Minggu, 24 Juni 2018

Monolog 4 Juni 2018

Sama kayak postingan sebelumnya bahwa ini juga poin pembelajaran di googlekeep yang aku tulis dan jabarkan ulang di sini, sebagai pengingat. *Asa dulu mah nulisnya diary, wkwk. Sebenarnya menulis di blog itu sekaligus dalam rangka belajar membuat seasuatu yang sistematis.

Pertama, belajar memaksimalkan sesuatu. Memanage ekspektasi dari orang lain itu sulit. Tugas kita memaksimalkan apa yang kita bisa dalam meraihnya. Aih, sesungguhnya ekspektasi nggak cuma dari orang lain kan ya. Juga dari diri sendiri. Ekspektasi dari diri sendiri pun bisa yang sifatnya menyangkut diri sendiri, dan ada juga yang sifatnya ekspektasi soal ibadah ke Allah. Kalau yang sifatnya ibadah, kita nggak berharap dilihat oleh orang lain, tapi harapannya ada pada Allah melihat dan menerima amalan kita. Kalau yang berhubungan sama orang lain, misalnya kerjaan. Ada fase yang dibutuhkan atasan untuk tahu progress kerja bawahan, juga rekan kerja satu sama lain. Ini bukan dalam rangka nyombong, tapi untuk bisa mengukur, baik dalam menentukan pace kerja masing-masing (utamanya rekan kerja) maupun menjadi pertimbangan dalam menentukan target (utamanya atasan). Jadi, dalam rangka memaksimalkan sesuatu, baik yang kita ekspert di dalamnya maupun belum, komunikasi, barangkali adalah jembatan penghubungnya. Komunikasikan upaya maksimal kita dan kalau ada hambatan atau hal apa yang bisa mentrigger upaya maksimal itu menghasilkan sesuatu yang besar.

Selanjutnya, kalau targetan atau upaya maksimal belum tercapai, komunikasikan alasannya. Juga misal ketika di awal diberi tanggung jawab, kita merasa ndak mampu. Kasih tau alasannya. Misal, dalam jangka waktu yang ditentukan, kerjaan yang diberikan pada kita belum bisa dituntaskan karena alasan kita yang belum ekspert di sana, perlu mencari referensi tambahan, kerjaannya terlalu gendut, atau bisa selesai namun butuh waktu lebih lama. Komunikasikan agar orang lain paham hal apa yang menghambat, atau mungkin bisa mentrigger (misal nambah orang, beli tools baru, dsb). Jangan denial dari awal bilang nggak bisa. Jelasin karena apa ngga bisanya, biar bisa diadjust dan dicari titik temunya. Entah dari ekspektasinya yang diturunin, waktu yang diperpanjang, atau mencari katalis untuk mempercepat eksektasi itu selesai sesuai timebox (yang tadi, bisa orang, tools, dsb). Dan orang lain mengetahuinya (saya jadi ingat ketika mandek skripsi lalu berat banget cerita ke dosen pembibing T^T). Kalau dari awal udah bilang ngga bisa, tanpa penjelasan, orang akan antipati dan tidak respect, karena kita menutup sesuatu tanpa penutup yang baik. Yha, semua orang juga ga suka kan sesuatu yang tanpa penjelasan, heu~

Komunikasikan dan bicarakan adalah kunci dari dua poin yang dibahas sebelumnya. Kalau misal kita bicara dengan orang yang tidak kita suka sekalipun, mengutip dari hadits, lihat apa yang dikatakan, bukan siapa yang mengatakan. Tetap lakukan proses komunikasi dengan niatan mencari titik temu antara hal-hal yang perlu dikomunikasikan. Jangan ketika tahu dengan siapa harus bicara, sudah ada mindset yang mengunci diri kita dengan orang itu, lalu jadi males duluan. Tidak ada tembok yang perlu dibangun. Kalaupun kesal dengan seseorang, kita perlu bedakan mana ranah pribadi dan ranah profesional. Sabar, mulai dengan bismillah.

Terakhir, soal menjaga. Saat ada di fase terasa orang menjaga jarak dengan kita, barangkali emang ada jeda yang hendak diciptakan oleh orang tersebut. Kalau merasa ada salah dan perlu konfirmasi untuk minta maaf (takutnya ada kesalahan yang ga sadar dilakukan), silakan minta maaf. Tapi kalau tidak perlu, biarkan saja. Hormati jeda yang dibuat. Mungkin, orang tersebut pun berusaha keras sebenarnya dalam menjaga jarak dan menciptakan jeda. Dan kalau kita tahu emang itu yang dibutuhkan, berusahalah untuk sama-sama menjaganya.

It seems banyak muter-muternya. Sekian.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar