Minggu, 23 September 2012

Malam Ini Aku Ingin Sendiri

Aku memutuskan menyelesaikan semua tanggung jawabku sesegera mungkin. Aku ingin segera pulang.
Ah, pulang? Tidak juga sebenarnya.
Pada teman-teman aku hanya bilang, ini tanggung jawabku sudah selesai. Ehm, maaf aku tak bisa menunggu sampai semuanya selesai. Aku..Boleh aku izin pulang duluan?
Dan, beberapa temanku pun mengangguk.

Sebenarnya entah kali ini aku bohong atau tidak. Aku belum ingin pulang. Tadi juga aku sudah izin pada orang rumah bahwa aku akan pulang telat. Ada tugas organisasi yang harus dikerjakan. Aku hanya ingin...sendiri.

Aku berjalan menyusuri trotoar jalan utama dekat kampusku. Lalu lalang kendaraan, antrian panjang ketika lampu merah, sahut-sahutan klakson saat lampu lalu lintas berubah jadi hijau, warung-warung tenda yang tak terhitung jumlahnya. Aroma masakan yang sungguh menggoda perutku yang sebenarnya mulai lapar. Tapi tidak, aku tak ingin makan sekarang. Aku hanya ingin sendiri.

Aku memang berjalan ke arah parkiran motor yang agak jauh jaraknya dari tempat kumpulku tadi. Tapi, tempat itu bukan tujuan utamaku saat ini. Aku ingin mampir ke alun-alun. Alun-alun yang berada di antara parkiran motorku dan tempat kumpul tadi.

Aku menyebrang jalan, kemudian belok kiri dekat sebuah warung tenda yang nampak ramai. Aku menghela nafas panjang. Melihat-lihat sekitar. Malam ini, banyak sekali orang. Masih musim liburan sekolah nampaknya. Di suatu sudut ada orang mendemonstrasikan ular besarnya, dikerubungi begitu banyak orang. Kalau adikku di sini, pasti ia begitu tertarik. Sayangnya aku tidak. Sekalipun aku menyempatkan mampir melihat sekilas, aku bukannya semakin tertarik malah memilih menjauh, penjelasan si abang pendemonstrasi terlalu panjang, terlalu bertele-tele.

Maka aku memutuskan duduk, di kursi yang dibuat melingkar dan bersusun seperti anak tangga. Aku memilih duduk di barisa nomor dua dari atas. Di dekatku ada orang pacaran. Bodo amat, apa peduliku? Mau bilang aku pengganggu? Siapa suruh pacaran? Haha, sinis sekali aku  malam ini.

Dari sini aku masih bisa mengamati kerumunan orang-orang yang makin ramai mengerumuni si abang-abang pembawa ular. Tapi tetap saja tak terlihat jelas. Tak apa, memang bukan itu tujuanku ke sini. Hufff...aku menghela nafas lagi, entah untuk yang ke sekian kalinya.

Mendekati jam delapan, alun-alun kian ramai. Para keluarga baru, sepertinya, banyak yang datang. Ayah, Ibu, dan balita kecil mereka. Ah, lucu sekali! Anak kecil merengek minta dibelikan mainan yang ada lampunya dilontarkan ke langit bak main ketapel, kemudian mainan itu akan berputar-putar di udara, sambil memamerkan kelip lampu yang sudah dipasang dibadannya. Sebagian lagi minta dibelikan balon sabun. Kadang, ayah ibunya berselisih pendapat sebentar. Bilang, bisa dibuat sendiri di rumah. Yang lainnya membela, berkata, tak apa, beli saja. Jarang-jarang kita keluar ke alun-alun begini. Pasti ia (anaknya) suka sekali. Dan akhirnya mainan-mainan itu dibeli. Lima ribu, tampaknya malam ini banyak yang lima ribu di sini.

Sesekali aku tersenyum melihat tingkah laku anak-anak kecil itu. Dibantu ayahnya melontarkan ainan ke udara. Si ayah juga kadang tak bisa-bisa. Ibu memberi semangat pada Ayah, tak lupa anaknya merengek minta gantian mencoba. Apa daya, zaman ayah kecil tak ada mainan seperti ini sih nak, jadi Ayah penasaran juga. Begitu mungkin pikir ayah mereka.

Lainnya beberapa meminta ayah bundanya yang meniupkan balon sabun itu. Lalu ia berjalan penuh gaya di antara gelembung sabun yang melambung tak lama-lalu pecah. Si anak tertawa geli, kegirangan. Begitu juga ayah bundanya.

Aku tersenyum kecil, ingat masa lalu. Mungkin dulu aku juga begitu. Ingat tiba-tiba, dulu adikku juga.

Ah, aku mendesah kecil. Tidak, bukan ingatan masa kecil yang menggangguku. Sungguh bukan itu. Bukan aku rindu masa laluku lantas aku memilih ke sini. Kangen ayah bunda juga tidak. Biasa saja. Aku bisa pulang saat ini juga kalau aku mau. Di rumah, ayah bunda pun ada. Lantas apa?

Aku juga tak tahu mengapa aku begitu ingin menghabiskan waktuku di sini dulu. Mampir, baru kemudian pulang. Memandangi sekitar, menikmati malam yang kian kelam. Merasakan hawa dinginnya yang tak begitu menusuk tulang. Aku hanya ingin, Aku hanya bergerak sesuai keinginan hati. Hanya itu, sungguh.

Lagi-lagi aku menghela nafas.

Aku mendongakkan kepala, menatap sekitar. Lampu PDAM kota yang berwarna-warni menyala. Indah nian. Dulu sahabatku berkunjung hanya untuk foto-foto di sini. Dan kemudian aku menatap langit. Langit cerah hari ini. Bulannya...purnama.

Aku menatap purnama itu, cukup lama. Sebelum setelahnya menghela nafas panjang dan menundukkan kepala, meletakkan kepalaku di atas tangan yang sedari tadi di pangkuan. Rembulan itu...

Dan mungkin rembulan selalu punya banyak makna bagiku. Mungkin rembulan selalu bisa mengingatkanku pada beberapa hal yang telah tertinggal lama di belakang. Mungkin ia selalu bisa...entah mengapa.

Dan cukup lama setelah aku berupaya menetralkan semua perasaan yang tadi sempat buncah, aku memutuskan pulang. Dan aku tersenyum ketika melihat penjual jagung bakar. Ah, dari satu setengah tahun yang lalu aku ingin, baru sekarang tercapai. Entah kenapa tak dari dulu saja aku berniat ke sini untuk membeli jagung bakar yang lama diidam-idamkan. Jagung bakar ini, mungkin sungguh kejutan malam ini. Kejutan sekaligus teman yang menyenangkan:')

Maka sebelum aku benar-benar menuju parkiran motor untuk pulang, aku memutuskan untuk menghabiskannya di alun-alun ini. Ditemani ramainya celotehan anak-anak kecil, obrolan muda-mudi, suara menawarkan penjual mainan, skenario abang-abang dengan ularnya, gonjang ganjing gitar pengamen, asap yang mengepul dari tungku pedagang tenda. Kau tahu, kadang paradoks itu memang ada. Seperti perasaanku saat ini, saat aku merasa begitu sepi di tengah alun-alun yang begitu ramai.

---hanya tulisan, bukan kisah nyata

Tidak ada komentar:

Posting Komentar