Minggu, 24 Juni 2018

Masuk Surga Sekeluarga

Sore itu rasanya begitu emosional. Di perjalanan yang macet menuju rumah sakit, hati saya ribut bicara sendiri soal masuk surga sekeluarga. Mata saya berkaca-kaca. Aih, surga itu mahal. Ndapetinnya buat diri sendiri aja susah, bagaimana pula jika untuk sekeluarga? Usahanya perlu ekstra. Mengabaikan rasa letih dan malas. Istilah masuk surga sekeluarga, dulu saya dengar menjadi tema suatu kajian di Jogja.

Iri sekali sama teman-teman yang bisa itikaf di sepuluh hari terakhir ramadhan yang berharga. Juga kagum sekali dengan keluarga-keluarga yang bisa melaksanakan itikaf, sekeluarga, tidak tanggung-tanggung. Mengalahkan rasa letih selepas bekerja bagi sang ayah, rasa letih mengurus segala keperluan rumah tangga bagi ibu, serta rasa lelah sepanjang bermain dan sekolah bagi anak-anaknya. Juga, ketika itikaf, kagum sekali dengan para ayah dan ibu yang dengan sabar dalam menghadapi kebosanan anak-anak, atau barangkali permintaan ke kamar mandi, atau mengurusi ganti popok, jika anaknya masih ada yang menggunakan pampers. Karena, kalau sudah berkeluarga dan punya anak tentu ada tantangan sendiri dalam beribadah, terutama bagi ibu yang biasanya waktunya bersama anak cenderung lebih lama dibanding sang ayah. Makanya suka denger kalau tilawah dengan tenang itu salah satu hal yang sulit didapatkan oleh para ibu kalau sudah punya anak. Kalau ayah ibunya tidak bekolaborasi dan berbagi peran dengan baik, tentu sulit sekali dicapai waktu-waktu prime time untuk ibadah ini.  Masya Allah :")

Ini semua mengingatkan saya pada suatu kajian tentang Ramadhan dan keluarga. Terharu sekali membayangkan lingkaran keluarga yang saling hening menunggu berbuka ketika sang ayah memimpin untuk memanjatkan doa menjelang berbuka. Bukan menunggu dengan terpisah-pisah, masih main, buka hp, atau masih (terlalu) sibuk menyiapkan kudapan berbuka sehingga menghalangi kesempatan berdoa di waktu mustajab. Juga jika ayah mendrive keluarga untuk sama-sama berupaya keras mengejar surga. Mau mengajak anak untuk bersiap wudhu jauh sebelum adzan agar tidak terburu-buru di perjalanan ke masjid (karena kalau mendadak gitu kan suka ayahnya ga sabar, anaknya ga bersegera). Merencanakan dan mengatur persiapan baik mental maupun perintilan itikaf anak yang perlu dibawa (makanan bekal, susu, ganti baju, dsb) jauh hari sebelumnya. Menyiapkan dan menyuasanakan anak sehingga tidak rewel dan tidak malah main bersama temannya sampai meninggalkan ibadah di masjid. Orang tua yang mau menanggung rewel anak-anak dan sabar menghadapi beragam keinginan, ajakan, dan pertanyaaan anak-anaknya. Pasangan yang bisa bekerja sama gantian memegang sang anak agar dua-duanya bisa mengejar ibadah serupa shalat dan tilawah, sementara anaknya butuh ditemani pada usia-usia dini.

Orang tua yang menjadi teladan utama bagi anak-anaknya. Sehingga sedari kecil tertumbuh dari dalam hatinya, bagaimana meletakkan seluruh lelah dunia untuk mengejar apa yang tak fana.

Sedih sekali 10 hari terakhir ini belum bisa menemani Fahri yang ingin sekali itikaf. Walaupun akhirnya kesampaian juga Allah kasih kesempatan itu untuknya. Semoga Allah masih kasih umur di tahun depan ya Dek, buat aku ikut sama-sama itikaf.

Soal keluarga dan ramadhan ini emang bisa menimbulkan haru yang luar biasa. Semoga kelak Allah izinkan keluarga kami (baik yang aku sebagai anak maupun ketika sudah punya keluarga sendiri) menjadi salah satu pejuang itikaf di bulan mulianya. Semoga Allah mampukan aku menjadi kakak yang baik bagi adik-adikku, anak pertama yng bisa membantu kedua orang tuaku, dan juga peran-peran pada fase hidup selanjutnya kelak. Aamiin.

9 Juni 2018,
yang membuat duduk diam lama di bangku rumah sakit setelah urusan selesai

Tidak ada komentar:

Posting Komentar