Malam ini malam Sabtu, malam favoritku sejak di bangku SMP dulu.
Malam ini malam Sabtu, tapi sungguh aku seperti lupa rasanya bagaimana malam Sabtu menjadi malam favoritku.
Halo Aya, apa kabar percakapan? Aku senang melihat senyum bahagiamu di kepingan foto-foto itu. Berjuta cercah harapan dan pengetahuan baru dalam setahun terakhir, bukan? Sekian banyak daftar mimpimu yang aku yakini kau mampu untuk meraihnya. Ah Aya, aku rindu melewati malam bersama cerita-cerita kita.
Aya, malam Sabtu selalu menjadi waktu yang menyenangkan bagi kita, ingat? Juga 24 jam ke depannya. Ah, terus terang aku bingung mau menulis apa. Biarkan saja jemariku menekan bebas tuts-tuts keyboard ini, ya Ya. Selagi aku masih bisa mengetik normal, tidak seperti cerita-cerita untuk hari yang kurun waktunya kurang dari 24 jam lagi.
Kembali ke sapaan awal Ya. Kau tahu, belakangan aku selalu iri padamu. Entah, tapi banyak hal yang rasa-rasanya ingin kudapatkan. Apakah aku bodoh telah merasa iri? Sesungguhnya ya. Ah Ya, sesungguhnya aku sadar apa yang ku-iri-kan pernah kumiliki beberapa tahun silam. Kau juga. Bedanya kau kini memilikinya kembali-nyaris sempurna kurasa-. Dan aku belum. Doakan ya Ya. Sungguh sangat tidak nyaman sekali berada dalam kondisi seperti ini. Tidak ada yang mengerti benar-benar apa yang sesunguhnya ingin kembali kumiliki itu. Tapi menceritakannya pada orang lain? Sungguh itu bukan pilihan. Ada banyak keluh nanti jika dilakukan. Ah, sementara solusi belum juga ditemukan.
Aya, apa sabar ada batasnya? Apa usaha maksimal bisa didefinisikan? Kalau definisi, iya aku tahu itu tergantung persepsi. Masalahnya, persepsi yang tak seragam seringkali menimbulkan kelahi. Meski hanya di dalam hati, aku tahu gurat wajah dan sapa selalu punya arti tersendiri. Lalu bagaimana kabar hati jika kita tak pernah mengutarakan perasaan. Bisakah protes tanpa bersinggungan dan melakukan klarifikasi untuk mengoreksi?
Entah Ya, aku pikir selama ini bisa. Tapi mungkin semua masih kekanakan. Terlalu kecil untuk dibilang bisa memahami. Terlalu ego untuk mau mengalah duluan. Dan terlalu peduli sampai akhirnya keterusan dipikirkan. Aya, aku tahu aku salah juga. Tapi dalam kacamataku, ada juga dewasa bernama 'penerimaan' bukan?
Aya, aku letih jika terus begini. Keadaan berkata 'Ya' yang dibatasi bertahun lalu tidak berlaku di sini. Aku ingin bernafas-tidak untuk sejenak, tapi untuk jangka waktu yang lama. Membaca lebih banyak buku, menghadiri kajian-kajian keislaman, menghafalkan kembali baris-baris mukjizat itu secara total. Ah, aku ingin menyapa 2014 Ya jadinya. Cih, kekanakan sekali ya aku Ya. Maafkan Ya, ternyata aku belum bisa jadi teman yang kuat yang kau pikirkan selama ini.
Terimakasih Ya sudah membaca. Aku rindu mendekapmu erat, sungguh. Kalau kau bingung dengan uraian panjangku di surat ini, aku cuma bisa minta maaf Ya. Kau tahu, aku seringkali ingin bisa menyampaikan maksudku tanpa bercerita. Kenapa? Karena bercerita membuat dadaku lebih sesak saat mengatakannya. Dan bercerita membuatku malu terhadap lawan bicaraku. Maaf ya Ya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar