- Judul : Catatan Pembunuhan Sang Novelis
- Penulis: Keigo Higashino
- Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
- Tahun terbit: 2020 (versi asli 2001)
- Genre: Novel detektif
- Jumlah halaman: 304
- Ulasan/refleksi isi buku
Hidaka Kunihiko, seorang novelis terkenal, meninggal dibunuh sehari sebelum kepindahannya ke Kanada. Sebelum ditemukan meninggal ia ditemui Fujio yang datang untuk protes atas novel Hidaka yang mengangkat kisah kakaknya. Nonoguchi Osamu, temannya sejak kecil menemukan jasadnya bersama Hidaka Rie, istri Hidaka. Tak hanya itu, ia juga menulis catatan tragedi kematian sahabatnya ini-layaknya pekerjaannya sebagai penulis yang suka mengabadikan kejadian-kejadian. Sementara, Detektif Kaga Kyoichiro yang menangani kasus ini rupanya pernah sama-sama bekerja sebagai guru di SMP yang sama dengan Nonoguchi.
Tak membutuhkan waktu lama, pelaku pembunuhan ditangkap. Namun, ia sama sekali tak mau mengungkap motif kejahatannya dan memilih membebaskan saja motifnya pada kepolisian. Detektif Kaga pun menyelidiki kasus pembunuhan ini sampai menyingkap masa lalu Nonoguchi dan Hidaka sejak mereka duduk di sekolah dasar. Kaga pun menyingkap banyak hal soal pertemanan, perundungan, sastra, juga teknik yang sesungguhnya disiapkan pelaku hingga hari kejadian.
Novel ini diceritakan dengan banyak sudut pandang. Utamanya, ada bagian catatan Nonoguchi dan juga catatan Detektif Kaga. Di samping itu juga ada bagian yang dominan diisi sudut pandang dari orang-orang di sekitar kehidupan Nonoguchi dan Hidaka sejak masa lalu. Dari sinilah pembaca seolah-olah diarahkan kepada satu kebenaran. Namun, siapa sangka, di halaman yang lain kebenaran yang sudah ia yakini itu akan goyah akan catatan yang lainnya. Pembaca yang tadinya sudah meyakini suatu fakta dibawa pada kenyataan bahwa itu rupanya hanya rekayasa. Terus begitu berulang-ulang hingga akhirnya Detektif Kaga mampu menemukan motif sesungguhnya kejahatan tersebut. Teknis menulis Keigo seperti ini sangat patut diacungi jempol.
Satu hal yang cukup menarik perhatianku adalah soal penulis (karena kedua tokoh ini pekerjaannya adalah penulis) di masa tahun 2000an awal sebagaimana novel versi aslinya terbit di Jepang. Mereka masih menulis secara manual, komputer masih dianggap kemewahan, menyimpan file di disket, mengirimkannya lewat faksimili, dan merekam hasil riset pada CD ROM. Hal kedua yang menarik bagiku adalah soal perundungan. Kadang aku berpikir soal majunya Jepang, tetapi seorang teman yang mukim di sana sejak 2013 pernah menceritakan ketidaksiapan orang Jepang melihat perbedaan (tanpa bermaksud menggeneralisir) yang bisa menyebabkan adanya perundungan. Dan kisah perundungan yang disampaikan di novel ini dari pengalaman Detektif Kaga sebagai guru sangat membuat sedih. Sungguh masalah perundungan adalah masalah yang melampaui zaman dan waktu, tampaknya. Di tahun 2000an awal saja sudah digambarkan sebegitunya. Kebayang kekhawatiran di masa ini. Waktu baca langsung mikir, tiap anak harus kuat dari rumah, tiap skeolah dan guru harus punya sistem yang kokoh dalam menghadapinya agar tak lahir pelaku perundungan baru dari korban perundungan.
#RabuReview
Tidak ada komentar:
Posting Komentar