Sabtu, 04 Juni 2016

Waktu dengan Keluarga

"Waktu yang kita habiskan sama keluarga kita kelak bakal lebih banyak daripada waktu yang kita habisin buat keluarga kita sekarang. Makanya, manfaatin waktu yang sedikit itu sebaik mungkin."
-temen saya, suatu ketika, di sunmor.

Waktu temen saya ngomong gitu, saya mbatin. Iya juga ya. Misalnya orang (secara umum) nikah umur 20-an, terus usia hidupnya (secara umum) 60 atau mungkin 70-an. Waktunya akan banyak dihabiskan sama keluarganya kelak, bukan sama keluarga yang membesarkannya which is itu ayah ibunya.

Ada percakapan pagi yang mengingatkan saya sama quote in. Dan hal lain: percakapan sepanjang perjalanan mungkin sebulan-atau bahkan lebih-lalu.

Pada quote itu, jika saya merefleksikan diri bahwa hampir separuh usia saya yang 21 lebih (hampir) dua bulan ini, nyaris 10 tahunnya saya habiskan di luar rumah. SMP, SMA, kuliah. Dan barangkali saya-atau kita bagi yang senasib meski dengan bilangan angka yang boleh jadi berbeda-tidak pernah tahu seberapa keras orang tua kita menahan dan menanggung rindu. Mereka ndak bilang, kok. Hmm, kalau kata umminya Nusa, temen saya dari Manokwari, Papua Barat : emang Ummi harus bilang kangen buat nunjukin kalau Ummi kangen?

Kita nggak pernah tau seberapa kangen orang rumah sama kita. Seberapa harapannya kita ada di rumah, kitaa pulang, dan ada saat momen spesial meskipun itu hanya makan hantran selametan tetangga bareng-bareng sama adek.

Maka dalam suatu percakapan di jalan, saya sama temen saya membahas tentang seorang rekan sekaligus kakak yang diminta pulang sama orang tuanya setelah kelulusannya yang sudah setahun dan yang diusahakan selama di Jogja belum Allah jawab dengan anggukan, kami pada akhirnya sepakat bahwa bukan soal pekerjaan cepat yang orang tua minta. Barangkali, orang tua lebih ingin anaknya mengusahakannya di rumah saja. Barangkali bukan perkara uang kos-kosan yang harus dibayar kalau di Jogja, atau kiriman uang untuk makan, atau apalah. Barangkali orang tua ingin, agar mereka dekat, sudah itu saja. Karena hidup selanjutnya boleh jadi akan susah untuk sering bersama lagi.

Sebagaimana yang kemudian temen saya ceritakan, waktu orang tuanya ngelepas ia sekolah asrama, beberapa waktu kemudian ayahnya mengirimkan email. Yang intinya baahwa tidak hanya anaknya yang berjuang, orang tuanya pun berjuang untuk bisa tidak merasa kehilangan dan meyakinkan diri bahwa di sana anaknya bisa mengusahakan hal-hal yang baik.

Ah, betapa kita tidak pernah bisa merasakan apa yang orang tua rasakan sebelum kita menjadi orang tua itu sendiri :")



Tidak ada komentar:

Posting Komentar