Ada satu celetukan adikku yang belakangan menerjemahkan novel lebih dari 200 halaman dari Bahasa Spanyol ke Bahasa Indonesia. "Yang penting dari menerjemahkan itu, bahasa Indonesianya harus bagus, Mbak," begitu katanya. Membuatku diam dan tercenung lama. Aku baru sadar loh pas itu. Oh bener juga ya, makanya nggak semudah itu bisa menerjemahkan Indo ke Inggris lantas bisa menerjemahkan INggris ke Indo, berlaku untuk semua bahasa lain aku rasa.
Pengalamanku menerjemahkan buku masih bisa dihitung jari, dan terjadi tanpa rencana dan kepikiran sama sekali. Pertama kalinya dan sangat kusuka di 2022, menerjemahkan buku berima. Sekarang, saat melihat adikku menyelesaikan terjemahan novelnya, setelah sebelumnya menerjemahkan manual mobil, aku seperti melihat benang merah yang sama.
Menerjemahkan buku berima tak lepas dari peran ayah yang begitu menyukai puisi sejak bangku sekolah. Aku terstimulus mendengar kata berakhiran sama, bukan dalam bentuk cerita. Sense-ku menyala begitu saja dengan keindahan rima. Coba-coba buat puisi ya tak pernah seserius ayah, walau ia bukan pujangga bak penyair yang sering kita lihat bukunya di gramedia atau dikutip berkali-kali lantaran sangat berkaitan dengan film legendaris yang setelah dua puluh tahun muncul lanjutannya.
Secara latar belakang pendidikan, Ayah orang teknik, yang menyukai puisi. Aku sepenuh hati cinta Matematika, dan sesadar diri kurang diasah. Itu yang membuatku bulat masuk kuliah bidang eksakta, tapi rupanya hati terus mencari dunia kata. Adikku tak tertarik eksakta, dan mati-matian belajar di jurusa IPA. Namun demikian, bakatnya soal bahasa sudah terlihat sejak dulu kala. Dulu semasa TK, ia hafal Surah An Naba hanya bermodal dengar, belum bisa baca mushaf sepertinya. Kuliah bulat ambil sastra Arab, sebelum lulus menggeluti Spanyol, dan sampai hari ini konsisten dengan kelasnya, @ayobelajarspanyol.
Kemarin waktu sesi bersama Teh Afi dan Teh Afi menyebut peran ayahnya dalam dunia literasi, aku juga mengingat abi dalam perjalananku, terutama menerjemahkan buku. Siapa sangka abi pernah membuat kamus penyair, ia mengumpulkan kata dan mengurutkannya dari huruf belakangnya, mempermudah untuk mencari rima. Ia juga bilang, sekarang ini kalah sama internet dan sebangsanya, tapi aku tetap mengingat kesukaannya terhadap puisi dan rima yang luar biasa, terwarisi dalam diriku.
Abi dan Ummi adalah dua orang yang sejak aku kecil kutahu gemar menulis. Semasa sekolah ikut lomba menulis, gemar berkirim surat, bahkan mengirimi kedutaan besar surat untuk dapat informasi dari mereka. Kala itu Abi dan Ummi belum kenal internet. Namun, kurasa itu pula yang menyuntikku untuk mencoba menulis. Aku juga pernah mengirim surat untuk kedubes seperti mereka, tentu saja mereka yang mengompori. First pieceku adalah rubrik Korcil di Republika, bercerita pengalamanku menonton pengantin Betawi. Tentu saja peran Abi banyak di dalamnya. Kecintaanku terus berlanjut terhadap media cetak dan buku. Koran, majalah, buku, semua aku suka. Semasa sekolah, ada masa aku menyengaja menyempatkan sela waktu istirahatku untuk ke perpustakaan dan membaca di dalamnya, mengikuti cerita bersambung di majalah ibu-ibu, atau selalu membaca rubrik anak muda dan membuatku rada ngasal ngide untuk masuk ke dalamnya. Dan, lolos dua kali. Menyenangkan sekali.
Aku tahu, pengalaman jurnalistikku rada kentang. Nanggung. Sekolah di asrama dengan akses yang tidak seperti sekarang tidak menjanjikan banyak peluang. Tapi, aku tetap senang dengan semua itu. Semasa kuliah hattrickku adalah masuk cerpen Republika. Tahu dari mana ide ceritanya? Curhatan Ummi tentang berita yang ia sampaikan via telepon.
Kisah seputar dunia jurnalistik dan tulis menulis ini juga tak lepas dari pengalaman membaca yang terlalu mengesankan selama aku kecil, yang entah mengapa seperti tak mau kulepaskan seiring aku mendewasa. Harapanku, semoga Allah ridha dengan jalan ini, dan bisa selalu menjadi jalan kebaikan untuk banyak orang ke depannya, banyak anak-anak dan jiwa-jiwa kecil menjadi pribadi yang merdeka berpikir dan berimajinasi serta senantiasa bahagia.
Ah, aku sedih belum banyak berterima kasih pada Ummi dan Abi.
Tulisan ini lahir dari mengagumi keindahan narasi dari buku yang sedang kubaca.