Ia tahu, sungguh tahu apa yang harus dilakukan, tahu bagaimana seharusnya ia bersikap. Tapi alam bawah sadarnya sempurna mengendalikan dirinya, menjadi dirinya yang saat itu, seperti sekarang.
Si kurcaci hijau itu beringsut pelan, melihat sekitar perlahan, kemudian diam-diam mencoba berpikir jernih. Ah, tetap saja susah. Ia, saat ini merasa tersesat. Tak tahu mana negeri dongengnya tempat ia bertemu orang-orang seperti biasanya. Tak mengerti mana negeri dongengnya yang sering diceritakan para ibu dengan penuh semangat ke anak-anak mereka. Kemana?
Si kurcaci hijau merasa sendiri, padahal, sungguh amat ramai di sana. Jikalau majas paradoks bilang : hatinya sepi di kota yang raai ini. Ah, boleh jadi saat ini itu semua memang benar.
Hei, kurcaci hijau itu sudah besar ! Ia sudah dewasa dan sungguh, sangat mengerti apa yang harus ia lakukan. Tapi, apalah artinya teori dibanding seluruh keberanian dan tindakan nyata. Dan entah mengapa, saat itu, sekujur badannya sempurna kaku. Ia tahu harus apa, tapi tak ada yang dilakukannya. Ia lebih dari kata dewasa yang sering dinobatkan orang pada orang yang sudah bijak menempatkan waktu dan mengatur kehidupan. Tapi, entah bagaimana, hari itu ia persis seperti anak-anak yang takut dengan banyak hal. Padahal apa? Dan mengapa?
Kurcaci hijau bingung. Ia tahu, dirinya masih harus lebih banyak bersyukur dibanding kucaci-kurcaci lain yang tersesat di negeri antah-berantah. Tapi, mengapa ia masih juga tak pandai atur emosi?
--dear kurcaci hijau, senyum, ya.
kelak kau akan menemukan negeri dongeng itu
juga mungkin nirmala, dan ratu bidadari
juga dua dayang itu, dayang kupai dan bulbun
dan tobi tabib, serta temn-teman kurcaci lainnya
sekalipun di jalan sana ada pipiyot
yakin saja, bukankah ia selalu kalah di cerita manapun ?
Yakini saja, banyak cerita indah dari negeri dongeng lainnya yang akan tercipta
dan menjadi cerita indah sebelum tidur
bagi banyak ibu yang mendongeng untuk buah hatinya.
mending kurcacinya ajak main kekosan gw ajah, hahahahah >:D
BalasHapus