Nak, tersebab waktu tidak pernah mengizinkan kita mampu merekam semua kejadian dalam perangkat yang kita miliki-entah sampai kapan-sekalipun kita inginkan, kita tidak akan bisa meraba-raba curahan kasih ibu dalam detak kehidupan kita.
Tidak pernah kita tau apa yang ia bisikkan semasa ia timang kita dalam buaian. Tidak tahu berapa banyak ungkapan kasih sayang yang tiada malu-malu dilafalkan. Tidak terhitung rapalan doa yang ia ucapkan ketika menatap wajah kita sebagai anaknya, selain doa-doa di waktu sujud panjang dan selepas shalatnya.
Untuk refleksi ibu, misalnya. Tidak pernah ibu tahu berapa banyak sungging senyum ibuknya ibu saat ibu kecil dahulu, yang selepas besar mudah sekali ibu balas dengan cemberut atau gurat kecewa saat yang ibu inginkan tidak ibu peroleh. Atau tidak pernah ibu tahu dosis ungkapan sayang yang terlafalkan, yang saat besar kadang terlalu segan ibu remaja mengucapkannya padanya. Sekarang sudah lebih baik untuk belajar pelan-pelan mengungkapkan sayang dengan kata-kata. Mungkin awalnya malu, tapi, tidak pernah ada kata terlambat untuk mengungkapkan sayang, bukan?
Mungkin sebagian orang yang tidak terbiasa bilang sayang akan bilang bahwa sayang tidak harus diungkapkan dengan kata-kata. Memang benar, tapi kalau bisa diusahakan, mengapa tidak? Bukankah ucapan itu menghadirkan perasaan tenang dan sayang yang makin memupuk? Bukankan dalam hadits saja disebutkan untuk mengatakan kata sayang pada yang kita sayang?
Tidak pernah ibu bisa ukur sebanyak apa harapan ibuknya ibu pada ibu sejak dahulu. Atau impian akan anaknya menjadi anak berbakti dan taat pada Allah. Menjadi perwujudan kata shalihah. Tidak pernah ibu ketahui dari manapun apa saja yang ibuknya ibu ucapkan selama ibu kecil dan belum bisa merekam apapun, kecuali direkam oleh cairan tubuh, oleh organ tubuh, atau oleh alam bawah sadar, yang menjadikan ibu saat ini. Ibu percaya pada kekuatan kata-kata, sugesti, dan doa orang tua yang bahkan tak pernah ibu tahu dan ibu sadari sewaktu kecil. Bahkan sejak ibu masih nyaman dalam rahim ibuknya ibu.
Dan sejak jadi ibu, ibu bahkan rasanya tak mampu merangkum ini semua.
Waktu tidak pernah bisa mengizinkan ibu merekam setiap detik hari-hari ibu denganmu. Setiap kata harap yang terucap, rapal doa yang melangit, atau ungkapan sayang tiada henti yang terlafalkan saat menatap jernih bola matamu, atau kuucapkan saat kau tertidur, atau kusampaikan saat engkau minum dan ibu menahan lelah atau pegal sementara ibu tahu sekali itu waktu yang baik untuk kita berdua menghabiskan waktu bersama. Quality time kalau kata orang-orang sekarang.
Waktu tidak pernah bisa mengizinkan ibu merekam gerak gerik polosmu yang sering menerbitkan sungging senyum pada wajah ibu dan ayah. Tidak pernah bisa mengizinkan merekam tiap kata positif yang kami sampaikan padamu. Tidak pernah bisa mengizinkan merekam setiap detik momen yang kami lalui bersamamu. Dan kelak akan ada hal-hal yang kamu tahu dan tidak, tentu saja.
Dan terang, jelas, seperti itu pulalah ibuknya ibu dulu pada ibu.
Atau ibuknya ibuknya ibu pada ibuknya ibu.
Dan sebagaimana ibuknya ibu padamu, juga tentu begitu pula ibuknya ibuknya ibu pada ibu.
Juga ibuknya ayah pada ayah. Dan Ibuknya ibuknya ayah pada ayah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar