//saya teringat postingan rian yang ini. Ga ditulis disana sih tapi inget dia pernah nyatut soal mengabarkan rezeki sebagaimana di Ad Dhuha:11
"Hmm baik bu kalau begitu"
.
.
"Tapi sebenarnya saya malu, Bu"
//lama nggak dibalas
"Saya tulis ya **maksa"
//kemudian saya khawatir sama responnya.
***
Tidak ada teman jurusan yang tahu soal rencana kepergian saya hari ini sebenarnya, sampai dosen pembimbing saya
Sebenarnya saya sudah kabari beliau sejak lama. Tapi setidaknya saya bersyukur beliau nggak ngeh, karena kalau ngeh maka pengumuman via akun fbnya akan lebih awal dikabarkan.
Bukan apa-apa. Saya hanya menahan diri agar tidak terlalu mengumumkan-atau sederhananya memberi tahu banyak orang soal agenda ini. Karena tipe pemikir berlebihan yang entah mengapa saya anut, somehow membuat saya menjadi lebih lelah pikiran pasca lolosnya saya pada summer program ini-ketimbang ketika melalui liku pendaftaran-pendaftaran yang pernah saya lalui. Saya khawatir dengan ekspektasi orang. Saya tidak suka segala hal ini dikaitkan dengan ke-ayah-an. Saya takut orang hanya menilai luarnya saja ketimbang bahwa saya punya kekhawatiran bahwa setelah serangkaian agenda ini, saya harus jadi pribadi yang lebih baik lagi.
Sebelumnya saya ingin bilang bahwa, adalah kesyukuran tiada hingga ketika Allah memberi saya nikmat lolos pada program ini. Memberi saya kemampuan untuk ikut programnya. Lahir maupun batin.
Salah satu ketakutan juga adalah tentang apa yang orang lain lihat dan tangkap secara sekilas, secara tersirat, ketika tahu saya lolos program ini. Karena di dunia kita sekarang, kita cenderung melihat prestasi dan posisi dunia sebagai sesuatu yang keren. Ketua A, B, C, D. Sekjend J, K, L, M. Juara F, G, H, I. Sudah ke P, Q, R, S. Padahal jaman para ulama dulu, kata seorang kakak, orang dilihat dari berapa banyak ia berguru menuntut ilmu, seberapa jauh ia berjalan untuk benar-benar memvalidasi dalam proses meriwayatkan hadits. Dan betapa-sungguh kita masih jauh daripada itu.
Barangkali kita bisa menyangkal; kalau ya itu dulu para ulama bukan konteks kekinian. Tapi ketika menuntut ilmu agama adalah fardu ain dan pemahaman melandaskan kegiatan apapun sebagai upaya ibadah masih bukan menjadi prioritas. Mau dibawa kemana akhirat kita :" ?
Jadi, maksud saya menulis ini adalah saya takut sekali dengan pandangan orang-orang setelah tau. Takut sekali dengan ekspektasi orang-orang. Sayanya yang khawatiran sih ya. Tapi saya pribadi benar-benar mengalami yang namanya resah ketika mampir OIA buat ngambil berkas kelengkapan visa yang dikirim langsung dari Jepang. Saya nanya ke diri sendiri. Saya meyakinkan diri sendiri. And it was never been easy. Makanya saya bilang tadi kalau ternyata ngurus segala proses pasca lolos lebih mengaduk-aduk diri dibandingkan proses daftar-daftarnya meskipun yang ini capek fisik :"
Anyway, semoga kita semua jadi pribadi yang lebih baik lagi. Selamat 100 hari terakhir. Pamungkas. Semoga ridha Allah tetap jadi tujuan utama :')
-penerbangan kode AK 349
-di atas awan
-18.02