Setiap ikut diskusi atau bincang literasi plus ikut kelas How to Read a Book kemarin rasanya kepala penuh dengan banyak overthinking tentang budaya literasi. Sedekat itu rasanya sama buku, akan tetapi di saat yang sama juga sejauh itu ternyata lingkungan di sekitar kita dengan buku. Kalau dulu buku adalah hiburan, sekarang banyak yang menggantikannya di jajaran hiburan, gratis pula dapatnya. Bayar kuota paling tak dirasa seberapa. Kalau dulu buku menambah wawasan, sekarang kita punya mesin peramban bahkan kecerdasan buatan yang ‘terasa’ bisa mendongkrak kejeniusan.
Banyak yang cinta buku. Namun, rasanya lebih banyak lagi yang tidak secinta itu. Banyak mimpi kita soal literasi, akan tetapi kadang rasanya tawar seperti slogan tak berarti. Teringat akan salah seorang dosen muda yang menyampaikan pendapatnya di sesi diskusi workshop HTRAB. Mahasiswa-mahasiswa yang isi tugasnya hampir sama, buku yang jarang dibaca, modul yang mulai menggantikan buku teks yang dahulu biasanya menjadi referensi wajib tiap mata kuliah, padahal jurusannya sastra. Hmm, ada yang salah rupanya dalam literasi kita. Sampai-sampai seorang guru saya pernah bicara, isu skripsi ditiadakan nampaknya mengakomodir generasi yang kian berjarak dengan buku.
Salah satu momen penting bagi saya di 2023 adalah ketika terpilih menjadi peserta workshop penyusunan buku model yang diselenggarakan Kemdikbud-setelah bertahun-tahun gagal lagi gagal lagi ikut sayembara dari kementerian yang sama. Saya kaget sekaligus minder ketemu banyak penulis yang banyak karyanya. Bahkan, saya gagu waktu ditanya, penulis? Padahal jawabannya hanya satu, iya, karena tidaklah mungkin saya ilustrator, hahaha. Belum lagi masa workshop itu bertepatan dengan pengumuman dua sayembara level provinsi dan nasional yang cukup menggemparkan meja-meja. Duh, rasanya tidak ada apa-apanya. Ragam genre mereka tulis. Aneka jenjang mereka cicip. Jumlah buku tentu sudah banyak jumlahnya.
Namun momen itu membuat saya berpikir bahwa kecakapan literasi terus diupayakan sebaik mungkin. Bagaimana tidak, pemerintah serius membuat program-program. Saya pun bertemu puluhan penulis yang telah menelurkan begitu banyak karya. Bukankah janji itu memang makin nampak di depan mata?
Di lapangan, seorang ibu anak SD yang peduli literasi mendatangiku dan rupanya tak pernah dengar buku-buku yang digarap bekerja sama dengan pemerintah. Padahal itu semua gratis dan sekolah anaknya cukup baik literasinya. Belanja pakaian juga kembaran lebih prioritas ketimbang memilih buku berkualitas. Jualan skin care dianggap lebih menguntungkan. Bisnis les baca yang baru berdiri omsetnya melebihi bisnis buku yang lebih dulu digarap. Salah seorang teman bercerita, tetangga seperumahannya-yang notabene komplek cukup berada-lebih memilih buku murah dengan kertas kelabu di fotokopian ketimbang buku bermutu padahal ia mampu. Dengar cerita literasi di luar negeri yang dari janin sudah dikasih sosialisasinya sama bidan, paket buku yang dikasih abis lahiran, dan program di sekolah anak usia dini menunjukkan ekosistem perbukuan yang kuat. Di sisi lain, saya sempat kaget ada orang minder baca buku di tengah keramaian. Hah? Seberjarak itukah?
Tentu uneg-uneg ini belumlah valid karena memang saya tidak membawa data. Hanya isi kepala yang muncul seketika. Buku juga tak pernah berdiri sendiri, apalagi untuk anak usia dini. Mereka butuh dialog dan pantikan dari orang dewasa yang mendampingi. Lagi pula buku memang bukan harga mati, akan tetapi kemampuan membaca, menangkap makna, menyimpulkan, menghadirkan gagasan, mengolah data, menghasilkan ide, akan senantiasa dibutuhkan bahkan di masa-masa yang akan datang nanti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar