mengiyakan.

"Kurikulum ganti padahal yang dulu juga belum lama. Aku lebih suka KTSP. Pemerintah ganti kurikulum, lebih melibatkan internet, gadget, dan lain sebagainya. Anakku juga pernah ada tugas buat video perkenalan. SD lo Fit. Sementara tuntutan teknologinya banyak, sekolah juga belum memfasilitasi itu semua kan? Kalo adapun, mending dananya juga buat ngebangun sekolah-sekolah di pelosok, daripada memperkaya skeolah yang udah kaya tapi juga secara nggak langssung sekolah yang miskin juga makin miskin."

iya, benar juga.

"Ini Fit, ada sirup sama timun suri. Baru panen kemarin. Ada agar-agar cup. mau yang ikan koi apa mawar? Semuanya juga boleh. Di kulkas juga ada pancake durian.  Aku bikin sendiri lho."

bisa bayangin agar-agar cup yang di dalamnya ada lapisa warna biru dan bening, kemudian di dalamnya ada ikan koi bercorak merah dan oranye serta agar-agar cup yang di dalamnya ada mawarnya? Dan bikin sendiri. Luar biasa, niat banget.

"Aku ya Fit, kalau masak makanan biasa aja anakku yang paling gede bakal bilang 'Mama kalau masak yang kekinian dong Ma!'"

Glek. saya tertohok buat belajar masakwkwk. Lalu tawa kami berderai.

"Aku ya Fit, anak dua itu keliatan banget bedanya. Ya kita kan orang tua mah kayaknya udah sama mendidik anak metodenya, perlakuannya. Tapi tetep aja Fit ada dari dalam diri mereka yang ngebuat berbeda. Yang gede sukanya bahasa. Suka nulis walaupun suka bingung juga nanti ending cerpennya mau kayak apa. Masa mati mulu?! Kalau adeknya suka dia Matematika. Bahkan ngitung suka nggak pake corat-coretan. Aku aja sampe ngingetin buat pake corat-coretan. Yah kita kan suka khawatr alo gawang-ngawang bisa jadi ada yang salah."

"Yang gede juga anaknya suka naroh barang di mana aja. Kalo yang kecil, meski cowok, lebih rapi. Pulang sekolah naroh sepatu langsung di tempatnya. Kalau yang besar kacamata aja yang barang primernya lupa dia taruh mana. Yang gede kalau disuruh apa gitu, misalnya mandi, lama banget geraknya. Ntar-ntar mulu. Kalau yang kecil, disuruh mandi langsung jalan. Disuruh shalat di masjid langsung jalan. Yang kecil, yang cowok keliatan lebih rajin, lebih rapi, lebih teratur."

Wah, dua anak dengan kepribadian dominan bertolak belakangan. Super sekali langsung dikasih Allah yang begini.

"Kita pernah suatu ketika ke pameran Jepang. Yang gede seneng banget foto-foto sama cosplay. Yang kecil malah kayak bosen, pengen ngajak pulang. Padahal cowok kan biasanya juga suka anime."

"Yah gitu yah Fit. Orang ujiannya beda-beda. Ada orang yang jodoh belum dikasih-kasih. Anak belum dikasih-kasih. Nanti udah punya anak juga dikasih ujian sama Allah. Tapi kan ya gitu Fit ujiannya. Kalau kita nggak dikasi ujian, malah khawatir dong, Allah ngasih ujian apa ya di depan? Jangan-jangan lebih berat?"

---
Obrolan Sabtu sore 2 Januari lalu. Menyenangkan ya rasanya ngobrol sama Ibu Muda yang nggak tau juga sih indikator dibilang muda itu sampe kapan. Ibu ini punya anak paling gede SMP baru masuk. Saya jadi ngebatin, kelak tantangan jaman saya kayak apa ya?

Jumat, 26 Juli 2013

Cerita Tribun dan Detil Kejadian

Kami memasuki tribun itu, tribun di mana entah pertandingan apa yang berlangsung di dalamnya-aku juga tak begitu paham. Bahkan mengapa kami sekeluarga kami kesini pun, aku juga tidak begitu paham. Satu yang melintas di kepalaku secara tiba-tiba. Hei, bukankah seharusnya kau juga ada di sini?

Kemudian aku melihatmu, di sudut situ. Barisan tribun keempat atau kelima--entahlah, aku juga tak menghitung dari bawah. Yang jelas kita hanya berselisih satu baris. Kalau kau di barisan keempat, maka aku ada di barisan kelima. Kalau kau duduk di barisan kelima, maka aku ada di barisan keenam. Kau ada di kursi kedua dari pinggir jalan. Sebelahmu--entah siapa seorang laki-laki berambut coklat, dengan baju putih, sama denganmu. Sementara kau duduk dengan jalan di sebelah kanan, kami melewati jalan sebelah kiri. Mungkin kamu tak melihatku.

Aku bertanya pada ayah-ibu. Mengapa kita kesini? Mereka jawab kemarin kita juga kesini. Kemuian sedikit penjelasan lainnya yang aku juga kurang mengerti. Biar sajalah. Aku melirik lagi, kau masih disitu.

Kedua adikku ribut rebutan gadget. Lari hingga barisan duduk atas. Ibu menoleh ke atas menasehati dengan sedikit nada marah. Aku ikut-ikutan menoleh ke belakang. Hei, ada anak kecil itu. Bukankah kau.... Aku membatin. Kau juga datang sekeluarga?

Kemudian aku memainkan sedotan tanpa tujuan yang jelas. Entahlah, aku tak begitu mengerti mengapa kami sekeluarga ke sini. Aku kembali melirik ke arahmu. Dan kau-entah-mengapa juga menoleh ke arahku. Pandangan kita selintas bertemu. Tapi aku yang mungkin terlalu kaget malah memalingkan muka, menaruh kembali satu dari sedotan yang kumainkan ke plastiknya. Bodoh, mengapa tidak sekadar bertukat senyum? Toh semua akan berjalan baik-baik saja. Dan aku kembali menoleh ke arahmu, disela-sela lipatan tangan adikku yang menyangga kepalanya. Kau masih menoleh ke arah sini. Tapi gerak reflekku entah mengapa malah buru-buru fokus membenarkan posisi sedotan di tanganku, kemudian mengembalikannya lagi ke plastik. Maaf, aku terlalu ragu untuk melempar senyum duluan.

Kau pun beranjak dari kursimu, entah mengapa. Meninggalkan kursi itu dan berjalan ke pintu keluar atas--tadi kami sekeluarga masuk lewat pintu bawah. Apa kau marah? Kesal? Entahlah aku tak tahu. Tapi aku jadi sedikit merasa bersalah. Hei, aku lihat adikmu dibarisan tribun sebelah, sepertinya sedang berjalan ke arah barisan kursimu tadi. Kemudian aku melihat kursi tempat kau duduk tadi. Ah, aku seolah mengenali orang-orangnya meski hanya melihat dari atas. Mungkin ini hanya ke sok-tahuan-belaka. Itu di sebelah kirimu pasti ayahmu, kemudian tantemu-seperti yang pernah aku lihat di foto itu, kemudian adik dan ibumu, atau ibu dan adikmu. Bagian yang ini aku lupa. Tapi keseluruhan tadi, mengapa aku bisa ingat?

Dan mungkin masih karena hal itu. Juga karena aku perempuan, yang mudah sekali mengingat hal remeh-temeh dengan detil seperti yang barusan kuceritakan.

Kamis, 25 Oktober 2012

Rindu Adelia

*kenapa judulnya kayak judul sinetron :P

Adelia mendengar suara gerbang depan bergerak. Orang yang amat ia tunggu-tunggu itu akhirnya datang.
Dan...benarlah apa kata orang bilang. Bukan hanya perpisahan yang akan menghasilkan tangis rupanya. Adelia pun, sungguh rasanya tak dapat lagi membendung air matanya. Apa mau dikata? Ia pun...sudah rindu bukan kepalang.

Adelia membuka pintu. Sungguh, bahkan ia ingin sekali memeluk orang itu, menghempaskan seluruh perasaan, termasuk perasaan tak tertahankan ingin sekali bertemu. Siang tadi, bahkan, Adelia sudah mulai menangis. Ia menangis rindi, dan takut.

Segera setelah bersalaman sejenak, ia lari ke dapur. Membuat minum sambil satu-dua air matanya menetes. Ngilu memang melihatnya. Tapi apa mau dikata, ia tak berani mengatakan betapa ia sungguh rindu, betapa ia sungguh menanti saat-saat ini. Adelia menangis tertahan. Ia sungguh ingin memeluk orang itu.

Makan malam. Suasananya sungguh hangat. Dan...Adelia masih saja ingin menangis rasanya. Ia rindu, namun tertahan. Sekalipun saat ini orang itu hanya berjarak satu kursi meja makan darinya. Ia...sunguh-sungguh tak bisa mengatakannya.

Ia hanya diam dalam banyak perbincangan malam itu. Membiarkan orang yang dirindukannya bercakap banyak hal dengan orang di depannya. Adelia sekali-sekali melirik. Mulutnya diam terkunci. Hatinya ribut berontak. Ah...Kau...mengertikah?

Malam ini orang itu pergi. Adelia sungguh ingin menghabiskan waktu bersamanya. Baiklah, ia akan menunggu. Menyibukkan diri dengan apalah. Lihat saja, ia akan menunggu.

Dan, benarlah. Lewat setengah sepuluh orang itu datang. Adelia kini punya waktu sejenak. Ia bercakap lama dengannya. Mengatakan betapa ia rindu dengan bebrapa orang yang ditinggalkannya--yang belakangan sering dijumpai oleh orang itu. Tapi ia sungguh tak kuasa mengatakan selengkapnya. Cerita seluruh isi hatinya. Ia sungguh tak mau menangis di hadapannya. Dan kemudian malam pun beranjak larut. Ah Allah, kalau saja boleh dan bisa, aku malah ingin malam ini menjadi begitu panjang, dan besok aku tak punya aktivitas wajib untuk dikerjakan, batin Adelia.

Adelia beranjak ke kamar, hendak tidur, meski sebenarnya segan. Ia berharap malam ini berjalan lebih panjang dari biasanya.

Pagi yang indah, setidaknya menurut Adelia hari ini. Namun sepertinya orang itu tak begitu peduli. Adelia diam, ia tak banyak bicara. Takut air matanya tak dapat ia tahan lagi.

Ia cukup gusar, hari ini ia harus menghabiskan waktu cukup lama. Bukan, ia bukan gusar dengan acaranya. Tapi sungguh tidak tepat. Orang itu...hari ini datang. Dan dengan acara ini, ia sungguh tak bisa menghabiskan waktu lebih lama dengan orang itu.

Sorenya Adelia sempat berjalan-jalan sebentar bersama. Sebentar sekali. Dan ia akhirnya berani bilang. Adelia ingin memeluk orang itu.

Ia tahu, sebuah pelukan bisa berjalan menenangkan, membuat nyaman. Teman-temannya dulu sering bilang suatu penelitian menunjukkan bahwa pelukan bisa membuat seseorang lebih bahagia, dan segala efek positif lainnya. Dan aku sungguh ingin menghempaskan segala sesakku. Sungguh. aku ingin menangis sambil dipeluk.

Tapi, bilang tetap saja bilang. Buktinya ia masih juga merasa ingin dipeluk.

Keesokan harinya, orang itu telah duduk menunggu. Tapi siang ini ia pulang. Baiklah-baiklah, kadang Adelia harus berdamai dengan keadaan. Bagaimanapun itu.

Tak usahlah diceritakan panjang-panjang. Setelah menangis, berbicara, mendengarkan nasihat-nasihat, sebelum melapas kepergiannya. Akhirnya Adelia memeuk orang itu. Bersalaman, memeluk erat. Bersalaman, memeluk erat lagi, untuk kedua kalinya. Dan...selepas kepergiannya, Adelia kembali menangis.
Ia...sunguh-sungguh menyayangi orang itu.

Rabu, 17 Oktober 2012

Hujan . Ketika Hujan .

Hari ini hujan .
Siang-siang .

Tumben sekali,
mungkin untuk pertama kali
setelah sekian waktu lamanya tak hujan
menghantam ayuhan kakiku
pada pedal sepeda biru
di tengah-tengah perjalanan menyebrang
orang-orang berlarian
siapa peduli?
aku hendak menyebrang
sedikit lebih deras
biar saja, tetap mengayuh
sekalipun banyak yang minggir, berhenti, meneduh
ingat, menghampiri motornya lagi, mengangkat jok, ambil ponco pelindung diri
bajuku basah, orang-orang memandang
entah, mungkin heran
biar saja, sungguh tak mengapa
aku tahu batasnya

sampai akhirnya kayuhku terhenti
hujan ternyata tak mau toleransi
padahal tinggal menyebrang satu fakultas lagi
baiklah, baiklah
dear hujan, kali ini aku berhenti

aku berdiri, dua kaki menapak bumi
sepeda? masih kokoh ia berdiri
dari tadi bikin bajuku basah?
biar saja,aku tak peduli
dan dalam berdiri itu
aku memandangi
orang-orang berlarian,
orang-orang di atas jok dengan jas hujannya--berusaha ngebut
dan dua orang dengan helm bergegas menancap gas

tiba-tiba melihat celah
baiklah, trotoar ini punya kanopi
sekalipun angin sedikit kencang
dan tentu saja tetap kena tampias
setidaknya tak terlalu deras
dingin, aku suka
dan sungguh menikmatinya

hey,tiba-tiba ingat
kakak yang suka pergi sendiri ketika memikirkan sesuatu
hahaha, kak, kita nyaris sama rupanya

baiklah, baiklah
ini sudah di penghujung kanopi
dan hujan masih tak mau mengerti
baiklah, biar aku turun, berdiri mengamati
sekitar, di kampus berjas putih ini
orang-orang pindah kelas kuliah berlari
satu-dua pakai jas putih tutupi diri
hufh...tetap saja tak temui teman sendiri
satu, dua, tiga,
entah berapa mobil yang silih berganti
datang dan pergi
dan aku masih menunggu
melawan kata-kata yang mencuat dalam kepala dan hati
sabar,sabar,
kau punya bagiannya sendiri

dan masih saja diam.
menunggu
mereka-reka
apa harus menerabas ?
aku sih, sesungguhnya tak mengapa
yakin, sembari memandangi kaki bersepatu wanita
tapi kutahan, tunggu dulu saja
takut disangka orang gila--
dan berat semakin terasa rupanya di belakang sana

dan akhirnya
hujan berbaik hati
mempersilakan aku lanjutkan kayuhan
biar saja satpam memandang heran
maka, aku lanjutkan perjalanan.


siang ini, sungguh tampak seperti hendak senja .
dan aku suka .
dulu di IC,  hujan deras menerpa di hari terakhir UN, 
tetap saja menyenangkan
dan juga hari-hari hujan lainnya,
aku ingat
bagaimana ketika saya dan Nida harus berjalan di antara deras sepulang reguler
ketika foto BT profil pertama
menunda makan malam karena ia datang saat maghrib, dan deras
jamaah  putri yang sepi ketika ia datang sebelum iqamah
perjuangan berjalan cepat-setengah berlari, antara masjid dan tempat bersuci
*ah, sekarang ia sudah ditanggulangi
dengan atap-atap kanopi
hujan suatu sore, bertemu sahabat, berbincang seusai ashar
rencana kado spesial buat orang spesial yang akan ia beri
teduh, syahdu sekali suasana sore itu
hingga pulangnya harus lewat jalur yang nyaris tak pernah dilewati
dan hujan-hujan lain yang tak segan membuat geram kami karena ia membasahkan kaos kaki 
dulu di DM, aku ingat hujan di mana aku  mengisi formulir pendaftaran IC dengan tangan yang basah
aku ingat bagaimana riangnya kami menyambut deras itu di antara kamar-kamar
yang tanpa atap,
hari Sabtu--biar saja seragam Pramuka basah
tak peduli
kami tetap riang diguyur air langit
langkah-langkah norak, tawa-tawa bahagia
senyum yang terpancar di tiap suasana
rasa riang banyak orang karena tak harus shalat di Masjid
--meski kadang ada juga  yang ingin
celotehan di ruang makan
cipratan air yang mengenai diri ketika membawa piring hendak mencuci

hujan, kau mengingatkanku pada banyak "sesuatu"  

Kamis, 04 Oktober 2012

Mahasiswa

Niat nulis dari tadi, malah baru kesampean.

