Her.
My daughter is growing. And also my heart.
My mind discovers my past. Finding myself beneath all my struggle and sorrow.
===
Sore ini Kaisa mengajakku main anak-anakan. Kaisa dengan anaknya, seekor oneka unicorn bernam Loli-Lolipop. Dan aku bersama Buci, boneka beruang wisuda punya tantenya.
Aku memperhatikan bagaimana ia memperlakukan anaknya, dan menyadari bahwa itu semua bagaimana ia menyerap interaksi ibu-anak yang terjadi di antara kami. Hatiku terharu menyadari semua berlalu dengan begitu banyak hal membekas yang kadang tak disadari. Kerunyaman hari, ketidakstabilan emosi, parenting is so big thing for me.
Aku melihat anakku memperlakukan anaknya dengan sangat baik, penuh kelembutan dan kasih sayang. Air mataku kutahan kuat-kuat. Anakku tumbuh, dan berkembang. Lalu aku merefleksi seluruh masa lalu yang kulewati bersamanya. Kusebut masa lalu padahal baru 4 tahun hidup bersamanya. Empat tahun yang mengubah dan memperjuangkan banyak hal-untuk tak bilang mengorbankan. Empat tahun aku berjuang beradaptasi dengan segala motherhood ini-dan begitu juga dengannya. Empat tahun yang menumbuhkannya sebagai seorang anak, sebagai seorang individu, sebagai seseorang yang mengetahui baik buruk versinya-versi keluarga kami, sebagai seseorang yang gaining knowledge dari interaksi harian kami.
My daughter is growing.
Aku mengingat fase-fase berat melewati adaptasi di awal menjalani peran sebagai ibu. Juga fase-fase berat saat ini yang kadang membayang. Bayangan yang tidak perlu dan melawan diri sendiri. Ah Nak.
Cerdasmu, riangmu, celotehmu, kadang kutahu hal-hal itu kelak akan kurindukan. Sangat. Meski kadnag di saat yang sama pula aku tak berimbang membersamaimu. Aku melihatmu ingin meraih perhatianku dengan permainan tadi. Dengan cara dan strategi yang baru. Boneka-boneka itu merepresentasi perasaanmu, barangkali. Atau hanya tebakan dan cocoklogiku saja? Entahlah, siapa yang tahu.
Hei Nak, kehidupan kadang berjalan tak menyenangkan dan tidak terasa menyenangkan. Ibu juga kadang menangis atau merasa tak nyaman karena suatu hal. Tak mudah, terus berjuang. Ah, apapun yang muncul di benak kutulis saja walau rasanya tak beraturan.
Menyenangkan melihatmu tumbuh dengan kecintaan pada dua hal, buku atau membaca, dan menggambar. Merunut balik proses kita sampai di titik ini. Ah, entah bagaimana rasanya menggambarkan perasaanku. Kebanggaanmu menunjukkan buku demi buku di telepon, pertanyaan spontanmu, imajinasi yang kau tuangkan di atas kertas dengan definisimu sendiri.
Aku mengingat hari-hari panjang di masa lalu ketika menyusui menjadi hal baru yang kadang membosankan. Ilmuku tahu menyusui sebaiknya dibersamai dengan apa tapi sebagian hatiku iri dengan yang lain-lainnya. Aku mengingat hari-hari membaca buku kita di bawah. Dan yang menurutku juga punya banyak kontribusi, atas izin Allah, merumput yang tak terhitung banyaknya di lapangan atas, sering juga bersama ayah. Hari-hari ini aku sering berpikir kok bisa ya dulu kayak seluang itu merumput di atas. Tak peduli banyaknya pandangan bingung orang kotor-kotoran di rumput bahkan lumpur. Hujan-hujanan dan nyeker. Kalau kubilang semua butuh perjuangan ya memang butuh. Ilmu dan amal, tak ada yang instan. Mematangkan refleks, memuaskan motorik kasar, memberi ruang luas untuk bebas bergerak. Semua yang kusyukuri menjadi pembentuk harimu kini, atas izin Allah. Pencil grip, toilet training, less tantrum, artikulasi bicara yang baik. Hai Nak :")
Apalagi yang ingin kubicarakan padamu?
Ah, kalau itu sih biasanya kusampaikan langsung, ya. Tak berlama-lama. Di sini aku hanya menuliskan apa yang membenak sepanjang sore-malam. Oh ya, tadi aku terngiang kata-kata mbak penjual jamu ke salah satu tetangga yang sudah bekerja lagi 3 bulan belakangan. Putrinya SD dan seumur Kaisa. Mbak itu bilang, sayang sekolah tinggi-tinggi kalau nggak kerja.
Klise sekali memang. Aku tertawa dalam hati, meskipun setiap menatapi hal yang sama biasanya juga aku meringis. Buatku, kerja terasa jauh berkali lipat lebih mudah dari pada membersamai anak. Mungkin karena kerjaku less berhadapan dengan manusia meski tetap menuntut empati. Dan membersamaimu adalah pilihan sadar yang telah kutabung jauh sebelum aku menikah. Namun, memang menjalaninya penuh perjuangan dan tak mudah. Walau demikian, insyaAllah aku tak pernah menyesalinya. Menyenangkan sekaligus bangga melihatmu bertumbuh dengan semua yang Allah titipkan padamu saat ini. Ingatan-ingatanku tentang kakak gurumu, pikiranku yang penasaran tentang persepsi kakak guru tentangmu, ingatan tentang cerita Mbak N bedanya ketika ia bekerja dan tidak dengan anak-anaknya. Aku tahu, aku memperjuangkan hal yang, setidaknya aku percaya ini hal yang benar bagi nilai dan paham yang kuamini.
Berat, tapi berjuang. Allah kan lihat semua perjuangan itu ya.
Walau kadang kuakui, aku juga kadang mager untuk berjuang. Dasar manusia zaman sekarang.
Nak, kelak, kamu jadi seperti apa ya?
Semoga Allah jaga Kaisa selalu, ya. Ibu sayang Kaisa.
Uncountable tears. Countless exhaustion.
Semoga, yang lebih banyak tetap cinta, dan kemauan mengejar ridhaNya.