"Gimana
film Mas Gagah?" tanya saya pada teman yang sudah menonton film ini.
"Ngga rekomended Fit," jawab teman saya. Saya tahu, ekspresinya menunjukkan bercanda.
"Kenapa?" tanya saya menyelidik.
"Dua alasan Fit, Pertama, soalnya ganteng (mungkin takut ngga bisa ghadul bashar). Kedua, soalnya gantung (soalnya ternayat masih ada lanjutannya)," jawabnya sambil nyengir.
"Yeee dasar," jawab saya.
***
Perkara apa opini orang soal
film Ketika Mas Gagah Pergi, saya berpikir cepat atau lambat saya akan nonton. Selain karena penasaran dengan film yang akhirnya selesai setelah perjuangan panjang melahirkan film yang dilandasi idealisme tinggi, ajakan nobar dari teman-teman tentu tidak bisa dibendung.
Film Ketika Mas gagah Pergi (KMGP) merupakan film bernafaskan dakwah yang lahir dari novelet karya
Helvy Tiana Rosa (pendiri
Forum Lingkar Pena) yang legendaris pada tahun 2000 (cetak ulang hingga 15 kali), setelah pertama kali muncul di Majalah Annida pada 1993, dan telah diterbitkan oleh Pustaka Annida pada 1997. Berbekal idealisme nilai yang dibawa pada film, film berasal dari novelet ini bahkan sampai dikemas dalam dua seri film, di mana film-film lain dari novel yang tebal dikurangi isinya agar cukup dalam satu film saja.
Film ini diawali dengan kisah ketika
Mas Gagah (Hamas Syahid Izzuddin) ada di Ternate untuk mengambil data skripsi sebagai intro. Kemudian ditampilkan flashback keseharian Mas Gagah bersama
Gita (Aquino Umar) adiknya. Mas Gagah yang merupakan kakak kebanggan Gita adalah orang yang tampan, keren, modis, dan menjadi idola banyak gadis termasuk teman-teman Gita. Keduanya merupakan pasangan kakak adik yang akrab sekaligus sebagai
partner in crime satu sama lain. Kepergian Mas Gagah ke Ternate untuk mengambil data skripsi sempat membuat Gita ngambek walau pada akhirnya ia bisa menerima.
Sepulang dari Ternate, Mas Gagah berubah. Penampilannya, tutur katanya, perilakunya, genre lagu yang didengarnya, kebiasaan-kebiasaannya, semua berubah drastis. Gita kesal. Baginya, Mas Gagah sekarang nggak asik, nggak seru, dan terasa aneh
banget bagi Gita. Bahkan Gita memilih untuk tidak lagi diantar oleh Mas Gagah ke sekolah karena ia malu dengan perubahan Masnya itu.
Tidak hanya berubah bagi dirinya sendiri, lingkungan Mas Gagah pun berubah. Ia jadi sering mengkaji agama dan menjadi lebih peduli pada kondisi sekitar. Ia membantu pembangunan Rumah Cinta di daerah kumuh sebagai tempat belajar dan membaca anak-anak di sana. Ia pun mengajak Mamanya (Wulan Guritno) dan Gita untuk berubah ke arah lebih baik. Mamanya perlahan-lahan luluh dengan perubahan Mas Gagah ke arah kebaikan, meskipun baru taraf menerima dan masih berdoa untuk juga mendapatkan hidayah. Namun, Gita semakin hari semakin menunjukkan ketidaksukaan pada perubahan Masnya itu.
Ternyata, tidak hanya di rumah, di bus menuju sekolah Gita malah melihat orang yang mengingatkannya pada Mas Gagah, membuat kekesalannya terhadap orang-orang yang suka bicara kebaikan semakin memuncak. Orang itu seringkali naik turun bis-bis kota dan memberikan ceramah di dalamnya tanpa meminta uang. Dan entah bagaimana Gita seringkali bertemu dengan sosok itu. Kekesalan yang memuncak membuatnya memarahi laki-laki itu di depan umum. Tapi sama saja, laki-laki itu masih kerap ia temui di kendaraan umum. Belakangan, sosok yang diketahui bernama Yudi (Masaji Wijayanto) itu mulai menarik perhatiannya sejak Gita ditolong olehnya ketika ponselnya dicopet.
Kekesalan yang ia curhatkan pada Tika sahabatnya membuat Tika menlakukan klarifikasi pada Mas Gagah. Namun tak dapat disangka, Tika justru lambat laun malah belajar mengenal Islam hingga memutuskan untuk berkerudung. Gita semakin kesal, kenapa semua orang berubah dan seolah-olah tidak ada yang bsia mengerti dirinya?
***
Berbekal prinsip-prinsip yang diusung oleh penulisnya,
film ini sukses menjadi film yang bebas pesanan perusahaan dalam adegan karena memang didanai secara patungan oleh banyak pihak, baik instansi maupun sahabat Mas Gagah. Dan karena noveletnya sempat booming di era tahun 2000-an, banyak orang yang sudah menunggu-nunggu film ini eksis di bioskop. Dan benar saja, dalam film ini adegan-adegannya tidak ada sentuhan kulit antara lai-laki dan perempuan. Usaha seleksi pemeran-pemeran utama dalam film ini saja menunjukkan bahwa Helvy Tiana Rosa selaku penulisnya memang menginginkan pemeran-pemeran utamanya adalah orang-orang yang memang mendekati
dengan karakteristik tokoh-tokoh dalam noveletnya itu. Banyaknya artis ternama yang tidak menjadi pemeran utama justru menunjukkan bahwa film ini didukung oleh banyak artis.
Film dengan visi dakwah ini meskipun tidak dibawahi oleh production house ternama layaknya film-film pada umumnya, mampu memuat kekuatan akting para pemain-pemain baru, pengambilan gambar, serta sound yang baik. Namun saya rasa masih ada akting yang kurang natural seperti ketika Mas Gagah telah pulang dari Ternate, di kamar ia memakai baju koko, dan kadang kata-katanya terasa kurang natural. Prolog yang oleh Gita yang terlalu panjang rasanya menjadi mendominasi bagian awal. Secara make up, jenggot Mas gagah juga terlihat tidak alami. Menurut saya pribadi
sih, perubahan menjadi lebih kenal agama tidak mesti ditonjolkan oleh jenggot, namun jika jenggot ini diperlukan pada adegan ketika teman-teman Mas gagah menyindir penampilannya sekarang termasuk juga jenggotnya, maka okelah kalau adanya jenggot ini diperlukan.
Spirit dakwah juga ditunjukkan oleh Mas Yudi yang berceramah dari bis ke bis. Idealisme yang ia tanamkan pada dirinya membuatnya belum menginginkan posisi yang ditawarkan Abahnya untuk mengelola perusahaan dan masih cenderung ingin melakukan aktivitas dakwahnya seperti biasa. Aktivitas Yudi ini meskipun menimbulkan pertanyaaan bagi para penonton apakah kebiasaan ini masih kerap ada di kendaraan umum terutama di ibukota, di sisi lain menunjukkan bahwa bahkan keberadaan kita di manapun sebisa mungkin tetap memberi manfaat, walaupun cara kita dan Mas Yudi boleh jadi berbeda. Saya sempat berpikir apakah kebiasaan berceramah di bus ini merupakan kebiasaan yang ada di era ketika Helvy Tiana Rosa menulis novelet ini. Jika iya, sebaiknya penggunaan gadget yang cukup ditonjolkan di film ini tidak perlu ditampilkan untuk menunjukkan kehidupan di era sekitar akhir tahun 1990-an atau awal tahun 2000-an.
Film yang dibuat dengan perjuangan yang cukup panjang dari mengumpulkan dana hingga masuk bioskop ini sudah sepatutnya mendapat dukungan dari masyarakat luas. Apalagi ini bukan film yang memuat konten yang tidak pantas ditampilkan. Ini berarti strategi marketing tidak boleh ditinggalkan untuk menarik massa turut menonton film ini. Saya dengar di awal film ini launching penontonnya cukup banyak. Namun sayang, ketika saya menonton kondisi bioskop cukup sepi. Saya berhusnuzon mungkin karena saya menonton pada jam kerja. Tapi di atas itu semua semoga orang-orang yang telah menonton juga dapat melakukan marketing agar kebermanfaatan film ini semakin bisa dirasakan banyak orang.
Satu hal yang membuat penasaran adalah lanjutan film ini. Meskipun sempat berpikir pasti seru kalau filmnya langsung ditayangkan sampai akhir, tapi tentu saja durasi film harus dibatasi dan ini juga dilakukan agar naskah dapat diakomodir mendekati naskah asli. Perbedaan yang saya lihat antara film dan buku sejauh ini hanya waktu kemunculan Mas Yudi dan adegan Mas Gagah yang terpeleset sehingga jatuh ke laut ketika ia berada di Ternate, selain itu filmnya sama dengan cerita pada bukunya.
Akhir kata, ada kalimat bagus yang dilontarkan Mas Gagah dalam
film ini :
"Jika kita tidak setuju dengan suatu kebaikan yang belum kita pahami, cobalah untuk bisa menghargainya..."
Karena kita kadang masih merasa belum siap melakukan kebaikan, maka berarti cobalah untuk tidak protes mengapa Allah meminta manusia mengamalkannya. Hargai dulu, jangan malah cari celah untuk menentangnya :)
Semoga bisa terinspirasi dari film Ketika Mas Gagah Pergi :) !
--------------------------------
Cari tau lebih lanjut di situs Film Ketika Mas Gagah Pergi dan situs Forum Lingkar Pena :)
*foto selfie dengan tiket merupakan syarat lomba review Film Ketika Mas Gagah Pergi (bisa dicek di sini)