Minggu, 31 Agustus 2014

Implikasi Merasa Allah Hadir

"Merasa Allah hadir ketika shalat tapi tidak merasakan kehadiranNya saat piket asrama, itu juga bentuk sekulerisme. Sama halnya dengan IP, apa masih kuliah asal-asalan dan setengah hati?"

Bang Arief, NLC 2014

Ah, super makjleb. Apa kabar IP? Apa kabar drive to be excellent ? Baiklah, IP emang bukan segalanya, tapi apa emang iya usaha udah maksimal? Yakin sudah adil menempatkan semua sesuai porsinya menurut kacamata Allah?
Liat tuh Fit, temen sebelah selama empat semester yang udah dijalani ini (Baca : status Retas).

Ah ya Allah, apa seperti ini termasuk mendustakan nikmatMu?

Sabtu, 30 Agustus 2014

Wishlist

sedang tertarik baca buku ini :"

[img:Sabtu Bersama Bapak]

sumber gambar dari sini. Penasaran sama isinya bisa liat celoteh orang-orang di sini.

Kamis, 28 Agustus 2014

Ibu Rumah Tangga, Ph.D

"Anak saya suatu ketika pernah bertanya, 'Pa, aku boleh nggak jadi ibu rumah tangga?' 
Saya jawab, 'Boleh, Nak. Tapi kamu harus sekolah setinggi-tingginya.'
Mengapa demikian? Istri saya, dia dosen dan sudah kuliah sampai S3. 
Kalau untuk mengajar orang lain saja  S3, logikanya, masa untuk mengajar anak sendiri tidak dengan kualitas pendidikan tinggi?  
Logika saya masuk, tidak?"

Kami tercekat sejenak. Kemudian riuh tepuk tangan terdengar.

Pak Arief Munandar, suatu ketika saat NLC2014

Jangan Cintai Aku Apa Adanya

"Satu hal, jangan cintai aku apa adanya."

Kami terdiam, menunggu kalimat itu tuntas setuntas-tuntasnya.

"Karena aku nggak mau kalian memaklumi kekurangan-kekurangan aku. Kalau aku salah, kalian bilang, biar aku juga belajar memperbaiki diri. Kita sama-sama membangun. Kita harus saling belajar dan mengingatkan."

Ah...Ammah Tika :')


27 Agustus 2014
"waktu itu aku duduk di belakang kalian, terus tiba-tiba perasaan itu hadir. Saat itu aku menyadari bahwa aku...mencintai kalian :')"
semua kutipan disini kata-kata Ammah Tika, mungkin redaksinya nggak plek blek sama *baiklah, saya gabawa recorder btw-_-, tapi isinya, insya Allah saya pastikan sama :)

Selasa, 26 Agustus 2014

#NLC2014

because you're all...precious :')


akan ada banyak kisah perjuangan nantinya. portal yang kita punya jadi ada dua, bukan cuma portal kampus. rutinitas dan kebiasaan yang berubah. harapan-harapan. evaluasi semester.semoga saja kita ber duaratusenampuluhlima bisa bertahan ya :"), tidak ada yang di PAW sama sekali. tidak ada. tidak perlu ada. Semoga. Aamiin.

Jumat, 15 Agustus 2014

Deep Introduction

Edisi Deep Intro hari ini membuka pikiran, bahwa semua orang berproses dengan caranya masing-masing. Potensi masing-masing yangberbeda-beda harus dikembangkan dan disinergikan untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik, jauh lebih baik. Bukan malah membuat orang lain menjadi merasa rendah diri. Sebenarnya deep intro sedari kemarin membuka pikiran. Tapi entah mengapa, satu setengah jam yang kami lalui barusan, bagi saya rasanya berbeda.

Baiklah, ini hanya semacam kontemplasi diri sih sebenarnya.

Saya pernah melakukan deep intro sebelumya. Deep intro yang membahas habis hampir dua puluhan orang dalam waktu sepagi semalam. Dan menurut saya setelah melalui deep intro edisi ini, deep intro yang dulu itu melelahkan. Karena tak habis-habis orang dibahas. Dari antusias hingga bosan, keduanya terasa. Tapi tak apa, kita harus menyesuaikan diri dengan waktu, bukan?

Di asrama ini, deep intro merupakan agenda wajib yang masih belum berkesudahan sedari hari kedua kami di asrama, kalau tidak salah. Masing-masing dari kami wajib mengenalkan diri, mulai dari identitas, latar belakang keluarga, riwayat pendidikan, kita ini orangnya kayak apa, suka dan nggak suka apa, suka dan nggak suka digimanain (diperlakukan) oleh orang lain, harapan selama di bangunan asrama ini, serta harapan bertahun-tahun ke depan. Dan deep intro ini nggak cuma cerita aja di depan, tapi kita mesti bikin slide, Bro. Somehow, ini campuran antara males bikin tapi kalo kita nggak bikin malu sama temen lain yang slidenya pada bagus-bagus. Baiklah.

Tidak semua orang dapat bercerita dengan mudah, tentu saja. Dan mungkin, saya termasuk di dalamnya. Dari jaman deep intro di kaliurang beberapa bulan lalu sampai yang beberapa hari lalu, saya masih tidak selancar beberapa teman saya. Saya berpiir bahwa saya belum dapat mengenal diri saya dengan baik. Dan sebenarnya ini buruk, karena dengan demikian saya belum dapat benar-benar menspesifikkan apa yang disebut sebagai potensi, untuk kedepannya lebih digali dan dikembangkan, serta apa yang benar-benar kelemahan, untuk terus diperbaiki. Dan lagi, siapapun yang ingin berbuat ke luar, katanya harus selesai dulu dengan sektor privatnya, urusan pribadinya.

Ada yang dapat dengan mudah menceritakan latar belakang keluarga. Ada juga yang dapat dengan mudah menceritakan kesendiriannya selama bertahun-tahun hingga hanya bisa memercayai bahwa teman berarti masalah. Ada yang bercerita perjuangannya yang berat pada masalah ekonomi keluarga, hingga masalah nyaris tidak jadi masuk kuliah karena sulit sekali menyerahkan tiga lembar kertas merah Soekarno Hatta untuk urusan pembayaran jaket almamater dan pernik lain di awal masuk kuliah. Ada yang menceritakan dirinya yang harus membawa misi setiap pulang ke rumah, agar keluarganya lebih baik dan kondusif semisal shalat awal waktu dan menjauhi musuh 9 senti alias rokok. Dan dari mereka saya belajar.

Saya mengagumi teman-teman yang mampu menceritakan lebih dari diri mereka. Maksud saya, selain dapat menceritakan diri mereka begitu spesifik, mereka dapat menceritakan hal yang khas mereka sekali seperti halnya pemikiran. Banyak orang bisa cerita kalau mereka orang yang perasa, misalnya. Atau mereka tipikal orang yang on time, atau deadliner. Namun teman-teman yang saya ceritakan ini mampu menceritakan pemikiran mereka. Yang membuat mereka menjadi spesial dan berbeda dari yang lainnya.

Mereka mampu menceritakan kegelisahan terhadap daerah asal mereka, misalnya. Seorang teman asal Kuningan bercerita tentang potensi dari kaum produktif Kuningan yang pekerja keras namun kebanyakan dari mereka hanya meraih puing-puing uang dari kedai burjo yang banyak tersebar di Jogjakarta. Dan mimpinya adalah membangun Kuningan Foundation yang mampu menggerakkan potensi kaum produktif di sana. Teman lain secara tersirat bercerita tentang kegelisahannya atas ketertindasan kaum buruh dan keinginannya turut serta dalam upaya-upaya pencerdasan masyarakat serta upaya perdamaian dunia. Ada lagi yang bercerita tentang keinginannya bahwa sosialisasi kuliah bukan lagi mementingkan jaket almamater. Promosi tentang ayo masuk UGM, atau ayo masuk ITB, atau ayo masuk UI. "Tinggalkan jaket-jaket almamater kita, sosialisasikan seberapa penting kuliah itu, bukan gengsi yang didapat pada universitas tertentu." Sederhana memang, tapi bermakna.

Beberapa presentasi harus saya akui memukau diri saya. Meski kadang bikin kesel (kesel bercanda gitulah), ada juga yang bikin kita mikir dan berujung pada syukur yang harusnya tidak boleh menemui ujungnya pada Ilahi Rabbi. Bahwa skenario hidup yang udah Allah kasih patutnya kita syukuri. Karena masih ada orang yang lebih tidak beruntung daripada kita. Sekecil apapun itu, nikmat Allah tidak melulu soal materi. Kebahagiaan, keluarga, kesempatan. Dan apa yang sudah Allah beri, patutnya kita jaga.

Mendengar deep intro dari banyak orang satu dua membuka pemikiran saya. Ada orang yang tidak masalah menunggu karena katanya, ia bisa melakukan me time yang belum tentu bisa ia lakukan lain waktu. Lainnya beralasan tidak apa-apa menunggu karena ia tetap bisa mengisinya dengan hal bermanfaat seperti tilawah dan baca buku. Di sini, saya belajar tentang positif thinking. Saat orang lain kebanyakan tidak suka menunggu, ada kepala lain yang berpikir bahwa menunggu itu tidak membosankan dan bisa bermanfaat.

Saya juga terinspirasi dari seseorang yang tidak suka menjudgement orang lain. Tipikal orang yang mau belajar banyak hal dan rajn sekali membaca buku-buku pemikiran serta filsafat. Pembelajar banyak hal yang disukai sekitarnya, tipikal apapun, golongan kiri maupun kanan-begitu orang menyebutnya. Suka sekali berdiskusi dan terbuka pemikirannya. Bisa jadi akhwat sholihah tapi bisa juga bergaul dengan mudah. Supel, terbuka, apa adanya. Pengalamannya sungguh tak terkira lah dibaik kerudung panjangnya :")

Apapun itu, orang-orang yang ada di sekitar kita dipertemukan oleh Allah bukan tanpa alasan. Harus banyak diambil pelajaran dari segala cerita dan interaksi yang dibangun. Banyak sekali kesempatan untuk belajar namun rasanya saya masih sedikit sekali untuk membuka mata, hati, dan pikiran untuk peka. Harus bebenah diri lagi :"

Setiap orang harus berproses, menuju kebaikan tentunya. Allah sudah memberi kita begitu banyak potensi. Nggak boleh banget disia-siain. Ah, semoga saya bisa memaksimalkan potensi yang udah Allah beri. Kalian juga tentunya :)
Aamiin

Jumat pagi, setelah deep intro nomer #24


Kamis, 14 Agustus 2014

Dari Balik Dinding Asrama

halo!
lama tidak menjejak di halaman ini. Ini postingan pertama di balik dinding asrama. Iya, asrama. Lagi, setelah enam tahun berada di dalamnya dan dua tahun belakangan tidak lagi mengecap hal yang sama. Lo asrama mulu Fit? Ah engga, gue nggak seasrama Ufay, temen sebelah kamar gue, yang dulu temen SDnya Maryam. Ini tahun kesembilannya asrama setelah mengecap bangku Al Kahfi-CMBBS-Rabingah. Baiklah, asrama maupun tidak, entah kenapa saya meyakin bahwa janji diri yang lebih baik ada pada diri sendiri. Selalu begitu, bukan masalah asramanya. Makanya saya suka agak gimana gitu kalo orang menganggap seseorang baik karena asrama. Mungkin benar, tapi tidak selalu.

Saya tidak berniat cerita tentang rutinitas belakangan ini. Sepertinya sejak kuliah, memulai hal baru dan memublikasikannya di blog masih menjadi suatu ketakutan. Saya takut nanti sewaktu-waktu tidak betah, atau bahkan harus dikeluarkan *na'udzubillahimindzalik. Saya takut nanti saya mesti memandang miris kembali tulisan-tulisan yang sudah saya buat. Tapi, ah sudahlah. Bagi kami kebanyakan -entah benar-benar bertigapuluh atau tidak- masuk asrama ini adalah takdir yang sesuai dengan keinginan (yang sudah tentu bahagia ketika mendengar kabar diterimanya), namun juga sekaligus ketakutan. Begitulah manusia, mudah sekali khawatir terhadap hal-hal yang belum pasti.

Baiklah, siapapun kamu, saya minta doanya ya. Biar saya betah di sini serta bisa menjalankan seluruh amanah beasiswa ini. Nggak mudah memang, tapi hidup itu perjuangan kan? Kalo kata Ummi, berdoalah menjadi orang yang kuat, bukan orang yang hidupnya mudah. Semoga kita semua sama-sama bisa menjadikan Indonesia yang lebih baik dan bermartabat serta terwujudnya kebaikan dari Allah pencipta alam semesta *seperti naskah sesuatu, Fit? Haha, iya emang. Semacam akhiran dari suatu teks yang kami baca nyaris tiap hari di tempat baru ini.

Sabtu, 02 Agustus 2014

Repost Photo

[semacam photoset di tumblr, berhubung gapunya tumblr dan kurang suka upload di fb, saya upload sini ajalah ya :')]
gambarnya diambil dari tulisan di bagian belakang jaket 
semoga ilkom12 bisa menerangi dunia dengan kebaikan serta ilmu-ilmunya ya :') juga doa serupa buat kalian yang ikut mengaminkan. Semoga kita semua bisa bermanfaat di jalan hidup kita masing-masing :')

Tugas Besar Kita Semua : Membangun Indonesia

screenshoot pada 14 Juli 2014,  ditengah rindu saya pada @gradiator15 dan ngesearch user ini di timeline twitter, lihat mensyen-mensyenannya dan pengen ngeprintscreen ini :"). Kenapa Maryam yang dibilang disini? Soalnya dia anak Planologi kalo bahasa UGMnya PWK : Perencanaan Wilayah dan Kota.

kelihatannya sih, dari grup WA GBC (baca : Gycen Bandung Ceria*kalogasalah)

eh kita kapan kumpul lengkap full team lagi ya Gyc ? :")

[Resensi#13] Existere : Membaca Fenomena Kehidupan dari Gang Dolly

Judul Buku          : Existere
Penulis                 : Sinta Yudisia
ISBN                      : 978602843697-7
Penerbit              : Lingkar Pena Kreativa
Ketebalan           : 382 halaman
Ukuran                 : 20,5 cm             
Harga                    : 25.000

Ini kisah tentang fenomena. Kisah tentang perempuan. Kisah tentang rasa cinta dan takdir yang kadang tak sesuai harapan.

Adalah Milla, gadis kampung yang karena keadaan ekonomi keluarga yang memaksanya mencari uang dengan jalan yang haram. Menjadi penjaja tubuh di gang-gang Dolly Surabaya, lokalisasi yang konon terbesar se-Asia Tenggara. Padahal, sebagaimana gadis kampong pada umumnya, ia tahu bear bahwa pelacuransangat dilarang agama.

Qashiratu Thorfi, dipanggil Ochi. Gadis baik hati dengan seluruh jiwa sosial yang sudah dipunya sejak bangku SMA. Mendirikan DeL, sebuah rumah harapan bagi orang-orang yang tidak berpunya. Bersama Vanya dan Yassir ia merintisnya. Waktu pun berjalan hingga akhirnya Ochi menikah dengan Yassir, yang tanpa Ochi tahu, juga laki-laki yang dicintai oleh Vanya sahabatnya.

Kemudian kehidupan Almaida, anak pasangan sempurna Hepi dan Waluyo yang lamban dalam dunia intelektual sekolah, tetapi memiliki kepedulian tinggi. Ibunya yang sering menuntut kesempurnaan darinya ditambah keadaan keluarga yang tidak harmonis, membuat rumah bagaikan neraka baginya.

Ochi dan Vanya, sepasang sahabat yang sangat dekat namun terpisah setelah pernikahan Ochi dan Yassir. Vanya menjadi penjaja tubuh di Dolly, sementara Ochi masih berkutat mengurus DeL. Sesuatu yang sangat ironi ketika mengetahui tubuh Vanya yang berkali-kali ditanami sperma tidak jelas justru dengan mudah menjadi janin. Sedangkan Ochi, wanita baik-baik yang rumah tangganya terjaga, selama tujuh tahun pernikahan, belum juga dikaruniai momongan.

Pada akhirnya tokoh-tokoh yang saling terlepas ini saling bertemu dalam keadaan yang tidak terbayangkan…
***
Membaca Existere seumpama membaca kehidupan. Fakta Dolly yang ditulis oleh Sinta Yudisia melalui risetnya benar-benar mencengangkan. Pembaca tidak hanya terhibur oleh jalan cerita namun juga menjadi tahu dan bergidik ketika mengetahui fakta Dolly. Betapa keadaan lokalisasi itu benar-benar butuh obat yang sampai pada akarnya, karena Dolly merupakan persoalan besar. Pembaca akan mengetahui bagaimana jalan seorang mucikari mendapatkan pekerja dan bagaimana menjaganya.

Terlepas dari fakta Dolly,pembaca akan mampu belajar dari keteguhan dan kesabaran hati Ochi. Bagaimana ia mengembalikan seluruh masalah pada Allah bahkan ketika titik terendah ia rasakan menerpa keadaan rumah tangganya. Membaca Dolly adalah membaca cerita dan masalah kehidupan, serta bagaimana upaya-upaya menyelesaikannya. Novel ini sarat akan informasi dan tentu dibuat dengan riset yang matang. Banyak sekali fakta kehidupan yang mungkin tidak terbayangkan. Tapi itu nyata, terjadi mungkin di sekitar kita tanpa kita sadari.


Buku ini cocok untuk remaja sampai dewasa. Bagi remaja, tentu dengan bimbingan orang tua karena bisa jadi ada hal-hal mengenai Dolly yang belum dapat dipahami oleh remaja mula. Tapi tenang saja, penggambaran soal Dolly tidak mesti soal adegan di dalamnya. Meki bicara soal lokalisasi, novel ini aman dari hal-hal porno namun cukup membuka pandangan tentang bagaimana sistem Dolly membuat orang-orang di dalamnya sulit sekali untuk keluar dari lingkaran itu. Dan bagaimana persoalan-persoalan kehidupan yang kompleks, tumpah ruah di dalamnya.

Jumat, 01 Agustus 2014

Dari "Existere"

"Sebagai hamba Allah, keputusan menikah harusnya bukan didasarkan pada keinginan semata. Bukan pada kerinduan akan adanya teman berbagi dalam segala rasa : suka maupun duka, semangat maupun penat, sumringah maupun lelah. Lebih dari itu, menikah adalah memperluas peluang pahala yang berarti juga melakukan tugas diciptanya manusia sebagai makhluk : sebagai salah satu bentuk ibadah padaNya. Menikah adalah bentuk ibadah berupa pengabdian yang begitu lama –bahkan seumur hidupnya. Masanya lebih lama daripada enam tahun masa SD yang kadang suka bikin kangen, tiga tahun masa SMP yang katanya masa di mana bermulanya teman menjadi lebih dekat dari orang tua, atau tiga tahun SMA yang katanya masa terindah, atau masa kuliah sekalipun seseorang menempuh semester sampai ke semester keempatbelas. Akad membuat yang haram menjadi halal, yang tadinya neraka menjadi surga, yang tadinya bisa menjerumuskan berubah menjadi menentramkan. Menyadari hal demikian, seseorang seharusnya bisa selalu mengembalikan segala masalah pada tempat di mana seharusnya semua bermuara : Allah dulu, Allah lagi, Allah terus."
(entah kenapa memilih kalimat itu sebagai prolog : 
sekalipun saya tahu banyak orang yang tertarik pada topik ini :P)

Saya baru saja merampungkan Existere malam ini. Membaca novel setelah entah sekian lama tidak melakoninya. Kemudian, berbagai pikiran mencuat ke ujung kepala. Tentang tulisan. Tentang pernikahan. Ampun lah kenapa topik terakhir mencuat juga ke permukaan isi kepala. Mungkin selain karena isinya, ya karena masih suasana lebaran yang memungkinkan silaturahmi pada saudara-saudara yang tiap lebaran berulang kali saya tanya ini siapanya Ummi atau siapanya Abi karena tiap dikasih tau ga nyangkut ke kepala saking berjalin tali temalinya persaudaraan di antara mereka. Salah satunya serupa anak pakde nenek yang dulu diangkat anak selepas orang tuanya meninggal.

Baiklah, kita mulai dari tulisan dulu. Existere ditulis oleh penulis senior FLP, Sinta Yudisia, yang sekarang juga menjabat sebagai ketua umum FLP (Forum Lingkar Pena). Kualitas karyanya tidak diragukan ketika mengetahui penghargaan yang telah berhasil diraihnya. Maka Existere bukan karya yang asal buat, atau diterbitkan indie agar mempercepat waktu produksi—tanpa menyampingkan karya-karya yang diterbitkan secara indie yang juga bagus-bagus isinya. Sekalipun saya membeli buku ini bukan semata tertarik pada resensi di cover belakang. Saya tertarik setelah novel ini sedikit dibahas pada upgrading FLP. Cuma sedikit, hanya 3 persen malah.

Existre berlatar tempat Dolly—meski tidak keseluruhan. Novel yang cukup kompleks atas pergolakan batin seorang putri sulung keluarga miskin yang harus menghidupi keluarganya, seorang putri dari keluarga yang tidak harmonis orang tuanya dan hidup penuh tekanan karena jabatan ibunda yang terus melangit tak terbatas, serta kehidupan seorang Qoshirotu Thorfi, yang begitu baik dirinya namun entah apa pasal, Allah belum juga memercayainya untuk mengandung buah hati dalam rahimnya, sementara sahabatnya yang menjadi kupu-kupu malam begitu mudah mengandung dan begitu mudah pula berupaya menggugurkan satu demi satu kandungannya.

Terlepas dari bagaimana jalan ceritanya—tidak akan saya ceritakan di sini, saya jatuh cinta dengan sosok Qoshirotu Thorfi. Dalam surat Ar Rahman, Qoshirotu Thorfi berarti bidadari yang membatasi pandangan ketika sumber lain menyebutkan artinya sebagai bidadari bermata jeli. Tokoh Ochi (begitu panggilannya dalam novel ini) entah mengapa begitu menggambarkan sesosok wanita yang begitu kuat dalam artian sebenarnya sebagai istri sekaligus sebagai hamba Allah. Ia yang tidak mengutamakan harta, mau berjuang, mau berkorban, berharap akan keridhaan suami #ehem, mampu dengan tulus ikhlas memutuskan hal yang sulit sekalipun, mampu menyandarkan segalanya pada Ilahi ketika masalah datang menyerang, begitu lembut hatinya. Qoshirotu Thorfi benar-benar seorang bidadari.

Begitulah seharusnya perempuan, dalam kacamata saya saat ini. Sebagai istri juga sebagai hamba. Betapa lapang hatinya, betapa ia belajar banyak untuk menguasai diri dalam amarah, dan betapa keras ia belajar ikhlas, sekalipun hal yang harus dilalui bukan hal yang mudah. Dari sini saya juga melihat bahwa pernikahan, sebagaimana janji ridha suami adalah surga dan sebagaimana surga adalah hal yang mahal untuk dimiliki, maka ujiannya pun tidak mudah *kan katanya kalau ujiannya gampang, paling ya dapetnya doorprize perabot rumah tangga aja :P. Betapa rumah tangga tidak melulu berhias kebahagiaan selepas akad. Betapa ibadah yang lama ini punya ujian yang juga panjang dan tidak ada seorang pun yang dapat menebak potensi masalah apa yang mungkin terjadi di pernikahannya. Kembali ke tokoh Ochi yang bikin saya ngefans, padahal ini baru tokoh fiksi ya, belum kisah teladan para shahabiyah yang sangat patut untuk diteladani :”

Saya memahami bahwa novel ini telah melalui serangkaian riset yang panjang…dan mungkin melelahkan. Terbaca selain dari acara upgrading yang saya katakan di atas tadi serta dari catatan penulis yang ada di halaman belakang. Waktu yang panjang serta melawan rasa bosan, namun harus tetap ditulis karena didalamnya telah termuat niat kebaikan. Bahwa Dolly menyimpan permasalahan mengakar yang sedemikian kompleks yang tidak hanya terletak pada kupu-kupunya, tapi juga anak-anak yang tinggal di kawasan itu. Baiklah, MataNajwa edisi Bu Risma tentu membuka banyak hal juga buat kalian.

Kembali ke persoalan penulisan. Saya ingin sekali menjadi penulis. Walaupun saya tahu sampai sekarang belum ada laku yang cukup nyata sehingga ingin saya bisa dibuktikan tanpa diledek sebagai impian kosong tanpa usaha atau hanya bual berbusa. Dan menulis hal sekompleks yang bisa ditulis Sinta Yudisia bukanlah persoalan mudah. Saya pernah juga menyimak tulisan Rhein Fathia tentang risetnya untuk novel Seven Days yang meraih juara I Lomba Novel Romance Qanita. Betapa menulis merupakan proses panjang yang harus dilalui dengan penuh kesabaran serta tekad berlapis baja. Kemudia saya evaluasi diri. Halo Fit, bener pengen jadi penulis? Kamu masih gini-gini aja. Yakin mampu riset buat bikin novel? Kemudian niatan ini menciut : yaudah jadi penulis cerita anak aja. Bukankah cerpen anak-anak singkat dan tidak ribet? Tidak ada permasalahan rumah tangga yang kompleks, atau permasalahan bangsa yang tercecer pada kemiskinan  berbentuk pemukiman kumuh dan anak jalanan yang rumit, atau masalah lilitan hutang, cinta sepasang—atau bahkan lebih remaja, serta pemenuhan kebutuhan rumah tangga : baik materi maupun kasih sayang. Overall, cerita anak-anak lebih menyenangkan dibaca selama memuat nilai dan pelajaran yang mudah dicerna bagi anak-anak.

Kemudian saya kembali tertampar.
Halo Fit, udah berapa kali emang nulis cerpen buat anak-anak?
Tahun ini, tujuh bulan telah berjalan sementara saya sadar bahwa belum ada satupun cerpen anak lahir dari jemari. Mana yang katanya memperjuangkan mimpi? Menguar entah kemana. Tidak ada yang bisa saya salahkan selain diri sendiri yang tak mampu mengubah tekad menjadi laku. Ah, sedihnya. Nggak bisa cerita banyak tentang hal ini soalnya kayak belum menghasilkan apa-apa. Kenapa ya obsesi banget pengen bisa nulis. Jujur, di usia saya yang hamper kepala dua, saya masih menyukai cerpen anak. Saya suka baca cerpen majalah Bobo *apa Fit kamu masih suka baca Bobo?* juga mengagumi karya-karya KKPK, PBC, Fantasteen, serta serial lainnya, juga mengagumi bagaimana Enid Blyton bisa mengarang kisah-kisah Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, juga cerita pengantar tidur yang saya pinjam bukunya dari Pakde dan masih ada di rumah hingga sekarang. Cerita-ceritanya manis sekali, mengajarkan kebaikan dan keteladanan lewat cerita. Sekalipun saya berniat akan menceritakan kisah nabi serta sahabat sebagai cerita pertama bagi anak-anak saya kelak *ups ini kenapa sudah futuristik sekali. Tapi, saya masih menyukai kumpulan cerita itu. Mungkin ini efek masa kecil saya yang terlalu bahagia berada di benaman fiksi anak. Mungkin harusnya saya telah dibenamkan dalam-dalam pada Al Quran serupa Musa yang sudah hafal berjuz-juz sejak masih balita. Tapi baiklah, hidup tidak untuk disesali. Doakan saya ya, semoga bisa benar-benar jadi penulis, juga editor fiksi. Namun tetap bisa hafal Quran dan punya keturunan yang hafal Quran. Aamiin. *kalo minta didoain sekalian yang muluk-muluk, hehe. Kita tidak pernah tahu lisan mana yang menyebabkan Allah menganugerahkan nikmat yang kita inginkan tersebut terjadi pada kita, bukan?

Kemudian kedua, meski ini sedikit banyak udah diungkit di atas. Pernikahan.
Suasana lebaran di kampung kelahiran tentu berbanding lurus dengan agenda silaturahmi ke sanak saudara yang kadang saya lupa silsilah hubungan darahnya. Satu yang saya ingat sejak pernikahan Mbak Kiki 1 Juli 2012 lalu, bahwa pernikahan bukan hanya menyatunya dua insan. Lebih dari itu, pernikahan menyatukan dua keluarga besar. Ketika konsep keluargamu telah menjadi keluarga kita, maka ada kumpul keluarga besar pasangan pun kita harus sukarela datang walau tadinya tidak mengerti itu siapanya pasangan kita. Mending kalau masih sepupu dekat. Bayangkan ketika yang ditemui adalah sepupu dari karena kakak angkat sang nenek. Atau dulu ada leluhur yang cerai terus menikah lagi dengan orang yang bawa anak, yah semacam itulah. Keluarga kita berlipat menjadi dua. Semalas apapun datang ke acara yang ada di desa sekalipun, karena sudah menjadi keluarga ya tetap harus datang *ini baru ngalamin nih, kemudian saya mengamati perspektif pasangan yang memiliki ikatan dengan keluarga besar yang mengadakan perkumpulan setelah menikah dengan pasangannya saat ini. Mungkin ini masih perspektif yang rasanya sulit dibayangkan oleh saya. Kadang saya heran, Abi dan Ummi kenapa selalu punya topik ketika berkunjung silaturahmi. Sementara jika berkunjung ke sanak keluarga yang sudah terhitung jauh dalam perspektif saya, saya sering kali hanya memasang senyum, mengemili makanan, dan sekali dua mengangguk jika ditanya. Selebihnya, saya merasa tidak bisa masuk ke topik percakapan meskipun berupaya memperhartikan.

Novel ini mau tidak mau mencerminkan realita dunia yang kadang kita pikir hanya berada di panggung televisi dan cerita fiksi saja. Padahal sejatinya nyata. Ia ada, tersembunyi oleh ketaktahuan yang bisa jadi merupakan keengganan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Buktinya Sinta Yudisia tahu banyak hal dari orang-orang yang juga dikenalnya. Bahwa kesimpulan Maida adalah kesimpulan yang masuk akal : rumah tangga yang tidak akur bisa jadi adalah karena mereka jarang –atau bahkan tidak pernah shalat berjamaah. Bahwa rumah tangga sekalipun kedua pasangan orang yang teramat baik pun tidak berarti akan luput dari cobaan. Kadang kalo baca hal begini jadi takut. Tapi kemudian saya berpikir, tiap hal ada resikonya. Demikianlah kenapa orang memutuskan untuk menikah.

Sebagai hamba Allah, keputusan menikah harusnya bukan didasarkan pada keinginan semata. Bukan pada kerinduan akan adanya teman berbagi dalam segala rasa : suka maupun duka, semangat maupun penat, sumringah maupun lelah. Lebih dari itu, menikah adalah memperluas peluang pahala yang berarti juga melakukan tugas diciptanya manusia sebagai makhluk : sebagai salah satu bentuk ibadah padaNya. Menikah adalah bentuk ibadah berupa pengabdian yang begitu lama –bahkan seumur hidupnya. Masanya lebih lama daripada enam tahun masa SD yang kadang suka bikin kangen, tiga tahun masa SMP yang katanya masa di mana bermulanya teman menjadi lebih dekat dari orang tua, atau tiga tahun SMA yang katanya masa terindah, atau masa kuliah sekalipun seseorang menempuh semester sampai ke semester keempatbelas. Akad membuat yang haram menjadi halal, yang tadinya neraka menjadi surga, yang tadinya bisa menjerumuskan berubah menjadi menentramkan. Menyadari hal demikian, seseorang seharusnya bisa selalu mengembalikan segala masalah pada tempat di mana seharusnya semua bermuara : Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.

Melandasi Allah dalam segala perbuatan harusnya bikin tenang ya. Karena bergantung padanya seharusnya tak pernah membuat kecewa. Hanya saja kalau dalam pernikahan seringkali emosi lebih diperturutkan, apalagi menyangkut perasaan—dan mungkin (meski saya benci mengatakannya) juga nafsu. Oleh karena itu saya ngefans banget sama Ochi yang begitu detil mengurai isi hatinya, begitu pasrah pada Tuhannya, dalam mencoba menjawab ujian rumah tangganya. Saya mengagumi tindakannya dan jadi berpikir jika suatu ketika ada masalah dalam rumah tangga kelak (karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di depan bukan?) mampukah kita berdiri kokoh bertameng keteguhan? Saya berharap bisa. Lebih berharap lagi tidak ada masalah sebenarnya. Tapi, dalam kadaan apapun, siapapun harus siap, bukan?

doakan saya bisa menjadi perempuan yang kuat, ya :")

ditulis dengan berbagai macam perasaan,
juga semacam rindu

Magelang, 1 Agustus 2014