Rabu, 21 November 2018

Saya dan Konten Kebaikan untuk Anak-anak

Saya begitu melankolis akhir-akhir ini. Mudah sekali menangis, sebabnya masih saya terka-terka. Bisa jadi multi alasan, bisa jadi hanya satu alasan terkuatnya. Belum ditemukan.
Dan saya pikir saya akan menahannya sampai Januari, baru bercerita banyaak.

Tapi barusan saya makan sendirian di ruang tebi yang sepi karena pada wfh dan ke wisma mandiri. Lalu saya yang (ngakunya) tidak suka makan sambil disambi, memutuskan buka youtube. Sebenernya bingung mau nonton apa. Kepikiran dengerin kajian kali ya, udah lama banget ga dengerin kajian. Tapi ada notifikasi episode launching perdana Nussa. Bukan, bukan yang animasinya, tapi yang kayak ada sepatah dua patah kata dari kreatornya.

I don't expect i will cry, di tengah-tengah menonton sambil memitili daging ikan oleh tangan. Yha, rasanya itu posisi nangis yang gak banget. Alhamdulilah sendirian di ruangan.
Saya nangis bagian mereka bahas soal konten untuk anak. Soal korelasi maling dan kisah kancil, maling dan kisah mencuri kain bidadari lalu menikahinya. Bukan, ini bukan pertama kalinya saya dengar soal korelasi itu. Saya nangis, ngga tau kenapa. Tapi rasanya campur aduk antara saya pengen banget bisa contribute soal buat konten yang baik untuk anak-anak. Dan Nussa dengan kerennya sangat percaya diri membranadingkan diri sebagai Islamic Edutainment Series. Selalu bangga liat orang yang bangga dengan keislamannya. Kayak flip yang kalo jam shalat dia ngasih tau usernya kalau mereka lagi break shalat.

Mungkin ini juga berkorelasi sama perasaan saya terhadap adik-adik.
Beberapa hari belakangan saya punya perasaan gagal sebagai kakak. Saya kadang merasa gagal saat nggak bisa membatasi adik bungsu saya menonon video review game, menonton youtube atau tv kelamaan, sulit mengajaknya ke masjid atau sikat gigi, nggak bisa memberi alternatif kegiatan untuk ia mengisi waktunya, belum bisa menstimulus otak cerdasnya. Merasa gagal menjadi kakak yang bsia menjadi teman buat adik kedua saya. Saat ia pulang dengan lelah dan saya merasa bertanya baik--baik tapi ia bentak. Dan saya merasa lelah atas itu semua. Lelah yang nonsense mungkin. Tapi ya itulah. Saya juga manusia, sebagai tambahan barangkali, yang melankolis.

Semalam, sebelum tidur, saya menonton Serial pertama Nussa bersama Fatih. Hepi sekali saya yang telat pulang dari Jakarta sampai rumah dan Fatih belum tidur (padahal harusnya udah). Dan dia belum nonton juga, padahal tadi sebeluum berangkat dia bilang mau nonton meski gakpapa nonton lagi sama saya. Seperti biasa Fatih sulit sikat gigi, tapi senangnya dia mau tidur saya temani. Kadang-kadang dia nolak aku gituloh milih sama Ummi aja. Lalu kami berkemas mengeluti kasur (istilah Jawa-menebah dengan sapu lidi). Memasang posisi yang cukup nyaman, lalu menonton Nussa.
Pas sekali Nussa episode pertamanya soal tidur sendiri. Lebih dalam lagi, itu adalah tentang adab sebelum tidur.

Usai menonton, saya reflek mengingat usaha saya kala menulis cerita yang masih sebutir jagung. Udah mah sebutir jagung, jiper banget karena ngerasa ini kok ceita biasa aja. Padahal kalau saya lihat Nussa, dia juga cerita anak-anak biasa. Bukan yang penuh drama atau pake plot twist dan konfliknya super sederhana. Even saya juga bertanya-tanya apakah wajar kakak laki-laki yang juga masih kecil mau menemani adiknya tidur (sungguh itu mulia dan manis sekali), mengajari adab tidur, small talk sebelum tidur. Yang saya tahu yang biasa demikian adalah orang tuanya. Tapi peduli apa? Buat saja kontennya, itu bisa diurus belakangan. Niat baik, konten yang baik, ada banyak sekali yang menyukainya.

Kalau saya menulis cerita, saya sering sekali merasa ini kok biasa aja sih, ga ada konfliknya, ga ada klimaksnya, gitu-gitu aja. Tapi ya dari ngobrol bersama teman saya suatu waktu, saya jadi belajar soal nulis yaudah nulis aja. Ga usah kebeban sama harus beda dari yang lain, harus unik, harus punya plot yang menarik. Ah, nggak nulis-nulis kalo gitu.

Ingatan setelah nonton Nussa juga terbang pada ingatan ketia saya mengikuti seminar nulis cerita anak oleh Litara saat FDII 2017 di perpusnas. Saya ingat saat itu ada peserta yang berasal dari Serial Sopo Jarwo mendatangi pembicara saat usai acara. Mereka menawari pembicara untuk membuat naskah script untuk serial Sopo Jarwo selanjutnya. Di detik yang sama semalam saat mengenangnya, to be honest, i am envy. Saya iri sama semua pembuat konten kebaikan itu. Yang kontennya bisa dirasakan manfaatnya sama anak-anak. Membangun karakter karena mudah sekali anak-anak mengidolakan tayangan visual saat ini. Saya mengenang masa kecil saya yang diisi oleh cerita sebelum tidur dengan 5 huruf vokal (misal saya minta tokoh Botol, maka Ummi akan membuat cerita dengan 5 tokoh: Batal, Bitil, Butul, Betel, Botol, (yang saya ingat tokoh yang lain adalah pintu), begitu seterusnya) dan dongeng di kaset warisan kakak sepupu saya yang saya dengarkan sepulang sekolah, barangkali masih mengenakan seragam saat itu.

Saat ini, badan saya merinding, merinding yang kayak pengen nangis gitu.

Ingin sekali bisa berkontribusi membuat kebaikan untuk anak-anak. Yang bisa menjadi investasi bagi karakter dan akhlak baik untuk anak-anak kelak. Yang nggak cuma sendiri, tapi punya tim, dan boleh jadi itu keluarga. Tadi saya ingat Devi Raissa sang pembuat buku anak Rabithole yang bekerja sama dengan suaminya dalam pembuatan buku. I don't say it is a must. Tapi saya pikir kolaborasi seperti itu akan menyenangkan. Tapi nggak usah muluk-muluk ke sana sih. Menjadi tim bersama diri sendiri pun mesti diusahakan, meski punya tim tentu menyenangkan (sepaket dengan segala tantangannya). Sedalam apa niatan saya untuk membuat konten-konten kebaikan dan hubungan orang tua-anak yang seperti apa yang saya inginkan. Bukan bergantung dari orang lain. Why besar yang datang dari diri saya sendiri. Saya kembali bertanya pada diri sendiri.

Mohon doanya agar bisa berkiprah di dunia konten kebaikan untuk anak-anak, ya :) Kalau mau kolaborasi boleh bangeeeet :")))
ohya, karena ini dilanjut malam hari dan kemudian saya jadi ingat saran teman untuk mencoba membuat blog yang isinya cerita anak (walaupun saya pikir itu ngga perlu pas itu), tapi ada baiknya saya coba. Silakan kalau mau berkunjung ke mari. *Sungguh tidak terpikir awalnya akan ngeshare ini.

dimulai dan diakhiri di ruang yawme, sepi juga sih
dimulai setelah makan siang-sekitar magrib

//terus aku lanjutin lagi
salah satu hal gemas yang menjadi pemicu aku nulis ini adalah kejadian kemarin, inget tadi siang tapi pas menyelesaikan tulisan ini malah ketinggalan ditulis

"Dek mau masak ager lagi nggak?" tanyaku ke Fatih.
"Mau Mbak," jawab Fatih, di tengah bujukan sikat gigi.
"Bikin di loyang yuk, buat syukuran ulang tahun Mas Fahri," kataku. Pikirku, Fatih itu lagi seneng-senengnya sama ager. Pasti dia semangat deh akan ager banyak. Seloyang kan banyak banget.
"Nggak mau Mbak." Aku kecewa. Kenapa nggak mau?
"Fatih maunya seember," katanya polos.
Hahaha, Dek, gemes aku.

Lalu lebih malam lagi, usai menemani Fatih tidur. fahri lagi nyalin catatan gitu dari buku tulis ke bindernya.
"Dek, nulis apa?" maksudku sebenarnya adalah dia lagi nyatet apa, materi apa, pelajaran apa.
"Fahri tuh kayak dulu lho Mbak, pas zaman Rasul. Pas Quran turun kan pada nulis di mana-mana. Nah sebelum punya binder Fahri juga nulis di mana-mana. Sekarang mau disatuin."
Yha, ini anak memang kadang lucu juga :")

Sudah, sekian. 
Tadi di jalan bulannya purnamaaa. Kayak udah lama banget ga liat bulan bulet meskipun tadi samar gitu, kayaknya langit cukup berawan.

5 komentar:

  1. Mungkin bisa dari mulai ikutan lomba. Jadi punya dedlen, punya tema, bisa jadi ajang mengukur kapabilitas walau cuman dari pandangan juri, bisa jadi mengurangi jatah gagal, dan syukur-syukur juara dan diterbitkan hehe

    BalasHapus
  2. MasyaaAllah.. allahumma aamiin, Semoga Allah Meridhai cita² mulia kk Fitri untuk berkontribusi karya konten² kebaikan untuk anak² :")

    *baca ini setelah nonton video Nussa juga ๐Ÿ˜

    BalasHapus
  3. Btw mbak devi raissa blm nikah klo g salah fiiit~ fitri semangat yaaa :)mau bkin buku anak anak taa?yukyukk

    BalasHapus