Kamis, 02 Mei 2013

Perasaan dan Emosi, Tahu dan Tidak

"... rasanya saya bisa selalu bersikap positif. Apapun yang terjadi rasanya saya senang, saya bahagia. Misalnya besok ujian blok dan saya hari sebelumnya saya nggak bisa belajar ya saya jalani aja, kalau memang nilainya buruk ya toh saya belajar bukan untuk mendapatkan nilai. Terus juga saya suka ketawa sendiri kalau lihat status anak-anak SMA yang galau, labil kalau ada masalah sama pacarnya. Kalau dipikir-pikir, saya sama pacar saya itu dulu bisa dibilang first love at the first sight sejak saya SMP. Jadi kalau putus gini ya mungkin seharusnya saya sedih. Orang udah pacaran sejak dulu, udah lama, LDR, bahkan sekarang saya kuliah dan dia udah kerja, tinggal nunggu bentar, saya lulus dan kemudian merit. Tapi ya ternyata kita bertengkar semalam dan akhirnya kita berhenti, udahan. Saya ya udahlah. Nggak tau kenapa saya nggak begitu berlarut-larut membahasnya. Kalau memang jodoh juga nanti ketemu lagi. Entah bagaimana saya merasa selalu prima. Ya itu tadi, saya merasa bagaimanapun saya selalu prima. Mungkin karena pengaruh nama saya juga?"
 --Kak Prima, mengakhiri kalimatnya sambil tersenyum
(ini cewek kok kakaknya, *soalnya saya punya temen namanya Prima dan itu cowok)
dan yang saya garis bawahi disini adalah betapa pandainya ia mengelola emosinya

Ada jangka waktu tertentu di mana saya memperhatikan sikap orang-orang di sekitar saya. Mengamati bahwa sekelompok membicarakan satu yang lainnya yang sesungguhnya hanya terpaut pada ujung-ujung meja. Saya sebenarnya prihatin, prihatin pada yang dibicarakan, pada yang membicarakan, bahkan pada diri saya sendiri.

Saya prihatin pada yang dibicarakan. Mengapa? Baiklah begini kita semua sama-sama tidak mau menjadi seseorang yang dibicarakan, bukan. Begitu pula saya ketika mendengarnya. rasanya nggak enak banget, beneran. Apalagi kalo yang dibicarain yang nggak enak. Aduh, saya sebagai seorang pihak yang hanya tahu sedikit tentang kedua belah pihak hanya bisa berpikir dalam hati kecil saya. Ini mana sih yang benar? Yang membicarakan, atau yang dibicarakan? Mana bisa saya membela kalau tak tahu semuamuanya. That's really confused. Di sisi lain kalo bisa pengen nggak usah denger satu patah katapun. Tapi mau gimana lagi alau bahkan keadaan tak memungkinkan untuk meninggalkan majelis, bukan?

Saya juga prihatin pada yang membicarakan. Aduuh, kayak nggak ada kerjaan lain yang lebih produktif aja saat itu. Jujur saja, kalau bisa bahkan saya pengen nyicil ngerjain kalkulus daripada entah bagaimana nggak sengaja mendegarkan celoteh mereka. Ah, sayang banget waktunya kebuang sia-sia.

Saya juga prihatin pada diri sendiri. Kebayang nggak betapa mau nggak mau saya sejujurnya jadi penasaran sama apa yang sebenarnya dibicarakan. Kalo denger yang sekiranya menurut saya, kayaknya sebenarnya nggak gitu. Tapi takutnya saya sesungguhnya nggak mengerti sama sekali tentang itu, atau ternyata tahu saya adalah hasil sok tahu, atau malah salah-salah adalah pengetahuan yang salah :/

Saya belajar dari kedua kejadian disjoint diatas *efek belajar Matdis nih ngomong disjoint*, bahwa betapa kalo kita bisa mengatasi segala perasaan dan emosi, ketika tahu bahwa kita dibicarakan oleh sekelompok orang pun that's really nothing. Nggak akan berefek apa-apa buat kita kalau kita percaya bahwa yang mereka bicarakan adalah sebuah kesia-siaan (maksudnya disini bukan berarti dalam artian kita nggak mau dengerin pendapat orang lain buat bebenah diri, yu know what the context lah, hehe). Juga antara tahu dan tidak. Saya tahu, makanya saya ngerasa gimanaaaa gitu, ini bahkan saya sampe ngeblog kan buktinya *eh. Bahkan teman yang dibicarakan terlihat ngobrol seru sambil ketawa bareng teman-teman yang lainnya (karena pastinya dia nggak tahu).

Bebenah diri yuk :) !

#catatan semalam :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar