Senin, 06 Juni 2016

Soal Ramadhan Kita

Saya sejujurnya memulai Ramadhan ini dengan cukup baper kalau mengingat Ramadhan tahu lalu. Saya sakit di bulan Juni di mana saya pun harus memasuki Ramadhan dengan kondisi yang belum fit. Dua butir obat adalah teman setia saya saat sahur dan berbuka. Kala itu, saya sampai cek lab 3-4 kali dan saya ingat betul malama tarawih pertama saya baru pulang urus hasil lab, dibonceng Nusa, mampir beli makan, ke asrama, kemudian Nusa tarawih di UII dan saya di asrama.

Saya mengingat perjuangan Mbak Nurra skripsian ramadhan 2014 ketika saya masih di kosan. Dan Mbak Nurra secara amazing, di tengah skripsiannya, tetap bisa memotivasi saya untuk rutin datang kajian buka puasa di maskam. Apa kabar ibu guru Pribadi yang sekarang S2 di Taiwan? Cepet banget ya Mbak dari ketika menyaksikan perjuangan skripsimu itu. Sekarang aku yang ngerasainnya :"

Saya mengingat ramadhan 2012 ketika hari pertamanya saya habiskan di kereta sepulang dari daftar ulang masuk UGM. Juga mengingat temen saya yang cerita Ramadhannya sampai detik ini masih terus saya ingat *halo, apa kabar?

Saya mengingat ramadhan 2011 di mana hari pertama itu saya dan tim tatib lain kumpul bareng adek Magnivic. Kumpul perdana internalisasi bakda PTS yang melelahkan (tapi bahagia), tapi kumpul yang selo dan penuh ketawa. Tidak ada marah-marah, tidak ada toa, tidak ada teriakan. yang adda hanya bagaimana kami saling bercerita dan sharing. Yang kemudian pulang dari ruang audio visual kamar bagian depan saya di 101 H gelap.

Ada hal lain ketika saya memulai Ramadhan kali ini. Tapi sebenarnya, bukan itu yang ingin saya ceritakan. Haha, intronya kepanjangan #dasarbaper.

Hari ini saya membaca sebuah bc-n WA yang menceritakan suatu sekte di agama lain yang melakukan ritual puasa satu kali seminggu. kemudian mereka menyedekahkan uang yang seharusnya mereka pakai untuk makan. Suatu kali, ketika mereka bertemu dengan seorang muslim, dikatakanlah bahwa ia kagum dengan ritual berpuasa sebulan penuh yang dijalankan kaum muslimin. Katanya, "Berarti kalian bisa menyedekahkan banyak untuk orang-orang yang membutuhkan."-Kalimat yang menjadi bumerang bagi si pembuat status yang cerita ini.

Bagaimanalah jika tidak tertegun, karena bulan puasa begini, mata lebih lapar duluan dibanding perut. Sebagaimana hasil temuan Arum, saya sejujurnya nggak nyangka kalau Ramadhan bahkan mengubah trending topicc mesin pencari kita. Sehingga pengeluaran untuk beli printilan makanan seperti jajan-jajan es dan cemilan, juga peraasan untuk membeli lauk yang lebih mahal menjadi tidak disayangkan.

Kita boleh saja meyangkal membaca realita ini. Barangkali kita bukan termasuk orang yang suka belanja banyak untuk buka puasa. Atau malah menyengaja berburu takjil dan makan nasi gratisan yang disediakan masjid-masjid sebagai perpanjangan tangan para donatur. Tapi barangkali ada yang kita lupa. Pertama, maklumat puasa tidak mesti macam-macam makanannya mugkin karena kita terbiasa shaum sunnah sehingga puasa menjadi tidak sebutuh itu terkait makanan-makanan hidangan berbuka yang mewah. Itu artinya, di luar sana masih ada orang yang belum biasa dengan shaum sunnah-bisa belum biasa atau malah bisa jadi tidak tahu. Kedua, barangkali kita termasuk orang-orang yang belum menyadari bahwa uang jatah makan-setidaknya siang, atau juga ditambah makan malam karena makan malam kita sudah menginduk pada masjid-punya peluang untuk berbuah 700kali lipat dengan disedekahkan *baca : Al Baqarah 261-264.

Tidak perlu berpanjang lagi, baiknya saya sudahi. Semoga bisa menjadi perenungan. Dan sungguh, ini perenungan juga buat saya sendiri (mulai dari membaca bc-an wa itu sampai menulis tulisan ini.
-semoga bermanfaat :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar