Entah harus ditutup judul apa tulisan kali ini. Perempuan dan apa?
Such a miracle pagi ini bisa nulis, di tengah deadline yang juga sudah lewat dan tak kunjung usai tugas menulisku yang lain. Anak dan suami yang kondusif, semoga sampai tulisan ini selesai bahkan sampai lekas menyiapkan sarapan dan usai tugasku yang lain. Allah maha mendengar, kan?
Pagi belum berjeda begitu lama sejak kuterbangun dan subuhku menyisakan gelisah. Tentang semalamku yang hanya mampu kuisi menidurkan anak nyaris satu jam dan berlanjut aku yang terlampau lelah meniti hari. Dan merasa ga guna ga ngerjain apa-apa selain itu huhu saddd. Meninggalkan anak yang terlelap dan suami yang begadang berupaya mencari tambahan pemasukan. Semoga Allah ridhai.
Masih kuingat perbincangan di atas motor Ahad lalu. Tentang circle Hilmy yang menyebutkan lingkaran pertemanannya di mana suaminya kerja di mana, istrinya kerja di mana. Yang jelas keduanya hi companies dan Hilmy ga kebayang gimana pemasukannya ya. Belum ada tanggungan anak. Suatu waktu kalau keadaan memaksa, mungkin yang menjadi pilihan bukan istri yang resign tapi nyari pengasuh. I don't talk this choice is bad. Semua punya pertimbangan masing-masing dan setiap keluarga akan choose their battle, with all consequencies.
Kemarin Hilmy cerita lagi, masih dalam lingkungan yang kusebut di atas. Tentang pasangan yang sebelum menikah berjanji, kalau yang lelaki tidak akan merokok lagi, dan yang perempuan tidak akan minum lagi. Even pas Hilmy ketemu, yang lelaki merokok juga. Entah sembunyi-sembunyi atau bagaimana. Bagiku sangat tidak make sense sih. Main belakang berarti siap dimainbelakangi juga. Apakah gapapa kalau istrinya kelak minum lagi? Entah.
Pagi ini sebelum subuh buka laptop. Entah bagaimana lupa, ada page yang belum kututup dan membawaku pada linkedin istri pasangan yang kuceritkan di atas. Kubaca satu per satu. Jiper lah. Ahaha. Sekolah rasanya level internasional semua. Dari elementary sampai s2. Bekerja level senior di company yang levelnya mantap lah. Seketika memang jadi minder der der. Ahaha. Lalu teringat perbincangan Ahad kemarin (belum kuceritain semuanya sih di sini). Juga perbincangan kemarin sama Hilmy.
Jadi, baiklah akan aku tuliskan resume isi obrolan kami dari Ahad, senin, sampai pikiran selasa pagi ini wkwkkw.
Di dunia kapitalis ini, mudah sekali kita membandingkan diri atau jangan membandingkan dulu lah, melihat dan terpapar saja dulu, dengan kesuksesan dunia. Pendidikan tinggi, kerja di company yang bagus, gaji tinggi, lingkaran pertemanan dan jaringan yang menguntungkan, tempat tinggal dan kendaraan yang nyaman, cantik modis atau percaya diri berpenampilan apa saja.
Sukses dunia. Bisa membuat iri siapa saja yang tak bersih hatinya.
Sampai di tahu fakta bahwa minum pernah jadi hal yang dilakukannya, entah kebiasaan atau level coba-coba. Bagiku selesai sudah. Berhenti sampai situ, cukup merasa jipernya. Aku sangat paham tentang memisahkan persoalan pribadi atau tetap menghargai ilmunya. Seratus persen aku setuju. Tapi menjadikannya sebagai panutan atau orang yang dikagumi atau orang yang di "waaaaw" itu memang tidak perlu sama sekali (bukan aku sih, tapi bagus aja buat memilih diksi wkkwkw). Yang teringat sama seperti perbincangan di keluarga dulu waktu memilih pasangan, kalau merokok, blacklist, wkwkwk. Duh tapi kalau kalian cuma baca tulisan ini sangat berpotensi salah sangka nih, bingung juga baiknya gimana menuliskannya.
Semua keluarga memilih their own battle. And every woman does. Setiap perempuan akan memilih karir atau tidak, berteman dengan siapa, dan segala keputusan lainnya terutama di situasi sulit. Aku bilang sulit karena memang begitulah perasaannya. Bagaimanapun terlihat mudah, tentulah terlatarbelakangi oleh banyak pertimbangan keputusan, emosi, jiwa, dan raga. Dalam case di atas, ketika asumsiku bermain, kita tidak pernah tahu apa yang melatar belakangi minum, misalnya. Bisa pola hidup keluarga, pertemanan, atau habit di luar negeri yang 'memaksanya' demikian. Aku pernah program summer di Jepang dan merasakan sendiri habit temen-temenku yang aku bisa bilang intelek wkwkwk untuk ketemu minum sebagai penghiburan mereka setelah stres belajar. Walaupun aku jadi ingat kata Buya Hamka kalau ga salah ya, bahwa kita akan ketemu yang kita cari. Toh, aku ingat juga Teh Karin jadi hijrah justru di luar negeri. Pun ada temenku yang lain yang kurasa jadi lebih jauh mempelajari Islam bahkan mengubah cara berpakaiannya menjadi lebih tertutup setelah belajar di luar negeri.
Aku hanya ingin menhighlight kata seorang ustadz, jangan kita iri sama orang yang bukan pengemban dakwah atas kemudahan hidupnya. Kalau by case yang sempat kita obrolin di motor, barangkali teman-teman itu ya incomenya banyak, didapat secara mudah, kek ga ada kesulitan hidup lah pokoknya. Tapi kalau kita melihat ya setiap orang pasti punya ujiannya kan, beda-beda aja ujiannya. Terus ((huaa terus Kaisa bangun)).
Okay mari kita lanjut.
Sisi lain, kita sama-sama paham kalau sistem sekarang ini kapitalis. Jadi ya udah sistemik. Media sosial dibangun oleh sistem kapitalis. Kita yang mengonsumsi makin mudah terpapar sama hal-hal duniawi (ya ukhrowi juga bisa jadi siih, tapi liat ajalah mayoritasnya apa buat kita dan mayoritas orang kek gimana nyerep informasinya). Jadi karena kita terpapar oleh hal-hal seperti itu, bisa muncul iri, ketidakpuasan dan ketidak-qanaah-an, pengen kaya a b c d yang bisa dan punya ini itu, merasa ingin macem-macem lah. Jadilah bisa jadi orang mikirnya ya kapitalis. Mana yang berpotensi cuan lebih banyak, karir mana yang easy dan gajinya gede (lupa sama aspek ketenangan dan lain sebagainya yang gabisa dinilai dengan uang), jadilah orang pada akhirnya berlomba di bagian kapital.
Sambil merenung juga sih kita. Kayak, ada temen, usia lebih muda dari kita, abis lahiran anak ketiga, aktif di dakwah dan mungkin secara ekonomi juga masih struggle. Tapi, dia tenang-tenang aja tuh hidupnya. Orangnya optimis, semangat buat dakwah, dan lain sebagainya. Teman lain juga abis lahiran anak keempat, belum ada mobil, dulu juga bertiga kemanamana naik umum atau motor anter jemput suami, tapi yaudah tenang aja tu hidup. Suami juga jadi flashback, waktu dulu pindah kantor pertama, gaji turun, tapi dapat temen soleh-soleh, tenang ga mikir macem-macem, bahkan dapet istri juga wkwkwk.
Yah begitulah, hidup berjalan. Kita perlu memilih mana yang kita mau berjuang di dalamnya dan mana yang tidak. Semacam gini deh gampangnya, mau ribet sama stimulus anak yang macem-macem misalnya, terus gasempet nyuci, akhirnya ada yang nyerahin ke laundry. Mau ribet ngurus makan anak sampe nyuapin yang sering menguras kesabaran tapi weeeey ningkatin bonding anak sampe dewasa, atau yaudah kasih aja ke orang lain atau pengasuhnya, tapi ya easy ga usah ribet dan ga menguras kesabaran, tapi ya...melewatkan sesi bonding itu. Choose your battle, mak. Choose your battle for our family. Bahkan sesederhana mau shalat di awal waktu atau enggak, juga choose your battle kan.
Akhir kata, setiap orang juga bisa berubah ke arah yang lebih baik. Allah berhak menunjukinya. Jadi tulisan ini tidak ada judgement pada pihak manapun dan aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah ke arah lebih baik, termasuk cerita pengantar di atas. Legaan dikit euy cerita, jadi ingat masa-masa sebelum meniqa apa-apa diceritain di blog wkwkwk.
Terima kasih ya Allah sudah beri nikmat waktu dan kesempatan ini. Besok lagi, ya :")
Tidak ada komentar:
Posting Komentar