Efti. Ya, namanya Efti. Sebut saja ia begitu.
Jadi begini, suatu ketika, di siang yang biasa saja, kami duduk-duduk di bangku kantin. Aku baru saja ikut bergabung sebenarnya. Bergabung di antara delapan teman lainnya, yang sudah sedari tadi asyik bercengkrama sambil menghabiskan santapan pesanan.
Bergabung, dan awalnya pastilah mendengarkan.
“Udah wajahnya mirip...”
“Iya, ya.... Sama-sama tinggi lagi.”
“Makan apa sih kalian, tiang?” Segera yang lainnya menyambut tawa.
“Cocok kok cocok...”
Semua tampak setuju, mendukung. Hei, kau tahu kan apa yang kumaksud?
Efti hanya bisa mengulum senyum, sekilas, sedikit. Senyumnya tampak malu-malu. Bersemukah kedua pipinya? Ya, mungkin saja.
Ya, begitulah. Efti dan Rendy. Entah sejak kapan keduanya mulai diledek, mulai dijodoh-jodohi. Mungkin sejak mereka sering boncengan bareng naik motor. Entah hanya sekedar kuliah ke fakultas filsafat, maupun jemput ke kosan untuk kumpul organisasi (sekalipun mereka beda divisi).
Menyadari sudah ada dua pasang yang jadi. Ledekan orang-orang serasa berkata, Tunggu apa lagiii? Nggak mau nyusul? Biar gak jomblo, punya status jelaaas.
Ya, saya tahu di dunia saya kini, semuanya jadi terlihat lumrah, wajar.
Tapi, bukan itu yang kali ini ingin saya bahas. Ah, sebenarnya bukan bahas sih, cuma mau bilang:
Mungkin bagaimana pun juga, memang wanita yang selalu menunggu. Juga tentang kepastian, mereka selalu menunggu kepastian.
Begitu juga dengan Efti. Saya berspekulasi kalau hatinya juga sempat terbolak-balik ketika yang lainnya meledek. Hatinya gerimis--lewat senyum kecilnya yang tak dapat ia bendung lagi. Lewat rasa buncahnya--yang selalu ia sembunyikan--setidaknya sampai saat ini.
Seperti apa yang pernah saya baca di situsnya Fahd Djibran : http://www.fahdisme.com/2012/07/kepastian.html
(di situs itu kini artikelnya sudah tak seutuhnya. Dulu lengkap, namun kini tidak. Kelihatannya karena Bang Fahd sedang membuat Bukunya yang berjudul Perjalanan Rasa, sehingga tulisannya diganti dengan gambar kecil yang intinya : SEGERA DIBUKUKAN. Tapi saya tahu, intinya tulisannya di bawah ini (kalian bisa lihat komentarnya jika tidak percaya, saya pernah baca artikel utuhnya Juli lalu).
"tetapi adam perempuan lebih suka kepastian"
[saya percaya, kalian akan benar-benar tersentuh membaca teks utuhnya, ketika kalian benar-benar tahu rasanya seperti apa, sungguh]
*tapi yang penting, adalah ketika kita sungguh mengerti apa sih sebenarnya, bagaimana sih seharusnya, memahami seluruh aturan-aturan main yang telah diatur, juga memahami mana waktu yang benar-benar tepat*oh dear, ini bukan masalah siap tidak siap bilang. bahkan urusan ini, jauh lebih serius lagi dari apa yang kita pikirkan. sekali lagi : sungguh.
sehingga kita benar-benar mengerti, dan menyiapkan diri .
note : terinpirasi kisah nyata : ya. ditambahi : juga iya. Maka jangan anggap lagi ini kisah sama seperti aslinya. mungkin iya, mungkin tidak kubilang. tetap anggap ini tak nyata, ya. *karena lebih banyak saya berspekulasi :P
Pengurus Masjid Menangis Terima 2 Hewan Qurban dari Pemulung
“Saya nangis, tidak kuat menahan haru,” ujar Juanda (50), salah satu pengurus Masjid Al Ittihad kepada merdeka.com, Jumat (26/10/2012).
Juanda menceritakan, Selasa (23/10/2012), seorang pemulung bernama Maman datang ke Masjid Al Ittihad. Masjid megah ini terletak di kawasan elit Tebet Mas, Jaksel.
“Bawanya pakai bajaj. Dia kasih dua ekor kambing untuk qurban. Dia bicara tegas, justru saya yang menerimanya tak kuat. Saya menangis,” kata Juanda.
Dua kambing qurban yang diserahkan pemulung itu berwarna cokelat dan putih. Kambing itu justru yang paling besar di antara kambing-kambing lain.
Juanda menceritakan, pengurus lain pun terharu mendengar cerita ini. Begitu juga jamaah shalat Idul Adha saat mendengar pengumuman lewat pengeras suara sebelum shalat dilaksanakan. Mungkin, saat membaca cerita ini, mata Anda pun berkaca-kaca.
Adalah pasangan suami istri Yati (55) dan Maman (35), keduanya pemulung, menabung susah payah untuk berqurban. Yati mengaku, sempat ditertawakan saat bercerita seputar niatnya untuk berqurban.
“Pada ketawa, bilang sudah pemulung, sudah tua, nggembel, ngapain qurban,” cerita Yati, Jumat (26/10/2012).
Tapi Yati bergeming. Dia tetap meneruskan niatnya untuk membeli hewan qurban. Akhirnya setelah menabung tiga tahun, Yati bisa berqurban tahun ini.
“Pada bilang apa tidak sayang, mending uangnya untuk yang lain. Tapi saya pikir sekali seumur hidup masak tidak pernah qurban. Malu cuma nunggu daging kurban,” beber Yati.
Yati dan suaminya, Maman, sama-sama berprofesi sebagai pemulung. Pendapatan mereka jika digabung cuma Rp 25 ribu per hari. Tapi akhirnya mereka bisa membeli dua ekor kambing. Masing-masing berharga Rp 1 juta dan Rp 2 juta.
Dua kambing ini disumbangkan ke Masjid Al Ittihad, Tebet, Jakarta Selatan. Jemaah masjid megah itu pun meneteskan air mata haru.
Pasangan suami istri ini tinggal di gubuk triplek kecil di tempat sampah Tebet, Jakarta Selatan. Saat merdeka.com mengunjungi gubuk Yati usai Shalat Idul Adha, Jumat (26/10/2012), Juanda, pengurus Masjid Al Ittihad, ikut menemani.
Yati membukakan pintu dan mempersilakan masuk. Tak ada barang berharga di gubuk 3×4 meter itu. Sebuah televisi rongsokan berada di pojok ruangan. Sudah bertahun-tahun TV itu tak menyala.
Wanita asal Madura ini bercerita soal mimpinya bisa berqurban. Dia malu setiap tahun harus mengantre meminta daging. “Saya ingin sekali saja bisa berqurban. Malu seumur hidup hanya minta daging,” katanya.
Yati mengaku sudah lama tinggal di pondok itu. Dia tak ingat sudah berapa lama membangun gubuk dari triplek di jalur hijau peninggalan Gubernur Legendaris Ali Sadikin itu.
“Di sini ya tidak bayar. Mau bayar ke siapa? Ya numpang hidup saja,” katanya ramah.
Setiap hari Yati mengelilingi kawasan Tebet hingga Bukit Duri. Dia pernah kena asam urat sampai tak bisa jalan. Tapi Yati tetap bekerja, dia tak mau jadi pengemis.
“Biar ngesot saya harus kerja. Waktu itu katanya saya asam urat karena kelelahan kerja. Maklum sehari biasa jalan jauh. Ada kali sepuluh kilo,” akunya.
Juanda yang menjaga Masjid Al Ittihad terharu saat Yati bercerita mimpi bisa berqurban lalu berusaha keras mengumpulkan uang hingga akhirnya bisa membeli dua ekor kambing.
“Man jadda wajada, siapa yang bersungguh-sungguh akan berhasil,” gumamnya.
Di tengah kemiskinan yang mendera, Yati-Maman, dua pemulung ini berqurban dua kambing–setelah dengan susah payah menabung selama 3 tahun. Bagaimana bagi yang memiliki kemampuan, tapi tak tergerak untuk berqurban? (sumber:merdeka.com)