Selasa, 30 Januari 2024

Allah yang Mampukan

Ikutan kelas pertemuan pertama. Di satu sisi mikir ya Allah aku kok kecil banget ya, kayak jauh mencapai itu semua. Tapi di saat yang sama jadi mikir, aku punya Allah yang Maha Besar, yang Maha Memampukan, terus jadi kayak terasaaa banget selama Allah mau bantu hambanya, akan Allah bantu. Huhu. 

Allah, peluk aku, peluk aku. :""")


Minggu, 28 Januari 2024

 highlight pekan ini: 

kok orang hebat-hebat sih ....

Ya Allah berilah aku petunjuk ... aamiin.

Jumat, 26 Januari 2024

Dunia Literasi dan Perbukuan Saat Ini

 Setiap ikut diskusi atau bincang literasi plus ikut kelas How to Read a Book kemarin rasanya kepala penuh dengan banyak overthinking tentang budaya literasi. Sedekat itu rasanya sama buku, akan tetapi di saat yang sama juga sejauh itu ternyata lingkungan di sekitar kita dengan buku. Kalau dulu buku adalah hiburan, sekarang banyak yang menggantikannya  di jajaran hiburan, gratis pula dapatnya. Bayar kuota paling tak dirasa seberapa. Kalau dulu buku menambah wawasan, sekarang kita punya mesin peramban bahkan kecerdasan buatan yang ‘terasa’ bisa mendongkrak kejeniusan.


Banyak yang cinta buku. Namun, rasanya lebih banyak lagi yang tidak secinta itu. Banyak mimpi kita soal literasi, akan tetapi kadang rasanya tawar seperti slogan tak berarti. Teringat akan salah seorang dosen muda yang menyampaikan pendapatnya di sesi diskusi workshop HTRAB. Mahasiswa-mahasiswa yang isi tugasnya hampir sama, buku yang jarang dibaca, modul yang mulai menggantikan buku teks yang dahulu biasanya menjadi referensi wajib tiap mata kuliah, padahal jurusannya sastra. Hmm, ada yang salah rupanya dalam literasi kita. Sampai-sampai seorang guru saya pernah bicara, isu skripsi ditiadakan nampaknya mengakomodir generasi yang kian berjarak dengan buku. 


Salah satu momen penting bagi saya di 2023 adalah ketika terpilih menjadi peserta workshop penyusunan buku model yang diselenggarakan Kemdikbud-setelah bertahun-tahun gagal lagi gagal lagi ikut sayembara dari kementerian yang sama. Saya kaget sekaligus minder ketemu banyak penulis yang banyak karyanya. Bahkan, saya gagu waktu ditanya, penulis? Padahal jawabannya hanya satu, iya, karena tidaklah mungkin saya ilustrator, hahaha. Belum lagi masa workshop itu bertepatan dengan pengumuman dua sayembara level provinsi dan nasional yang cukup menggemparkan meja-meja. Duh, rasanya tidak ada apa-apanya. Ragam genre mereka tulis. Aneka jenjang mereka cicip. Jumlah buku tentu sudah banyak jumlahnya.


Namun momen itu membuat saya berpikir bahwa kecakapan literasi terus diupayakan sebaik mungkin. Bagaimana tidak, pemerintah serius membuat program-program. Saya pun bertemu puluhan penulis yang telah menelurkan begitu banyak karya. Bukankah janji itu memang makin nampak di depan mata?


Di lapangan, seorang ibu anak SD yang peduli literasi mendatangiku dan rupanya tak pernah dengar buku-buku yang digarap bekerja sama dengan pemerintah. Padahal itu semua gratis dan sekolah anaknya cukup baik literasinya. Belanja pakaian juga kembaran lebih prioritas ketimbang memilih buku berkualitas. Jualan skin care dianggap lebih menguntungkan. Bisnis les baca yang baru berdiri omsetnya melebihi bisnis buku yang lebih dulu digarap. Salah seorang teman bercerita, tetangga seperumahannya-yang notabene komplek cukup berada-lebih memilih buku murah dengan kertas kelabu di fotokopian ketimbang buku bermutu padahal ia mampu. Dengar cerita literasi di luar negeri yang dari janin sudah dikasih sosialisasinya sama bidan, paket buku yang dikasih abis lahiran, dan program di sekolah anak usia dini menunjukkan ekosistem perbukuan yang kuat. Di sisi lain, saya sempat kaget ada orang minder baca buku di tengah keramaian. Hah? Seberjarak itukah? 


Tentu uneg-uneg ini belumlah valid karena memang saya tidak membawa data. Hanya isi kepala yang muncul seketika. Buku juga tak pernah berdiri sendiri, apalagi untuk anak usia dini. Mereka butuh dialog dan pantikan dari orang dewasa yang mendampingi. Lagi pula buku memang bukan harga mati, akan tetapi kemampuan membaca, menangkap makna, menyimpulkan, menghadirkan gagasan, mengolah data, menghasilkan ide, akan senantiasa dibutuhkan bahkan di masa-masa yang akan datang nanti.


Jumat, 19 Januari 2024

Kisah Keluarga Bertopeng Kisah Detektif

- Judul: Pembunuhan di Nihonbashi

- Penulis: Keigo Higashino

- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

- Tahun terbit: 2020 (versi asli 2013)

- Genre: Novel detektif

- Jumlah halaman: 304

- Ulasan/refleksi isi buku

Seorang wanita bernama Mineko terbunuh di apartemennya di Kodenmacho. Kepindahannya ke apartemen itu cenderung mendadak. Detektif Kaga menelusuri semua orang yang berhubungan dengannya. Meskipun lingkaran pertemanan Mineko tak bisa terbilang luas, penyelidikan lebih dalam justru mempertemukan Detektif Kaga pada tersangka-tersangka baru. Nyaris setiap bab berisikan tokoh berbeda karena lokasi yang dituju untuk penyelidikan juga berbeda. Biarpun begitu, tiap bab punya kisahnya sendiri, terutama tentang kehidupan keluarga. 

Bab pertama, Gadis Toko Senbei, misalnya, di balik penyelidikan orang asuransi yang datang ke toko senbei, ternyata juga menceritakan soal pemalsuan surat keterangan sakit dokter yang dibuat demi membuat sang nenek tenang dan tidak banyak pikiran.

Bab ketiga, Nyonya Muda di Toko Keramik, menceritakan tentang penyelidikan terkait hubungan Maki si nyonya muda dengan Mineko. Di hari kejadian, Mineko membeli gunting dapur yang rupanya titipan Maki. Dari penyelidikan ini, pembaca justru melihat di balik ruwetnya hubungan menantu-mertua yang terlihat tidak akur, ada perasaan sayang dan perhatian yang diberikan dengan cara mereka sendiri. 

Bab keempat, Anjing di Toko Jam, selain penyelidikan Detektif Kaga karena si pemilik toko jam bertemu dengan Mineko di sore hari sebelum kejadian, bab ini bercerita tentang perhatiannya orang tua pada anaknya yang tengah hamil, walau si anak kabur dari rumah dan 'tidak lagi dianggap sebagai anak' oleh orang tuanya. 

Dalam cerita, kita juga akan mengetahui motif Mineko pindah secara mendadak ke apartemen di Kodenmacho. Dalam alasan itu terdapat kesalahpahaman yang menghangatkan hati karena, lagi-lagi, ada alasan keluarga di sana. Perubahan sikap dan sifat sang anak menafakuri sosok ibunya juga ditunjukkan dalam kisah ini. Dari perenungan Koki, anak Mineko, pembaca akan menyelami masa lalu Mineko yang runyam akan persoalan rumah tangga hingga merasa tak berkembang, mirip ibuk-ibuk jaman sekarang, bukan? Pembaca pun akan bertemu harapan antar ayah dan anak yang sepertinya tak kunjung sampai, masih di lingkaran kehidupan keluarga Koki.

"Pada akhirnya, yang dicari oleh kalian berdua setelah bercerai adalah keluarga. Kalian sama-sama merindukan keluarga. Hubungan keluarga adalah sesuatu yang sangat kuat. Jangan lupakan itu."

Kelak di bab-bab akhir, juga diungkap kisah Detektif Uesugi tentang perhatian yang salah pada anaknya, Perhatian yang sering juga dilakukan di Indonesia seputar pemanfaatan jabatan ayah sebagai polisi oleh anak-anaknya. Dan ini cukup mengharukan. 

"Setiap kali melakukan pekerjaan ini, ada satu hal yang selalu muncul di benak saya. Saat terjadi kasus pembunuhan brutal, yang saya pikirkan bukan hanya menangkap si pelaku, tapi juga menyelidiki mengapa peristiwa itu bisa terjadi. Jika tidak, kesalahan sama akan terulang kembali. Banyak hal yang bisa dipelajari dari suatu kejadian."-Detektif Kaga, h. 295

Kalimat ini cukup dalam dan memberi alasan, mengapa Detektif Kaga sampai sebegitunya menyelidiki segala sesuatu yang terkait. Mendatangi satu per satu orang yang disebut dalam email yang ditulis Mineko. Mencari tahu kisah masa lalunya. Mendatangi toko mainan tradisional, kuil tradisional yang dikenal sering dikunjungi orang yang mendoakan kehamilan, dan tempat sederhana lainnya yang menunjukkan kebudayaan dan kesederhanaan dari wilayah yang (katanya) tidak terlalu terkenal di Jepang ini. Menarik, karena memang dalam suatu kejadian yang merenggut nyawa, semua yang mendapat ketidakadilan adalah korban. Sehingga benarlah pemikiran Detektif Kaga bahwa mengusut persoalan sampai tuntas harus dilakukan. Dalam perjalanannya, setelah pelaku ditemukan pun, ia tak langsung mengakui dengan jujur apa motifnya. Perlu 'penyadaran' tambahan agar motif sebenarnya dibalik kejahatan ini terungkap, dan semua pihak sadar, bukan menjadi 'korban' yang tersandera kejahatan berikutnya. 

Di buku ini banyak sekali kalimat-kalimat bagus yang kutandai. Sayangnya, entah mengapa aplikasinya tidak bisa mengakses kembali (padahal sempat ditengok dan bisa). Selain detail dan kejeniusan Detektif Kaga (dan tentu penulisnya!) yang canggih, topik besar keluarga yang menyusup dalam setiap babnya sangat hangat dibaca. 

#RabuReview

 




Senin, 15 Januari 2024

Catatan Pembunuhan Sang Novelis: Sebuah Ulasan Kisah Para Penulis Tentang Pertemanan-Perundungan


 - Judul : Catatan Pembunuhan Sang Novelis

- Penulis: Keigo Higashino

- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama

- Tahun terbit: 2020 (versi asli 2001)

- Genre: Novel detektif

- Jumlah halaman: 304

- Ulasan/refleksi isi buku

Hidaka Kunihiko, seorang novelis terkenal, meninggal dibunuh sehari sebelum kepindahannya ke Kanada. Sebelum ditemukan meninggal ia ditemui Fujio yang datang untuk protes atas novel Hidaka yang mengangkat kisah kakaknya. Nonoguchi Osamu, temannya sejak kecil menemukan jasadnya bersama Hidaka Rie, istri Hidaka. Tak hanya itu, ia juga menulis catatan tragedi kematian sahabatnya ini-layaknya pekerjaannya sebagai penulis yang suka mengabadikan kejadian-kejadian. Sementara, Detektif Kaga Kyoichiro yang menangani kasus ini rupanya pernah sama-sama bekerja sebagai guru di SMP yang sama dengan Nonoguchi.

Tak membutuhkan waktu lama, pelaku pembunuhan ditangkap. Namun, ia sama sekali tak mau mengungkap motif kejahatannya dan memilih membebaskan saja motifnya pada kepolisian. Detektif Kaga pun  menyelidiki kasus pembunuhan ini sampai menyingkap masa lalu Nonoguchi dan Hidaka sejak mereka duduk di sekolah dasar. Kaga pun menyingkap banyak hal soal pertemanan, perundungan, sastra, juga teknik yang sesungguhnya disiapkan pelaku hingga hari kejadian. 

Novel ini diceritakan dengan banyak sudut pandang. Utamanya, ada bagian catatan Nonoguchi dan juga catatan Detektif Kaga. Di samping itu juga ada bagian yang dominan diisi sudut pandang dari orang-orang di sekitar kehidupan Nonoguchi dan Hidaka sejak masa lalu. Dari sinilah pembaca seolah-olah diarahkan kepada satu kebenaran. Namun, siapa sangka, di halaman yang lain kebenaran yang sudah ia yakini itu akan goyah akan catatan yang lainnya. Pembaca yang tadinya sudah meyakini suatu fakta dibawa pada kenyataan bahwa itu rupanya hanya rekayasa. Terus begitu berulang-ulang hingga akhirnya Detektif Kaga mampu menemukan motif sesungguhnya kejahatan tersebut. Teknis menulis Keigo seperti ini sangat patut diacungi jempol.

Satu hal yang cukup menarik perhatianku adalah soal penulis (karena kedua tokoh ini pekerjaannya adalah penulis) di masa tahun 2000an awal sebagaimana novel versi aslinya terbit di Jepang. Mereka masih menulis secara manual, komputer masih dianggap kemewahan, menyimpan file di disket, mengirimkannya lewat faksimili, dan merekam hasil riset pada CD ROM. Hal kedua yang menarik bagiku adalah soal perundungan. Kadang aku berpikir soal majunya Jepang, tetapi seorang teman yang mukim di sana sejak 2013 pernah menceritakan ketidaksiapan orang Jepang melihat perbedaan (tanpa bermaksud menggeneralisir) yang bisa menyebabkan adanya perundungan. Dan kisah perundungan yang disampaikan di novel ini dari pengalaman Detektif Kaga sebagai guru sangat membuat sedih. Sungguh masalah perundungan adalah masalah yang melampaui zaman dan waktu, tampaknya. Di tahun 2000an awal saja sudah digambarkan sebegitunya. Kebayang kekhawatiran di masa ini. Waktu baca langsung mikir, tiap anak harus kuat dari rumah, tiap skeolah dan guru harus punya sistem yang kokoh dalam menghadapinya agar tak lahir pelaku perundungan baru dari korban perundungan.

#RabuReview