Kami memasuki tribun itu, tribun di mana entah pertandingan apa yang berlangsung di dalamnya-aku juga tak begitu paham. Bahkan mengapa kami sekeluarga kami kesini pun, aku juga tidak begitu paham. Satu yang melintas di kepalaku secara tiba-tiba. Hei, bukankah seharusnya kau juga ada di sini?
Kemudian aku melihatmu, di sudut situ. Barisan tribun keempat atau kelima--entahlah, aku juga tak menghitung dari bawah. Yang jelas kita hanya berselisih satu baris. Kalau kau di barisan keempat, maka aku ada di barisan kelima. Kalau kau duduk di barisan kelima, maka aku ada di barisan keenam. Kau ada di kursi kedua dari pinggir jalan. Sebelahmu--entah siapa seorang laki-laki berambut coklat, dengan baju putih, sama denganmu. Sementara kau duduk dengan jalan di sebelah kanan, kami melewati jalan sebelah kiri. Mungkin kamu tak melihatku.
Aku bertanya pada ayah-ibu. Mengapa kita kesini? Mereka jawab kemarin kita juga kesini. Kemuian sedikit penjelasan lainnya yang aku juga kurang mengerti. Biar sajalah. Aku melirik lagi, kau masih disitu.
Kedua adikku ribut rebutan gadget. Lari hingga barisan duduk atas. Ibu menoleh ke atas menasehati dengan sedikit nada marah. Aku ikut-ikutan menoleh ke belakang. Hei, ada anak kecil itu. Bukankah kau.... Aku membatin. Kau juga datang sekeluarga?
Kemudian aku memainkan sedotan tanpa tujuan yang jelas. Entahlah, aku tak begitu mengerti mengapa kami sekeluarga ke sini. Aku kembali melirik ke arahmu. Dan kau-entah-mengapa juga menoleh ke arahku. Pandangan kita selintas bertemu. Tapi aku yang mungkin terlalu kaget malah memalingkan muka, menaruh kembali satu dari sedotan yang kumainkan ke plastiknya. Bodoh, mengapa tidak sekadar bertukat senyum? Toh semua akan berjalan baik-baik saja. Dan aku kembali menoleh ke arahmu, disela-sela lipatan tangan adikku yang menyangga kepalanya. Kau masih menoleh ke arah sini. Tapi gerak reflekku entah mengapa malah buru-buru fokus membenarkan posisi sedotan di tanganku, kemudian mengembalikannya lagi ke plastik. Maaf, aku terlalu ragu untuk melempar senyum duluan.
Kau pun beranjak dari kursimu, entah mengapa. Meninggalkan kursi itu dan berjalan ke pintu keluar atas--tadi kami sekeluarga masuk lewat pintu bawah. Apa kau marah? Kesal? Entahlah aku tak tahu. Tapi aku jadi sedikit merasa bersalah. Hei, aku lihat adikmu dibarisan tribun sebelah, sepertinya sedang berjalan ke arah barisan kursimu tadi. Kemudian aku melihat kursi tempat kau duduk tadi. Ah, aku seolah mengenali orang-orangnya meski hanya melihat dari atas. Mungkin ini hanya ke sok-tahuan-belaka. Itu di sebelah kirimu pasti ayahmu, kemudian tantemu-seperti yang pernah aku lihat di foto itu, kemudian adik dan ibumu, atau ibu dan adikmu. Bagian yang ini aku lupa. Tapi keseluruhan tadi, mengapa aku bisa ingat?
Dan mungkin masih karena hal itu. Juga karena aku perempuan, yang mudah sekali mengingat hal remeh-temeh dengan detil seperti yang barusan kuceritakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar