Abidah pamit. Aku kehilangan kata.
Setelah beberapa hal yang terjadi hari ini, berpacu dengan waktu.
Aku cuma diam, mendengarkan. Sesekali mengangguk. Berkaca-kaca di pelupuk mata. Diam seribu bahasa. Bahkan aku gak nyangka aku akan seberkaca-kaca itu, gak nyangka akan betulan gak bisa bilang apa-apa, kehabisan kata. Terkatup, tertutup, berhenti. Sama sekali. Bahkan dia nawarin foto aku gak hisa merespon apa-apa....
"Masih ada teknologi, Fitri." katanya. Dia bilang jangan sedih, nanti dia ikut sedih. Dia bilang jangan sedih, soalnya dia gak sedih.
Mungkin Abidah nggak tahu kalau sedih nggak ikut-ikutan. Sedih datang gak saling. Sedih kadang sendirian. Dan sedih bukan karena satu dua hal, tapi tumpukan. Sedih bisa hadir karena akumulasi. Residu yang sekarang aku nggak tau gimana menghilangkannya satu-satu. Setelah hal-hal mendadak menjelang zuhur yang membuat aku berpikir soal kecewa, soal gesekan, soal potensi selek dan menyakiti yang justru semakin besar kemungkinannya ketika semakin dekat dengan seseorang setelah urusan lingkup profesional kerjaan. Setelah sadar untuk belajar lagi soal melatih sudut pandang dan pikiran responsible. Setelah respon dan tanggapan lain yang bikin khawatir, ekspresi dan gestur kecil yang menunjukkan ketidaknyamanan.
Dilepas Fitri, dilepas...
gitu suara-suara yang aku dengar.
Entah bagaimana.
Abidah benar-benar pamit. Suratku belum selesai-bahkan belum kutulis-sedikit pun.
Aku membaca surat kecilnya. Lalu betulan menangis.
Maafin Fitri ya Allah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar