Jumat, 10 Agustus 2018

Alasan Keluarga

Suatu Sabtu, sebuah pesan masuk ke hp saya. Seorang teman yang kami punya suatu janjian keesokan harinya membatalkan kedatangannya karena ia harus datang dan menginap di rumah kakeknya. Aku tersenyum, mengiyakan.

Alasan keluarga seringkali membuatku respect pada seseorang. Saya respect sekali teman saya memilih meluangkan waktu untuk mendatangi kakeknya, berkunjung bahkan sampai menginap. Pun juga ketika tahu teman yang mengurusi kakek neneknya di rumah, atau mengurus kakek nenek yang sakit, atau mengantar jemput orang tua atau saudaranya. Meluangkan waktu untuk keluarga, bagi saya adalah precious things.

Apalagi di usia-usia saat kita sudah punya dunia bersama teman, atau komunitas, atau organisasi, yang sering kali menggeser prioritas-prioritas ada keluarga.

Saya pernah membaca di tumblr Masi, salah seorang teman yang kuliah di Bandung. Di tumblrnya waktu itu dia pernah cerita bahwa ketika hiruk pikuk teman-temannya memilih untuk mendaftar panita acara ramadhan di kampusnya atau panitia ospek sehingga mengorbankan waktu pulang-dengan alasan memaksimalkan waktu atas nama dakwah kampus, Masi memilih tidak mengambil amanah di situ dan memaksimalkan waktunya untuk keluarga. Baginya, keluarga juga tempat di mana ia bisa berdakwah. Maka ia mengambil jeda sejenak pada waktu liburan setelah rutinitas kuliah yang padat. Saya tidak bicara tentang benar salah di sini. Tapi kala itu saya menangkap dan belajar bahwa, ada hak keluarga pada jatah waktu yang dititipkan Allah pada kita. Masi menyebutkan beberapa aktivitas yang termasuk pada kebaikan di rumah seperti memaksimalkan meperdalam wawasan agama di rumah. Kegiatan lainnya bisa berupa mengajak keluarga berpartisipasi pada agenda-agenda ramadhan, berburu kajian, mengajak adik jalan-jalan atau mengikuti acara-acara ramadhan untuk anak, membantu menyiapkan sahur dan berbuka, itikaf bersama keluarga, dan lain sebagainya.

Juga ketika misal ada rekan yang izin pulang duluan untuk menjemput istri atau anaknya. Atau dari awal bilang tidak bisa datang terlalu pagi pada suatu hari tertentu karena ia harus mengantar anak dan istrinya. Atau juga alasan mengantar atau menjemput ibu, adik, kakak, dan anggota keluarga lainnya. Hal-hal seperti ini reflek membuat saya tersenyum, mengamini. Selama tidak mengganggu pekerjaan dan terkomunikasikan dengan baik, tentu saja, saya sangat respect dengan teman-teman yang mengutamakan keluarga. Saya dulu sekali pernah sempat tidak respect sama orang, tapi ketika suatu hari teman saya ini (ini saya sebut teman dan sebenarnya udah punya anak lebih dari satu) telponan sama anak-anaknya, lalu saya dengar celoteh riang anaknya yang keliatan banget anaknya ini sangat menganggap ayahnya ini hero. Heu, hilang dong ketidak respectan saya seketika. Saya jadi membayangkan posisi seseorang dalam keluarga itu sesuatu banget, ya. Teman saya ini tentu sangat disayang anak-istrinya di rumah. Sebagai ayah dan suami yang dinanti kepulangannya, bisa diajak main dan bercanda, dan menghibur anak-anaknya yang penuh celoteh itu. Pun saya jadi melihat dengan perspektif lain. Saya melihat seorang anak (teman-teman di sekeliling saya), pun juga pasti menjadi seseorang yang berharga di tengah keluarganya. Yang disayang ayah ibunya, yang dianggap sebagai seseorang yang ikut menjadi tulang punggung keluarga bagi yang turut mencari nafkah, yang membawa keceriaan di tengah keluarga, yang menjadi tempat bercerita bagi ibunya, yang menemani membeli keperluan rumah tangga, yang bisa ngemong adik-adiknya. Aih, ya Allah, betapa peran kita di tengah keluarga, siapapun kita dan apapun posisinya saat ni (anak, kakak/adik, istri/suami, ayah/ibu), sungguh precious. Berharga.

Mungkin karena itu pula, ndak pantas kalau kita sulit memberikan waktu untuk membantu, untuk ada di rumah, untuk mengantar jemput, untuk berwajah ceria, untuk mendengar cerita yang dibagi ayah ibu, untuk mendengar cerita adik-adik dan menimpalinya, untuk membantu urusan-urusan keluarga.

Nabil dulu pernah bilang (aku pernah sih cerita kata-kata ini sebelumnya di blog ini), waktu kita itu selama hidup akan lebih banyak sama keluarga kita kelak, bukan sama orang tua. Misal kita ambil umur manusia 63 tahun, terus ambillah nikah umur 25. 25 tahun kita sama orang tua, sisanya sama keluarga kita kelak. Belum lagi yang anak asrama atau anak rantau, berapa lama kita sama orang tua. Waktu itu kusedih sekaligus membenarkan kata-kata Nabil. Waktu akhir-akhir pulang dari Jogja umurku 21 tahunan, separonya kuhabiskan tidak di rumah. 6 tahun smp-sma dan 4,5 tahun kuliah. betapa sedikitnya. itu juga yang membuat aku ingin pulang dan di rumah selepas kuliah. Ini juga yang sering membuat semangat kalau lagi mode males-malesan bantu-bantu. Semacam, waktu nggak akan bisa dibalikin lagi. kesempatan untuk bisa maksimal menjalani peran sebagai anak ya saat sekarang ini. nggak jamin apakah esok lusa masih ada janji-janji itu. dari segi ita nggak tau kehidupan setelah menikah kelak bagaimana, juga ndak tau sisa usia kita maupun orang tua.

Kemudian Jumat lalu, di tengah kerisauanku terhadap suatu hal, aku tiba-tiba ingat orang tua dan asa asa sedih gitu kalau kelak sudah menikah (ya belum ada rencana-rencana sih tapi tetiba kepikiran aja) tentu waktu untuk orang tua jadi berkurang. lalu randomly inget tulisan-tulisannya bulek hana; kalau sudah menikah, istri tuh jangan sampai membuat bakti suaminya pada ibunya berkurang. dan baktinya istri sama suami itulah bentuk berbaktinya pada orang tuanya, yang telah mengajari dan mendidiknya. lalu randomly ingat juga kata-kata Suci watu telponan sebelum ia nikah, katanya "Kak, doaku tuh saat itu cuma, ya Allah berilah aku jodoh yang menyayangi aku dan keluargaku.udah itu aja." aku jadi berpikir tentang iya ya, menikahi seseorang adalah menikahi keluarganya juga. bagaimana agar orang tua juga tidak kehilangan kasih sayang anak-anaknya ketika mereka menikah tapi justru mendapatkan kasih sayang baru yang sama besarnya dari anak-anak barunya; menantunya. sempat terpikir khawatir juga, tapi buru-buru kutepis. Lalu karena waktu itu aku ingatnya di perjalanan pulang, aku nangis di perjalanan pulang ke rumah :")

"Kalau kamu mau njadiin keluarga kamu kelak tempat pulang, kamu harus bisa dulu menjadikan keluarga kamu sekarang tempat pulang."


10 Agustus 2018
lonjakan-lonjakan pikiran dari lama yang akhirnya kekumpul juga

2 komentar:

  1. Semoga menjadi cermin untuk diri sendiri

    BalasHapus
    Balasan
    1. Halo anonim,
      tulisan-tulisan di blog ini tentu aku tulis untuk menjadi catatan bagi diriku. Terima kasih sudah ikut bantu mendoakan agar bisa menjadi cermin untuk dirku sendiri. Walaupun aku kaget juga tiba2 ada komen ini. Seolah memberikan penekanan karena case tertentu dan ini cukup membuatku jadi khawatir. Tapi tidak apa, tentu saja ini harapan akan kebaikan kan? Terima kasih sudah turut mendoakan.

      Semoga ada hal baik yang bisa diambil ya anonim. Semoga jika itu baik, bisa juga diterapkan pada keluarga anonim, dan anonim juga bisa mendukung orang2 penting dalam keluarga anonim untuk bisa memaksimalkan perannya di keluarga dan juga mendukung anggota keluarga lainnya untuk bisa maksimal memberikan waktunya untuk keluarga. Karena keluarga adalah kerja sama-sama. Ah mungkin anonim yang lebih banyak tahu tentang itu malah :'

      Aku tidak tahu mana yg jadi titik tekan sampai anonim mendoakan aku. Tapi aku pikir saat kita ingin suatu kebaikan ada pada orang lain, kita juga menginginkannya terjadi pada diri kita. Semoga anonim dan keluarga bisa saling dukung untuk kebaikan2 itu kelak :)

      Maaf jadi bicara panjang. Salam kenal :)

      Hapus