Penulis : Asma Nadia
ISBN : 978-979-22-3045-1
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Ketebalan : 248 halaman
Ukuran : 18 cm
Harga : 25.000
Hidup adalah kehidupan seperti
dongeng, itulah Arini. Baginya ia adalah putri. Pras, suaminya adalah pangeran,
serta rumah tangga mereka adalah sebuah istana.
Bagi Mei Rose, hidup jauh sekali dari dongeng-dongeng. Karena baginya dongeng selalu bermuara pada kebahagiaan. Kepercayaan ini membuatnya sangat mengandalkan akal sehat. Karena sejak kecil ia hidup dengan didikan keras lewat suruhan dan bentakan A-ie, tantenya. Satu-satunya yang ia miliki.
Dongeng Arini mulai terasa hancur ketika mendengar suara sapaan dari telepon di seberang. Suara yang mengaku bahwa dirinya adalah Nyonya Prasetya. Tidak mungkin ada Nyonya Prasetya yang lain! Pekik hati Arini. Maka timbullah prasangka-prasangka yang hanya membuat hatinya bertambah luka.
Sampai usia tiga puluh tahun, Mei Rose tetaplah seperti dulu. Tetap tidak percaya pada dongeng-dongeng. Sebab dongeng selalu bermuara pada kebahagiaan. Kehadiran pangeran gagah yang tahu kapan dan di ia harus muncul demi menyelamatkan putri cantik. Ia mulai percaya, Pangeran itu tak akan bisa menemukannya. Barangkali pun karena aku tak cukup cantik! Begitu prasangkanya.
Arini harus meminta kejelasan. Tapi apa daya, tak ada keberanian yang muncul ketika tatap matanya bertemu dengan mata cokelat Pras. Mulutnya kaku. Kepastian itu, tidak sanggup ia tanyakan pada suaminya.
Seseorang datang pada Mei Rose dan membuatnya berpikir bahwa dongeng-dongeng itu memang ada. Mengenal dirinya lebih dulu, memerhatikannya, memujinya hingga ia melambung ke angkasa. Membuatnya jadi lebih sering memerhatikan penampilan. Sayang seribu sayang, pada akhirnya laki-laki ini harus ia tinggalkan. Karena perbuatannya malah meninggalkan dendam dan kebencian berkepanjangan. Karena perbuatannya malah membuatnya bersikeras untuk mati.
Novel ini bercerita tentang kesetiaan dalam rumah tangga. Ketika Arini khawatir mendengar suara yang mengaku Nyonya Prasetya dari nomor telepon yang ia hubungi. Nomor telepon yang tertera pada kuitansi penggantian pengobatan yang diberikan Mbak Hani, seorang bagian keuangan kampus tempat Pras mengajar. Arini gamang. Mungkinkah Pras membangun istana kedua?
Novel ini bercerita tentang kesetiaan dalam rumah tangga. Ketika poligami menjadi pilihan, apakah yang menjadi alasan? Merasa simpati, keinginan menolong, agar tak tercipta maksiat karena telah halal? Atau…mereka—para lelaki jatuh cinta lagi, kemudian kehilangan kontrol diri?
Novel karya Asma Nadia ini berani mengangkat tema hal yang mungkin tabu diperbincangkan di kalangan umum. Namun sekaligus membuka mata pembaca bahwa hal-hal yang diceritakan pada novelnya mungkin terjadi di rumah tangga. Mungkin banyak orang yang telah membangun kesiapan untuk ditinggalkan jika ajal pasangan datang ketika akan menikah. Tapi tidak banyak orang yang telah membangun kesiapan jika pasangannya jatuh cinta dan kemudian meninggalkannya karena kehadiran orang lain.
Novel ini disampaikan dengan detail emosi yang kuat. Pendeskripsian emosi begitu nyata seolah pembaca akan mampu merasakannya. Merasakan bagaimana terpuruknya Arini, bagaimana bencinya Mei Rose, bagaimana paniknya Pras. Bahasanya tidak bertele-tele, namun cukup untuk menggambarkan detail perasaan para tokoh.
Hanya saja, persoalan poligami yang diangkat pada novel ini terlalu sering disebutkan. Ketika persoalan ini menimpa tokoh utama, maka tokoh-tokoh di sekelilingnya juga pernah mengalaminya seolah hal ini memang kebetulan yang terjadi secara umum. Mungkin penulis membuatnya dengan tujuan agar mata pembaca benar-benar terbuka dengan dunia pernikahan yang kadang tidak sesuai impian.
Novel ini merupakan cerita
bersambung yang pernah dimuat di Majalah Ummi. Ukuran buku yang kecil dan tidak
terlalu tebal membuatnya mudah di bawa ke mana-mana seperti dalam perjalanan,
ketika menunggu, dan lain sebagainya. Tidak perlu waktu lama untuk
menyelesaikan novel ini, karena membacanya seperti membiarkan mata mengikuti
alur ceritanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar