sekarang aku tahu kenapa begitu sulit bagiku rasanya menulis,
karena setiap tulisan rasa-rasanya akan berujung tangis :"
Sudah lama tidak menulis
Halo Kaisa, sedang apa? Apa kabar Kaisa hari ini? Apakah harinya menyenangkan? Ibu berdoa semoga menyenangkan, tapi kalau tidak pun tidak apa-apa. Hidup memang kadang sulit dan begitulah hidup. Tapi Ibu berdoa semoga Kaisa bisa melewatinya dengan baik.
Aih, baru paragraf pembuka Ibu sudah menangis. Padahal Ibu rasa Ibu akan menangis nanti di tengah-tengah.
Tadi Ibu kepikiran membuka dengan apa, tapi sekarang Ibu sudah lupa. Padahal tidak ada jeda satu jam saja. Ibu akhir-akhir ini mudah lupa Nak. alau kata Ayah ibarat mesin, loadnya udah terlalu banyak jadi mudah ngehang, sedih amat ya hehe.
Kaisa, Ibu sedang merasa hari-hari terakhir ini semua berjalan terburu-buru. Lelah sekali rasanya. Tanpa jeda, tanpa istirahat yang dimaknai sebenarnya. Ibu seperti berjalan dari satu agenda ke agenda yang lain, berlari dari tidurmu ke tidur yang lain, merangkum banyak kegiatan di satu waktu sampai lupa menaruh hati pada agendanya, sesederhana buru-buru ingin membaca suatu tulisan saat menidurkanmu. Ibu tahu itu bukan prinsip Ibu tapi jadi dilanggar sekian kurun waktu belakangan ini. Huff.
Rasanya banyak yang ingin Ibu lakukan, di tengah peran menjadi ibumu. Tapi tampaknya akhir-akhir ini jadi lupa mengenal diri. Memang yang satu ini belum pernah diajarkan sejak kecil rasa-rasanya, ya. Baru booming belakangan ini. Tapi ya biar bagaimanapun orang-orang dulu juga tanpa istilah tersebut bisa mengejar apa yang dia tuju. Tidak perlu istilah nampaknya, sudah menjelma dalam laku begitu saja. Aduh, ke mana sih arah bicara ibu ini, haha.
Kaisa, Ibu ingin jeda dulu mengetiknya. Sepertinya Ibu tidak kuat melanjutkan. Atau tidak mau karena sedang bohong pada diri sendiri dan terlalu takut meneruskannya? Entahlah. Padahal Ibu sengaja tidak mengikuti suatu acara demi menulis ini, lho. Insya Allah Ibu lanjutkan, ya.
Salam Sayang, Ibu.
Hari ini entah apa keranjingan liatin review buku anak. Dari dulu, seneeeng banget sama yang namanya buku anak. Pengen jadi penulis buku anak. Tapi malam ini kok an ya sampe pada suatu titik yang kayak mau nyerah huhu. Semacam, semua orang udah banyak yang nulis buku anak. Udah banyak buku anak bagus, kenapa aku juga pengen bikin buku anak?
Nulis sambil sedih. Tau sebenarnya lelah.
Don't know how to express my mix feeling this night. Bersyukur dan terharu meskipun masih sering kesalnya. Berkeluarga, penyesuaian yang rasanya kadang masih mau tidak mau harus dilakukan. Keinginan yang banyak dan maish gatau gimana cara merangkumnya dalam target harian. Masya Allaah.
Jadi orang tua, kayak kata Mbak Inay tadi, banyak banget belajarnya. Banyak banget prosesnya, adaptasinya.
Terima kasih untuk Allah telah menunjukiku banyak hal, telah membersamaiku dengan amanah yang sesungguhnya akan mendewasakan, dan juga pelengkap semestaku, suami dan anak-anak, serta tentu saja amanah yang masih ada: menjadi anak, hamba, cucu, dan multi peran lainnya.
Semoga senantiasa bertumbuh, dear diri.
these day are my hardest.
terima kasih Kaisa, sudah mudah tidurnya malam ini. Sudah aktif dan begitu ceria sepanjang malam tadi.
terima kasih Ayah, yang sedang berjuang cuci clodi detik ini.
dan tak lupa, last but never least.
Terima kasih diri, sudah berjuang sejauh ini. Kita pahami pelan-pelan, dan cari solusi lagi ya.
Aku sayang kalian.
Yang tak pernah habis sayangnya, terima kasih Allah, curahan peluk sayangnya, yang membuat detik ini kami masih lengkap bertiga. Tak kurang suatu apapun.
Semoga semakin hari, makin bijak jiwa kami. Makin baik perilaku kami.
Peluk hangat erat. Aku tanpaMu sungguh bahkan lebih kecil dari butiran debu.
Ahad, 13 Juni 2021
-sejatinya sejak Rabu 9 Juni 2021
Entah harus ditutup judul apa tulisan kali ini. Perempuan dan apa?
Such a miracle pagi ini bisa nulis, di tengah deadline yang juga sudah lewat dan tak kunjung usai tugas menulisku yang lain. Anak dan suami yang kondusif, semoga sampai tulisan ini selesai bahkan sampai lekas menyiapkan sarapan dan usai tugasku yang lain. Allah maha mendengar, kan?
Pagi belum berjeda begitu lama sejak kuterbangun dan subuhku menyisakan gelisah. Tentang semalamku yang hanya mampu kuisi menidurkan anak nyaris satu jam dan berlanjut aku yang terlampau lelah meniti hari. Dan merasa ga guna ga ngerjain apa-apa selain itu huhu saddd. Meninggalkan anak yang terlelap dan suami yang begadang berupaya mencari tambahan pemasukan. Semoga Allah ridhai.
Masih kuingat perbincangan di atas motor Ahad lalu. Tentang circle Hilmy yang menyebutkan lingkaran pertemanannya di mana suaminya kerja di mana, istrinya kerja di mana. Yang jelas keduanya hi companies dan Hilmy ga kebayang gimana pemasukannya ya. Belum ada tanggungan anak. Suatu waktu kalau keadaan memaksa, mungkin yang menjadi pilihan bukan istri yang resign tapi nyari pengasuh. I don't talk this choice is bad. Semua punya pertimbangan masing-masing dan setiap keluarga akan choose their battle, with all consequencies.
Kemarin Hilmy cerita lagi, masih dalam lingkungan yang kusebut di atas. Tentang pasangan yang sebelum menikah berjanji, kalau yang lelaki tidak akan merokok lagi, dan yang perempuan tidak akan minum lagi. Even pas Hilmy ketemu, yang lelaki merokok juga. Entah sembunyi-sembunyi atau bagaimana. Bagiku sangat tidak make sense sih. Main belakang berarti siap dimainbelakangi juga. Apakah gapapa kalau istrinya kelak minum lagi? Entah.
Pagi ini sebelum subuh buka laptop. Entah bagaimana lupa, ada page yang belum kututup dan membawaku pada linkedin istri pasangan yang kuceritkan di atas. Kubaca satu per satu. Jiper lah. Ahaha. Sekolah rasanya level internasional semua. Dari elementary sampai s2. Bekerja level senior di company yang levelnya mantap lah. Seketika memang jadi minder der der. Ahaha. Lalu teringat perbincangan Ahad kemarin (belum kuceritain semuanya sih di sini). Juga perbincangan kemarin sama Hilmy.
Jadi, baiklah akan aku tuliskan resume isi obrolan kami dari Ahad, senin, sampai pikiran selasa pagi ini wkwkkw.
Di dunia kapitalis ini, mudah sekali kita membandingkan diri atau jangan membandingkan dulu lah, melihat dan terpapar saja dulu, dengan kesuksesan dunia. Pendidikan tinggi, kerja di company yang bagus, gaji tinggi, lingkaran pertemanan dan jaringan yang menguntungkan, tempat tinggal dan kendaraan yang nyaman, cantik modis atau percaya diri berpenampilan apa saja.
Sukses dunia. Bisa membuat iri siapa saja yang tak bersih hatinya.
Sampai di tahu fakta bahwa minum pernah jadi hal yang dilakukannya, entah kebiasaan atau level coba-coba. Bagiku selesai sudah. Berhenti sampai situ, cukup merasa jipernya. Aku sangat paham tentang memisahkan persoalan pribadi atau tetap menghargai ilmunya. Seratus persen aku setuju. Tapi menjadikannya sebagai panutan atau orang yang dikagumi atau orang yang di "waaaaw" itu memang tidak perlu sama sekali (bukan aku sih, tapi bagus aja buat memilih diksi wkkwkw). Yang teringat sama seperti perbincangan di keluarga dulu waktu memilih pasangan, kalau merokok, blacklist, wkwkwk. Duh tapi kalau kalian cuma baca tulisan ini sangat berpotensi salah sangka nih, bingung juga baiknya gimana menuliskannya.
Semua keluarga memilih their own battle. And every woman does. Setiap perempuan akan memilih karir atau tidak, berteman dengan siapa, dan segala keputusan lainnya terutama di situasi sulit. Aku bilang sulit karena memang begitulah perasaannya. Bagaimanapun terlihat mudah, tentulah terlatarbelakangi oleh banyak pertimbangan keputusan, emosi, jiwa, dan raga. Dalam case di atas, ketika asumsiku bermain, kita tidak pernah tahu apa yang melatar belakangi minum, misalnya. Bisa pola hidup keluarga, pertemanan, atau habit di luar negeri yang 'memaksanya' demikian. Aku pernah program summer di Jepang dan merasakan sendiri habit temen-temenku yang aku bisa bilang intelek wkwkwk untuk ketemu minum sebagai penghiburan mereka setelah stres belajar. Walaupun aku jadi ingat kata Buya Hamka kalau ga salah ya, bahwa kita akan ketemu yang kita cari. Toh, aku ingat juga Teh Karin jadi hijrah justru di luar negeri. Pun ada temenku yang lain yang kurasa jadi lebih jauh mempelajari Islam bahkan mengubah cara berpakaiannya menjadi lebih tertutup setelah belajar di luar negeri.
Aku hanya ingin menhighlight kata seorang ustadz, jangan kita iri sama orang yang bukan pengemban dakwah atas kemudahan hidupnya. Kalau by case yang sempat kita obrolin di motor, barangkali teman-teman itu ya incomenya banyak, didapat secara mudah, kek ga ada kesulitan hidup lah pokoknya. Tapi kalau kita melihat ya setiap orang pasti punya ujiannya kan, beda-beda aja ujiannya. Terus ((huaa terus Kaisa bangun)).
Okay mari kita lanjut.
Sisi lain, kita sama-sama paham kalau sistem sekarang ini kapitalis. Jadi ya udah sistemik. Media sosial dibangun oleh sistem kapitalis. Kita yang mengonsumsi makin mudah terpapar sama hal-hal duniawi (ya ukhrowi juga bisa jadi siih, tapi liat ajalah mayoritasnya apa buat kita dan mayoritas orang kek gimana nyerep informasinya). Jadi karena kita terpapar oleh hal-hal seperti itu, bisa muncul iri, ketidakpuasan dan ketidak-qanaah-an, pengen kaya a b c d yang bisa dan punya ini itu, merasa ingin macem-macem lah. Jadilah bisa jadi orang mikirnya ya kapitalis. Mana yang berpotensi cuan lebih banyak, karir mana yang easy dan gajinya gede (lupa sama aspek ketenangan dan lain sebagainya yang gabisa dinilai dengan uang), jadilah orang pada akhirnya berlomba di bagian kapital.
Sambil merenung juga sih kita. Kayak, ada temen, usia lebih muda dari kita, abis lahiran anak ketiga, aktif di dakwah dan mungkin secara ekonomi juga masih struggle. Tapi, dia tenang-tenang aja tuh hidupnya. Orangnya optimis, semangat buat dakwah, dan lain sebagainya. Teman lain juga abis lahiran anak keempat, belum ada mobil, dulu juga bertiga kemanamana naik umum atau motor anter jemput suami, tapi yaudah tenang aja tu hidup. Suami juga jadi flashback, waktu dulu pindah kantor pertama, gaji turun, tapi dapat temen soleh-soleh, tenang ga mikir macem-macem, bahkan dapet istri juga wkwkwk.
Yah begitulah, hidup berjalan. Kita perlu memilih mana yang kita mau berjuang di dalamnya dan mana yang tidak. Semacam gini deh gampangnya, mau ribet sama stimulus anak yang macem-macem misalnya, terus gasempet nyuci, akhirnya ada yang nyerahin ke laundry. Mau ribet ngurus makan anak sampe nyuapin yang sering menguras kesabaran tapi weeeey ningkatin bonding anak sampe dewasa, atau yaudah kasih aja ke orang lain atau pengasuhnya, tapi ya easy ga usah ribet dan ga menguras kesabaran, tapi ya...melewatkan sesi bonding itu. Choose your battle, mak. Choose your battle for our family. Bahkan sesederhana mau shalat di awal waktu atau enggak, juga choose your battle kan.
Akhir kata, setiap orang juga bisa berubah ke arah yang lebih baik. Allah berhak menunjukinya. Jadi tulisan ini tidak ada judgement pada pihak manapun dan aku percaya bahwa setiap orang bisa berubah ke arah lebih baik, termasuk cerita pengantar di atas. Legaan dikit euy cerita, jadi ingat masa-masa sebelum meniqa apa-apa diceritain di blog wkwkwk.
Terima kasih ya Allah sudah beri nikmat waktu dan kesempatan ini. Besok lagi, ya :")
Getting 26 today with many dreams not come true yet. And doing nothing about writing wishlist or hope or something to pursue a year later.
Sebenarnya bahkan udah gak mau nulis apa-apa, atau nulis besok besok aja untuk mengurai pikiran. Eh tapi kok sayang ya gak nulis.
InsyaAllah besok besok ketemu lagi, ya.
Salam, dari aku yang masih pengen jadi penulis buku anak. Dan mulai mikir serius ke arah sana. Ahaha, semoga ya fit.
Tengah malam, dengan segala letih dan khawatir, tak ada sinyal wifi entah kenapa pun bablas aja tethering.
cuma mau bilang, apresiasi buat diri sendiri.
terima kasih ya fitri, sudah berjuang.
6 bulan perjalanan jadi ibu. tentu nggak mudah.
terima kasih, terima kasih sekali.
sudah beradaptasi banyak hal sampai di titik ini.
melow bgt rasanya. nangis ga karuan, seperti merayakan sendirian. ah, entah merayakan entah setengah merasa terpuruk sebagian, rasanya jadi tak ada bedanya.
belajar terus mengenali kebutuhan diri, tiada henti. kadang rasanya capek sekali.
baru kali ini ngomong makasih ke diri sendiri sebombai ini rasanya.
Pagi ini nangis baca buku ini. Tentang Ali putra Husein cucunya Rasulullah salallahu alaihi wasallam. Sebelumnya aku belum pernah tau tentang sosok ini sepanjang hidupku; ya Allah sedih amat yak.
Singkat cerita part yang bikin nangis adalah, saat dewasa, Ali ini dagangnya lancar dan mendapatkan keuntungan yang banyak dari tahun ke tahun. Allah izinkan kekayaannya melimpah.
Namun, Ali dianggap sebagai orang yang pelit karena tidak pernah '𝙩𝙚𝙧𝙡𝙞𝙝𝙖𝙩' memberi sedekah pada orang lain. Orang-orang mencemooh. Katanya, "Untuk apa kaya, tapi pelit?"
Di sisi lain, beberapa kali saat malam tampak sosok misterius yang suka memberi sedekah pada para fakir miskin. Ia panggul sendiri karung gandumnya di tengah malam gelap; karung yang ia letakkan langsung, tepat depan pintu rumah para fakir miskin.
Kejadian ini berlangsung bertahun-tahun. Berkat jasa orang misterius ini, tak ada yang kelaparan saat itu. Tak ada yang tahu siapa ia.
Sampai suatu hari Ali bin Husein meninggal dunia. Keluarga & para sahabat yang memandikan jenazahnya menemukan bekas luka menghitam di pundak Ali. Bekas luka yang tampak seperti luka seseorang yang sering memanggul beban berat di pundaknya.
Penduduk Makkah menerka-nerka. 𝘈𝘱𝘢𝘬𝘢𝘩 𝘰𝘳𝘢𝘯𝘨 𝘮𝘪𝘴𝘵𝘦𝘳𝘪𝘶𝘴 𝘴𝘦𝘭𝘢𝘮𝘢 𝘪𝘯𝘪 𝘢𝘥𝘢𝘭𝘢𝘩 𝘈𝘭𝘪 𝘣𝘪𝘯 𝘏𝘶𝘴𝘦𝘪𝘯?
Benar saja. Keesokan harinya, tak ada lagi karung gandum di depan rumah para fakir miskin. Sampai hari-hari berikutnya pun tak pernah ada lagi sosok pemanggul gandum misterius itu. Akhirnya semua orang menyimpulkan bahwa sosok misterius itu adalah Ali bin Husein.
I couldn't hold on my tears. Benarlah ini dibilang salah satu buku selebritas langit. Biar apa kata dunia, dikenal Allah aja itu: sudah cukup. Kalau dikenal dunia bisa membuat kita disayang Allah ya tentu boleh banget. Kisah Ali menjadi kisah sederhana yang mengingatkan bahwa ga perlu peduli sama kata orang selama kita terus beramal baik. Dicemooh pun, ia merasa ga perlu mencari pembenaran & pembuktian kalau 'akutu ga seperti yang kalian bilang loh'.
Dan hebatnya, ia jaga erat-erat sampai akhir hayat :")