Stasiun Cibinong, sebagaimana stasiun-stasiun lainnya. Menyimpan banyak cerita. Tentang berpindah. Tentang pergi dan kembali. Tentang peluk-tangis-berpisah. Tentang perjuangan pagi-pagi. Tentang berebut antri keluar dari loket tiket. Tentang banyaknya penjemput yang mencaricari. Tentang gelisah protes orangorang yang penjemputnya belum sampai. Terlebih, tentang kontemplasi.
Stasiun ini sebenarnya sudah lama. Baru beroperasi kembali sekitar 1-1,5 tahun terakhir, kalau tidak salah. Terakhir dulu waktu saya awal-awal SD. Selebihnya, karena tidak dipakai, maka dinikmati sebagai tempat jalan-jalan : jalan habis sahur, ngabuburit, atau ahad pagi sebagai pemuas penasaran anak-anak kecil yang ingin tahu bagaimana rupa kereta tapi belum pernah mengindaranya langsung dengan mata. Maka cukuplah rel menuntaskan penasarannya.
Stasiun ini kecil. Tak punya kedai roti rasa kopi, minimarket, atau penjual roti maryam. Bahkan mesin atm satupun ia tak punya. Pekarangannya yang dulu terbengkalai sering dipakai main bola-bahkan sampai sekarang. Satu dua kali ada orang belajar motor di sana. Parkiran hanya bisa menampung motor dan itu pun akhir-akhir ini. Tidak ada parkiran mobil sama sekali. Tidak dilalui angkot di depannya. Depan stasiun ada dua sekolah dasar sehingga ramai abang jualan. Dari jualan jajanan sampai makan besar. Ada saja yang jualan dari jam jual abang bubur pagi-pagi sampai pecel lele kala malam.
Stasiun ini menyenangkan. Setidaknya bagi saya yang cukup menempuhnya hanya dalam bilangan rerata 10 menit berjalan kaki dari rumah. Kadang kurang, kadang pula lebih. Walaupun jalannya menanjak. Tidak apa. Tapi bisa mengantar kemana-mana. Meskipun jadwalnya masih terbatas; hanya 9x satu hari.
Di stasiun suatu ketika, seorang anak perempuan dilepas ayah bundanya. Bawaannya memperlihatkan ia hendak pergi ke tempat yang jauh karena tasnya yang besar dan berjumlah dua. Orang tuanya memeluk lekat-lekat. Erat. Dua satpam menelan ludah. Amboi, betapa lamanya dirnya tidak dipeluk lekat-lekat oleh orang tua. Wajahnya menyiratkan rindu yang tak terkira. Stasiun, sebagaimana biasanya, selalu melukiskan pisah dan jumpa, antar dan jemput, temu atau lalu.
Di stasiun suatu ketika, seorang nenek bingung bagaimana tiket kartu bekerja. Maka petugas membantu dengan sukarela. Rombongan keluarga kerepotan hendak pergi ke rumah saudara. Petugas membantu dengan sukarela. Berulangkali orang bertanya memastikan arah. Maka sebanyak itu pula petugas menjawab. Di atas itu semua, barangkali hati petugas sering juga membatin: kapankah aku bisa ajak orang tua di kampung coba kereta antar kota? Kapankah bisa bersama berlibur naik kereta antar kota? Kapankah aku memijak tempat-tempat yang tadi ditanya.
Orang-orang terburu. Memenuhi loket keluar untuk segera mencapai tujuannya masing-masing. Ada yang ingin bergegas shalat karena tadi kereta berangkat persis waktu azan. Ada yang ingin lekas mampir beli oleh-oleh untuk buah hati: sekadar jajanan SD yang masih ada di dekat sekolah. Ada yang menunggu temannya. Ada yang ingin segera melepas penat di rumah. Ada yang ingin buru-buru melepaskan segala tumpah ruah pikiran dan perasaan di sudut ruang ternyamannya.
Cerita-cerita itu barulah yang tertampak mata. Runyamnya hati orang-orang disana tentu jauh lebih banyak. Berbagai pikiran memenuhi benak, mengisi ruang hati. Ada yang menimbulkan sesak, ada yang menaburkan bunga. Ada yang ingin dipendam sendirian, ada yang ingin segera diceritakan. Ada yang menyebabkan diam, memilih duduk lama di pinggir. Ada yang memburu-buru harus segera sampai.
Stasiun (Cibinong) selalu menyimpan banyak cerita.
Stasiun Cibinong,
17.17
11-7-17
*tanpa rekayasa waktu
Sebuah stasiun sederhana, tapi menyimpan banyak cerita ya, Mbak Fitri.
BalasHapusManis sekali ceritanya, Mbak.
Alhamdulillah, Iya Pak.
HapusTerima kasih Pak Bambang, kunjungannya :')