Mahasiswa, berarti siswa yang udah maha ya?
bukan siswa lagi, lebih gede, udah bisa nentuin arah sendiri.
ga boleh tuh yang namanya labil-labil lagi #ups, haha :P

ngga tau kenapa tadi kepikiran masalah ini. abis ketemu Nabil, ngobrol dikit, terus liat-liat pameran UKM di Gelanggang Expo. Belum sempet niteni satu-satu sih. saya kan kumpul jam tiga, hehe. insya Allah besok.
tapi tadi sempet juga sih mampir ke...
UKM airsoft apa gitu, dhila tertarik*tertarik nanya sih sebenernya. keren juga ngeliatnya, bawa2 senjata gitu. tapi ga tertarik sih, hehe
ada juga UKM berkuda, dulu pas ospek univ ada demonya tapi plis banget kenapa kita nontonnya sambil diri *ga keliatan. deminya ada lagi besok Sabtu*moga bisa nonton. jadi inget ada kakak tingkat yang disana bilang,"Dulu aku masuk bilang alesan mau ikut UKM berkuda soalnya sunnah Rasul lho."
ada juga hasil UKM fotografi yang super keren banget. Jadi fotonya itu ada dua balon warna kuning. Nah ditengah keduanya itu ada air gitu *beuh, sampe kristal-kristalnya tuh seakan nyata banget. Nah airnya itu bentuk balon. Pas nanya ke kakaknya, katanya itu tuh balon yang dipecahin, jadi aslinya ada tiga balon isi air, yang tengah dipecahin *adududuuuh itu keren banget beneran fotonyaB). Pake kamera film lho fotonya.

#eh, kenapa jadi ngomongin ini sih?

Sebenarnya saya pengen nulis tentang mahasiswa salah satunya pas abis dari stand AISEC *cek : http://aiesecugm.org/. Itu organisasi nasional-internasional, yang oke banget *kesan pertamaku, mengajak bertindak nyata setelah mendiskusikan berbagai isu dunia, dan langkah-langkah yang mau kita lkuin itu nanti dipublikasiin ke AISEC di luar negeri juga. Dengan begitu AISEC di luar bisa juga kalo ada yang mau ikut berpartisipasi ntar dateng ke Indo ngebantuin project kita gitu. Kita juga bisa ke luar negeri lho. *Ya, meski say abelum tanya-tanya lebih jauh tentang teknis pelaksanaan dan bla bla bla lainnya

Cuma terus saya keinget aja, gimana mahasiswa-mahasiswa yang emang punya vokal di luar sana, bisa menggerakkan kegiatan bermanfaat, bisa menggerakkan orang-orang buat turut melakukan hal konkrit atas apa yang direncanakan sebagai upaya kebermanfaatan. Dan kebayang aja kalo orang yang ikut organisasi kayak gini, manfaatnya tentu gede banget.

Sama kayak tadi pas denger Nabil cerita, Udah mah Nabil orangnya semangat banget *apalagi semangat nelitinya itu loh~~jiwa sains banget ya dia, jiwa risetnya tinggi *bagus bagus Bil, Pertahankan ! Dan juga cerita-cerita tentang kisah seniornya di teknik sana. Ya pokoknya saya jadi merasa dan tersadar bahwa mahasiswa tuh ya emang harus gitu. Harus inisiatif, punya rencana yang mateng, jalanin, realisasiin, bikin rencananya jadi nyata, bermanfaat buat orang banyak, dan bisa kontinyu, nggak stuck di tengah jalan, terus bubar-,-

Dan betapa luasnya, betapa banyaknya sebenarnya dunia yang bisa digeluti mahasiswa. Meski belum nyamperin UKM satu-satu, saya bisa melihat dari betapa banyaknya stand itu, siapapun bisa memilih apapun dan bisa sukses pula di bidang apapun. Kadang tuh rasanya kalo udah liat kayak gini, timbul rasa semangat sendiri yang gimanaa gitu menggebu-gebu dalem diri, hehe:P. Jadi inget dulu kadang pas di IC saya ngerasa lebih suka ngurus acara apa gitu dibanding belajar #ups, kadang kok :P

mahasiswa, bukan siswa lagi
ayo berkontribusi nyata, tunjukkan pada dunia
*tapi jangan lupa akhirat yaa :')

Minggu, 23 September 2012

Malam Ini Aku Ingin Sendiri

Aku memutuskan menyelesaikan semua tanggung jawabku sesegera mungkin. Aku ingin segera pulang.
Ah, pulang? Tidak juga sebenarnya.
Pada teman-teman aku hanya bilang, ini tanggung jawabku sudah selesai. Ehm, maaf aku tak bisa menunggu sampai semuanya selesai. Aku..Boleh aku izin pulang duluan?
Dan, beberapa temanku pun mengangguk.

Sebenarnya entah kali ini aku bohong atau tidak. Aku belum ingin pulang. Tadi juga aku sudah izin pada orang rumah bahwa aku akan pulang telat. Ada tugas organisasi yang harus dikerjakan. Aku hanya ingin...sendiri.

Aku berjalan menyusuri trotoar jalan utama dekat kampusku. Lalu lalang kendaraan, antrian panjang ketika lampu merah, sahut-sahutan klakson saat lampu lalu lintas berubah jadi hijau, warung-warung tenda yang tak terhitung jumlahnya. Aroma masakan yang sungguh menggoda perutku yang sebenarnya mulai lapar. Tapi tidak, aku tak ingin makan sekarang. Aku hanya ingin sendiri.

Aku memang berjalan ke arah parkiran motor yang agak jauh jaraknya dari tempat kumpulku tadi. Tapi, tempat itu bukan tujuan utamaku saat ini. Aku ingin mampir ke alun-alun. Alun-alun yang berada di antara parkiran motorku dan tempat kumpul tadi.

Aku menyebrang jalan, kemudian belok kiri dekat sebuah warung tenda yang nampak ramai. Aku menghela nafas panjang. Melihat-lihat sekitar. Malam ini, banyak sekali orang. Masih musim liburan sekolah nampaknya. Di suatu sudut ada orang mendemonstrasikan ular besarnya, dikerubungi begitu banyak orang. Kalau adikku di sini, pasti ia begitu tertarik. Sayangnya aku tidak. Sekalipun aku menyempatkan mampir melihat sekilas, aku bukannya semakin tertarik malah memilih menjauh, penjelasan si abang pendemonstrasi terlalu panjang, terlalu bertele-tele.

Maka aku memutuskan duduk, di kursi yang dibuat melingkar dan bersusun seperti anak tangga. Aku memilih duduk di barisa nomor dua dari atas. Di dekatku ada orang pacaran. Bodo amat, apa peduliku? Mau bilang aku pengganggu? Siapa suruh pacaran? Haha, sinis sekali aku  malam ini.

Dari sini aku masih bisa mengamati kerumunan orang-orang yang makin ramai mengerumuni si abang-abang pembawa ular. Tapi tetap saja tak terlihat jelas. Tak apa, memang bukan itu tujuanku ke sini. Hufff...aku menghela nafas lagi, entah untuk yang ke sekian kalinya.

Mendekati jam delapan, alun-alun kian ramai. Para keluarga baru, sepertinya, banyak yang datang. Ayah, Ibu, dan balita kecil mereka. Ah, lucu sekali! Anak kecil merengek minta dibelikan mainan yang ada lampunya dilontarkan ke langit bak main ketapel, kemudian mainan itu akan berputar-putar di udara, sambil memamerkan kelip lampu yang sudah dipasang dibadannya. Sebagian lagi minta dibelikan balon sabun. Kadang, ayah ibunya berselisih pendapat sebentar. Bilang, bisa dibuat sendiri di rumah. Yang lainnya membela, berkata, tak apa, beli saja. Jarang-jarang kita keluar ke alun-alun begini. Pasti ia (anaknya) suka sekali. Dan akhirnya mainan-mainan itu dibeli. Lima ribu, tampaknya malam ini banyak yang lima ribu di sini.

Sesekali aku tersenyum melihat tingkah laku anak-anak kecil itu. Dibantu ayahnya melontarkan ainan ke udara. Si ayah juga kadang tak bisa-bisa. Ibu memberi semangat pada Ayah, tak lupa anaknya merengek minta gantian mencoba. Apa daya, zaman ayah kecil tak ada mainan seperti ini sih nak, jadi Ayah penasaran juga. Begitu mungkin pikir ayah mereka.

Lainnya beberapa meminta ayah bundanya yang meniupkan balon sabun itu. Lalu ia berjalan penuh gaya di antara gelembung sabun yang melambung tak lama-lalu pecah. Si anak tertawa geli, kegirangan. Begitu juga ayah bundanya.

Aku tersenyum kecil, ingat masa lalu. Mungkin dulu aku juga begitu. Ingat tiba-tiba, dulu adikku juga.

Ah, aku mendesah kecil. Tidak, bukan ingatan masa kecil yang menggangguku. Sungguh bukan itu. Bukan aku rindu masa laluku lantas aku memilih ke sini. Kangen ayah bunda juga tidak. Biasa saja. Aku bisa pulang saat ini juga kalau aku mau. Di rumah, ayah bunda pun ada. Lantas apa?

Aku juga tak tahu mengapa aku begitu ingin menghabiskan waktuku di sini dulu. Mampir, baru kemudian pulang. Memandangi sekitar, menikmati malam yang kian kelam. Merasakan hawa dinginnya yang tak begitu menusuk tulang. Aku hanya ingin, Aku hanya bergerak sesuai keinginan hati. Hanya itu, sungguh.

Lagi-lagi aku menghela nafas.

Aku mendongakkan kepala, menatap sekitar. Lampu PDAM kota yang berwarna-warni menyala. Indah nian. Dulu sahabatku berkunjung hanya untuk foto-foto di sini. Dan kemudian aku menatap langit. Langit cerah hari ini. Bulannya...purnama.

Aku menatap purnama itu, cukup lama. Sebelum setelahnya menghela nafas panjang dan menundukkan kepala, meletakkan kepalaku di atas tangan yang sedari tadi di pangkuan. Rembulan itu...

Dan mungkin rembulan selalu punya banyak makna bagiku. Mungkin rembulan selalu bisa mengingatkanku pada beberapa hal yang telah tertinggal lama di belakang. Mungkin ia selalu bisa...entah mengapa.

Dan cukup lama setelah aku berupaya menetralkan semua perasaan yang tadi sempat buncah, aku memutuskan pulang. Dan aku tersenyum ketika melihat penjual jagung bakar. Ah, dari satu setengah tahun yang lalu aku ingin, baru sekarang tercapai. Entah kenapa tak dari dulu saja aku berniat ke sini untuk membeli jagung bakar yang lama diidam-idamkan. Jagung bakar ini, mungkin sungguh kejutan malam ini. Kejutan sekaligus teman yang menyenangkan:')

Maka sebelum aku benar-benar menuju parkiran motor untuk pulang, aku memutuskan untuk menghabiskannya di alun-alun ini. Ditemani ramainya celotehan anak-anak kecil, obrolan muda-mudi, suara menawarkan penjual mainan, skenario abang-abang dengan ularnya, gonjang ganjing gitar pengamen, asap yang mengepul dari tungku pedagang tenda. Kau tahu, kadang paradoks itu memang ada. Seperti perasaanku saat ini, saat aku merasa begitu sepi di tengah alun-alun yang begitu ramai.

---hanya tulisan, bukan kisah nyata