Jumat, 01 Agustus 2014

Dari "Existere"

"Sebagai hamba Allah, keputusan menikah harusnya bukan didasarkan pada keinginan semata. Bukan pada kerinduan akan adanya teman berbagi dalam segala rasa : suka maupun duka, semangat maupun penat, sumringah maupun lelah. Lebih dari itu, menikah adalah memperluas peluang pahala yang berarti juga melakukan tugas diciptanya manusia sebagai makhluk : sebagai salah satu bentuk ibadah padaNya. Menikah adalah bentuk ibadah berupa pengabdian yang begitu lama –bahkan seumur hidupnya. Masanya lebih lama daripada enam tahun masa SD yang kadang suka bikin kangen, tiga tahun masa SMP yang katanya masa di mana bermulanya teman menjadi lebih dekat dari orang tua, atau tiga tahun SMA yang katanya masa terindah, atau masa kuliah sekalipun seseorang menempuh semester sampai ke semester keempatbelas. Akad membuat yang haram menjadi halal, yang tadinya neraka menjadi surga, yang tadinya bisa menjerumuskan berubah menjadi menentramkan. Menyadari hal demikian, seseorang seharusnya bisa selalu mengembalikan segala masalah pada tempat di mana seharusnya semua bermuara : Allah dulu, Allah lagi, Allah terus."
(entah kenapa memilih kalimat itu sebagai prolog : 
sekalipun saya tahu banyak orang yang tertarik pada topik ini :P)

Saya baru saja merampungkan Existere malam ini. Membaca novel setelah entah sekian lama tidak melakoninya. Kemudian, berbagai pikiran mencuat ke ujung kepala. Tentang tulisan. Tentang pernikahan. Ampun lah kenapa topik terakhir mencuat juga ke permukaan isi kepala. Mungkin selain karena isinya, ya karena masih suasana lebaran yang memungkinkan silaturahmi pada saudara-saudara yang tiap lebaran berulang kali saya tanya ini siapanya Ummi atau siapanya Abi karena tiap dikasih tau ga nyangkut ke kepala saking berjalin tali temalinya persaudaraan di antara mereka. Salah satunya serupa anak pakde nenek yang dulu diangkat anak selepas orang tuanya meninggal.

Baiklah, kita mulai dari tulisan dulu. Existere ditulis oleh penulis senior FLP, Sinta Yudisia, yang sekarang juga menjabat sebagai ketua umum FLP (Forum Lingkar Pena). Kualitas karyanya tidak diragukan ketika mengetahui penghargaan yang telah berhasil diraihnya. Maka Existere bukan karya yang asal buat, atau diterbitkan indie agar mempercepat waktu produksi—tanpa menyampingkan karya-karya yang diterbitkan secara indie yang juga bagus-bagus isinya. Sekalipun saya membeli buku ini bukan semata tertarik pada resensi di cover belakang. Saya tertarik setelah novel ini sedikit dibahas pada upgrading FLP. Cuma sedikit, hanya 3 persen malah.

Existre berlatar tempat Dolly—meski tidak keseluruhan. Novel yang cukup kompleks atas pergolakan batin seorang putri sulung keluarga miskin yang harus menghidupi keluarganya, seorang putri dari keluarga yang tidak harmonis orang tuanya dan hidup penuh tekanan karena jabatan ibunda yang terus melangit tak terbatas, serta kehidupan seorang Qoshirotu Thorfi, yang begitu baik dirinya namun entah apa pasal, Allah belum juga memercayainya untuk mengandung buah hati dalam rahimnya, sementara sahabatnya yang menjadi kupu-kupu malam begitu mudah mengandung dan begitu mudah pula berupaya menggugurkan satu demi satu kandungannya.

Terlepas dari bagaimana jalan ceritanya—tidak akan saya ceritakan di sini, saya jatuh cinta dengan sosok Qoshirotu Thorfi. Dalam surat Ar Rahman, Qoshirotu Thorfi berarti bidadari yang membatasi pandangan ketika sumber lain menyebutkan artinya sebagai bidadari bermata jeli. Tokoh Ochi (begitu panggilannya dalam novel ini) entah mengapa begitu menggambarkan sesosok wanita yang begitu kuat dalam artian sebenarnya sebagai istri sekaligus sebagai hamba Allah. Ia yang tidak mengutamakan harta, mau berjuang, mau berkorban, berharap akan keridhaan suami #ehem, mampu dengan tulus ikhlas memutuskan hal yang sulit sekalipun, mampu menyandarkan segalanya pada Ilahi ketika masalah datang menyerang, begitu lembut hatinya. Qoshirotu Thorfi benar-benar seorang bidadari.

Begitulah seharusnya perempuan, dalam kacamata saya saat ini. Sebagai istri juga sebagai hamba. Betapa lapang hatinya, betapa ia belajar banyak untuk menguasai diri dalam amarah, dan betapa keras ia belajar ikhlas, sekalipun hal yang harus dilalui bukan hal yang mudah. Dari sini saya juga melihat bahwa pernikahan, sebagaimana janji ridha suami adalah surga dan sebagaimana surga adalah hal yang mahal untuk dimiliki, maka ujiannya pun tidak mudah *kan katanya kalau ujiannya gampang, paling ya dapetnya doorprize perabot rumah tangga aja :P. Betapa rumah tangga tidak melulu berhias kebahagiaan selepas akad. Betapa ibadah yang lama ini punya ujian yang juga panjang dan tidak ada seorang pun yang dapat menebak potensi masalah apa yang mungkin terjadi di pernikahannya. Kembali ke tokoh Ochi yang bikin saya ngefans, padahal ini baru tokoh fiksi ya, belum kisah teladan para shahabiyah yang sangat patut untuk diteladani :”

Saya memahami bahwa novel ini telah melalui serangkaian riset yang panjang…dan mungkin melelahkan. Terbaca selain dari acara upgrading yang saya katakan di atas tadi serta dari catatan penulis yang ada di halaman belakang. Waktu yang panjang serta melawan rasa bosan, namun harus tetap ditulis karena didalamnya telah termuat niat kebaikan. Bahwa Dolly menyimpan permasalahan mengakar yang sedemikian kompleks yang tidak hanya terletak pada kupu-kupunya, tapi juga anak-anak yang tinggal di kawasan itu. Baiklah, MataNajwa edisi Bu Risma tentu membuka banyak hal juga buat kalian.

Kembali ke persoalan penulisan. Saya ingin sekali menjadi penulis. Walaupun saya tahu sampai sekarang belum ada laku yang cukup nyata sehingga ingin saya bisa dibuktikan tanpa diledek sebagai impian kosong tanpa usaha atau hanya bual berbusa. Dan menulis hal sekompleks yang bisa ditulis Sinta Yudisia bukanlah persoalan mudah. Saya pernah juga menyimak tulisan Rhein Fathia tentang risetnya untuk novel Seven Days yang meraih juara I Lomba Novel Romance Qanita. Betapa menulis merupakan proses panjang yang harus dilalui dengan penuh kesabaran serta tekad berlapis baja. Kemudia saya evaluasi diri. Halo Fit, bener pengen jadi penulis? Kamu masih gini-gini aja. Yakin mampu riset buat bikin novel? Kemudian niatan ini menciut : yaudah jadi penulis cerita anak aja. Bukankah cerpen anak-anak singkat dan tidak ribet? Tidak ada permasalahan rumah tangga yang kompleks, atau permasalahan bangsa yang tercecer pada kemiskinan  berbentuk pemukiman kumuh dan anak jalanan yang rumit, atau masalah lilitan hutang, cinta sepasang—atau bahkan lebih remaja, serta pemenuhan kebutuhan rumah tangga : baik materi maupun kasih sayang. Overall, cerita anak-anak lebih menyenangkan dibaca selama memuat nilai dan pelajaran yang mudah dicerna bagi anak-anak.

Kemudian saya kembali tertampar.
Halo Fit, udah berapa kali emang nulis cerpen buat anak-anak?
Tahun ini, tujuh bulan telah berjalan sementara saya sadar bahwa belum ada satupun cerpen anak lahir dari jemari. Mana yang katanya memperjuangkan mimpi? Menguar entah kemana. Tidak ada yang bisa saya salahkan selain diri sendiri yang tak mampu mengubah tekad menjadi laku. Ah, sedihnya. Nggak bisa cerita banyak tentang hal ini soalnya kayak belum menghasilkan apa-apa. Kenapa ya obsesi banget pengen bisa nulis. Jujur, di usia saya yang hamper kepala dua, saya masih menyukai cerpen anak. Saya suka baca cerpen majalah Bobo *apa Fit kamu masih suka baca Bobo?* juga mengagumi karya-karya KKPK, PBC, Fantasteen, serta serial lainnya, juga mengagumi bagaimana Enid Blyton bisa mengarang kisah-kisah Lima Sekawan, Pasukan Mau Tahu, juga cerita pengantar tidur yang saya pinjam bukunya dari Pakde dan masih ada di rumah hingga sekarang. Cerita-ceritanya manis sekali, mengajarkan kebaikan dan keteladanan lewat cerita. Sekalipun saya berniat akan menceritakan kisah nabi serta sahabat sebagai cerita pertama bagi anak-anak saya kelak *ups ini kenapa sudah futuristik sekali. Tapi, saya masih menyukai kumpulan cerita itu. Mungkin ini efek masa kecil saya yang terlalu bahagia berada di benaman fiksi anak. Mungkin harusnya saya telah dibenamkan dalam-dalam pada Al Quran serupa Musa yang sudah hafal berjuz-juz sejak masih balita. Tapi baiklah, hidup tidak untuk disesali. Doakan saya ya, semoga bisa benar-benar jadi penulis, juga editor fiksi. Namun tetap bisa hafal Quran dan punya keturunan yang hafal Quran. Aamiin. *kalo minta didoain sekalian yang muluk-muluk, hehe. Kita tidak pernah tahu lisan mana yang menyebabkan Allah menganugerahkan nikmat yang kita inginkan tersebut terjadi pada kita, bukan?

Kemudian kedua, meski ini sedikit banyak udah diungkit di atas. Pernikahan.
Suasana lebaran di kampung kelahiran tentu berbanding lurus dengan agenda silaturahmi ke sanak saudara yang kadang saya lupa silsilah hubungan darahnya. Satu yang saya ingat sejak pernikahan Mbak Kiki 1 Juli 2012 lalu, bahwa pernikahan bukan hanya menyatunya dua insan. Lebih dari itu, pernikahan menyatukan dua keluarga besar. Ketika konsep keluargamu telah menjadi keluarga kita, maka ada kumpul keluarga besar pasangan pun kita harus sukarela datang walau tadinya tidak mengerti itu siapanya pasangan kita. Mending kalau masih sepupu dekat. Bayangkan ketika yang ditemui adalah sepupu dari karena kakak angkat sang nenek. Atau dulu ada leluhur yang cerai terus menikah lagi dengan orang yang bawa anak, yah semacam itulah. Keluarga kita berlipat menjadi dua. Semalas apapun datang ke acara yang ada di desa sekalipun, karena sudah menjadi keluarga ya tetap harus datang *ini baru ngalamin nih, kemudian saya mengamati perspektif pasangan yang memiliki ikatan dengan keluarga besar yang mengadakan perkumpulan setelah menikah dengan pasangannya saat ini. Mungkin ini masih perspektif yang rasanya sulit dibayangkan oleh saya. Kadang saya heran, Abi dan Ummi kenapa selalu punya topik ketika berkunjung silaturahmi. Sementara jika berkunjung ke sanak keluarga yang sudah terhitung jauh dalam perspektif saya, saya sering kali hanya memasang senyum, mengemili makanan, dan sekali dua mengangguk jika ditanya. Selebihnya, saya merasa tidak bisa masuk ke topik percakapan meskipun berupaya memperhartikan.

Novel ini mau tidak mau mencerminkan realita dunia yang kadang kita pikir hanya berada di panggung televisi dan cerita fiksi saja. Padahal sejatinya nyata. Ia ada, tersembunyi oleh ketaktahuan yang bisa jadi merupakan keengganan berinteraksi dengan lebih banyak orang. Buktinya Sinta Yudisia tahu banyak hal dari orang-orang yang juga dikenalnya. Bahwa kesimpulan Maida adalah kesimpulan yang masuk akal : rumah tangga yang tidak akur bisa jadi adalah karena mereka jarang –atau bahkan tidak pernah shalat berjamaah. Bahwa rumah tangga sekalipun kedua pasangan orang yang teramat baik pun tidak berarti akan luput dari cobaan. Kadang kalo baca hal begini jadi takut. Tapi kemudian saya berpikir, tiap hal ada resikonya. Demikianlah kenapa orang memutuskan untuk menikah.

Sebagai hamba Allah, keputusan menikah harusnya bukan didasarkan pada keinginan semata. Bukan pada kerinduan akan adanya teman berbagi dalam segala rasa : suka maupun duka, semangat maupun penat, sumringah maupun lelah. Lebih dari itu, menikah adalah memperluas peluang pahala yang berarti juga melakukan tugas diciptanya manusia sebagai makhluk : sebagai salah satu bentuk ibadah padaNya. Menikah adalah bentuk ibadah berupa pengabdian yang begitu lama –bahkan seumur hidupnya. Masanya lebih lama daripada enam tahun masa SD yang kadang suka bikin kangen, tiga tahun masa SMP yang katanya masa di mana bermulanya teman menjadi lebih dekat dari orang tua, atau tiga tahun SMA yang katanya masa terindah, atau masa kuliah sekalipun seseorang menempuh semester sampai ke semester keempatbelas. Akad membuat yang haram menjadi halal, yang tadinya neraka menjadi surga, yang tadinya bisa menjerumuskan berubah menjadi menentramkan. Menyadari hal demikian, seseorang seharusnya bisa selalu mengembalikan segala masalah pada tempat di mana seharusnya semua bermuara : Allah dulu, Allah lagi, Allah terus.

Melandasi Allah dalam segala perbuatan harusnya bikin tenang ya. Karena bergantung padanya seharusnya tak pernah membuat kecewa. Hanya saja kalau dalam pernikahan seringkali emosi lebih diperturutkan, apalagi menyangkut perasaan—dan mungkin (meski saya benci mengatakannya) juga nafsu. Oleh karena itu saya ngefans banget sama Ochi yang begitu detil mengurai isi hatinya, begitu pasrah pada Tuhannya, dalam mencoba menjawab ujian rumah tangganya. Saya mengagumi tindakannya dan jadi berpikir jika suatu ketika ada masalah dalam rumah tangga kelak (karena kita tidak pernah tahu apa yang terjadi di depan bukan?) mampukah kita berdiri kokoh bertameng keteguhan? Saya berharap bisa. Lebih berharap lagi tidak ada masalah sebenarnya. Tapi, dalam kadaan apapun, siapapun harus siap, bukan?

doakan saya bisa menjadi perempuan yang kuat, ya :")

ditulis dengan berbagai macam perasaan,
juga semacam rindu

Magelang, 1 Agustus 2014

2 komentar:

  1. jadi pengen baca deh bukunya, nyari di mana fit?

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku dulu beli di pameran buku di jogja yan. kalau mau pinjem kapan2 boleh :D

      Hapus