Senin, 15 April 2019

Cerita Ummi dan Cerita Penerimaan yang Luas

Kemarin di perjalanan pulang, mata saya lelah sekali. Memang saya belum sehat sempurna setelah sakit. Saya menutupi mata saya ddengan tisu, karena pengen dibawa merem, tapi gabisa juga buat tidur. Seentara saya pun takut kalo tidur di jalan. Saya takut bangun-bangun saya jadi pusing, kayak waktu bangun pagi. Jadi saya paksain tetep bangun, tapi matanya merem.
.
Gak kerasa, saya malah nangis. Untung ketutupan tisu, jadi ga trlalu keliatan Meski sempet ngalir di pipi juga.

.
Hm, ada pemicunya sih. Bukan nangis yang nangsi gitu aja. Antara malu, kesel, bersyukur, haru.
***
Dari buku Teman Imaji karya Mutia Prawitasari, saya belajar bahwa ulang tahun adalah saatnya mengucapkan terima kasih kepada orang-orang di sekeliling, yang telah menjadikan diri ini hari ini. Terutama orang tua. Jadi bukan soal perkara menunggu atau bahagia soal ada ucapan. Saya pun masa bodoh orang ingat atau tidak. Saya sudah menyembunyikan tanggal itu di identitas media sosial manapun-i more appreciate someone who remmeber because they remember, not bcs of medsos notification.
.
Saya juga pekan lalu pingin ngucapin teria kasih ke banyak orang. Namun rupanya saya belum seniat itu. Salah satunya tentu saja kepada Ummi.

Kemarin saya ingat Ummi. Dan saya ingat tulisan lama saya di 2015 (saat saya flashback, saya takjub juga ternyata yang komen ada beberapa :")). Kalau mau bisa baca di sini. Aih, bahkan saya pernah menulis keresahan soal kata cantik di jurnal harian saya waaktu aliyah. Saya tulis di kursi tepi lapangan bola sekolah. Hari Jumat kalau tidak salah, saya pakai seragam batik. 2012, sudah lama sekali :")

Ummi tidak pernah repot soal make up atau soal tas bagaimana yang dibawa. Bahkan sepanjang saya bisa mengingat, saya belum pernah rasanya melihat Ummi pakai lipstick di depan saya. Satu-satunya yang pernah diceritakan adalah waktu Ummi ada rekaman soal Islam, dan pakai lipstiknya diusap jari, diminta tim videografernya agar tidak kelihatan pucat di dalam video. Dalam rangka urusan dakwah. Itu pun hanya saya dengar lewat cerita. Saya tidak pernah lihat Ummi repot kalau mau undangan. Paling-paling repotnya nanya, ini matching gak ya warnanya, hehe #womanproblem. Jadi dulu waktu di kontrakan ngomongin dunia kerja, saya justru nanya ke adik-adik 2013, kenapa sih orang kerja pada pake make up? Emang harus ya? Lalu dijawab lah, katanya pakai make up itu menghargai lawan bicara, biar rapi, dsb gitu. Pas itu kayak belum bisa terima gitu sih. Lah emang menghargai orang lain harus dengan make up? Aku merasa gak make sense gitu, haha. Tapi ya paham sih, karena mindset dunia sekarang sampai situ. Alhasil ya demikianlah belief yang diercaya masyarakat. (dan saya bersyukur bekerja di tempat yang nggak melihat orang dari make up :"))
Dan saya bersyukur mengingat Ummi yang sederhana :")
Btw, make up is different with menjaga tubuh-atau case ini wajah-dengan baik, ya.

Sekali waktu, pernah teman saya nanya waktu akhir-akhir di asrama. Fit, nggak kepengen ganti tas pakai yang kayak prempuan dewasa gitu? Ah, mengingatnya saya mau ketawa sendiri. Pertama, saya anak ilkom (cie ngaku) yang waktu itu hampir selalu bawa laptop ke mana-mana. Pegel lah ya bawa laptop pake tas cewek gitu. Kedua, saya tahu persis ummi saya waktu itu ke mana-mana nyaris selalu bawa ransel. Kalo pergi ngaji, sih biasanya (mayoritas aktivitasnya itu sih hehehe). Bawa ransel apa aja bisa dimasukin. Terus kalo pulang dan mampir belanja, ummi bisa masukin belanjaanya ke ranselnya terus jdi ga rempong tenteng-tenteng. As it is. Kalau bawa ransel juga imbang gitu kan, pundak kanan kiri. Ya kalau ke undangan Ummi gabawa ransel sih. Dan mungkin sampai besar anak akan jadi peniru, ya rupanya. Saya merasa cukup dengan ransel. Dan nggak merasa butuh tas-tas perempuan yang ditenteng gitu (ini tas cewek yang rada gedean buat bawa agak banyak barang gitu untuk aktivitas). Aku tidak tahu ini cukup aneh atau tidak. Atau ya mungkin saja nanti-nanti berubah, wallahu a'lam. Ingatan saya terakhir Ummi bawa tas perempuan gitu waktu saya sd, pernah dua kali model tas. Dulu waktu saya SD pernah juga sih sekolah bawa tas yang ditenteng gitu pas hari eskul, wkwkwk. Belinya nitip temen umi yang tipikal matching dan pandai menawar. Seragamnya olahraga warna hijau, tasnya kalau nggak pink warna biru. Mengingatnya lucu juga, betapa tidak nyambungnya.

Lalu, apa yang bikin saya nangis di jalan mengingat hal-hal ini?
Hmm, apa ya kalau dilukiskan, saya jadi kebayang aja sih, nilai yang ditanam di keluarga, sadar tidak sadar akan terwariskan, dan mungkin juga akan menurun jika Allah izinkan. Baik perempuan atau laki-laki, ketika melihat mana yang penting bagi orang tuanya, mungkin itu yang juga akan diwariskan pada keluarga dan keturunannya kelak. Saya jadi ingat, dulu adik saya pernah rempong sekali milih baju. Terus abi gemes, sampe bilang yang intinya (lupa redaksinya), itu tuh nunjukin mana yang penting buat kamu, apa yang penting itu cuma penampilan/baju? Terus aku jadi merasa, ya Allah, keluarga tuh penting banget ya. Di sana loh ditanamkan nilai, dijadikan pembiasaan, disadarkan mana yang penting dan yang tidak, mana value keluarga mana yang bukan. Kalau arah keluarganya nggak tau ke mana, terombang-ambing di keluarga, anak akan cari kiblat lain di luar sana. Bisa lingkaran pertemanan (yang belum tentu baik), bisa media sosial, bisa artis, dan lain sebagainya.

Saya juga jadi terharu aja sih, soal penerimaan yang luas. Mungkin efek abis datang ke dua undangan, saya jadi berpikir, orang menikah itu, penerimaannya luas sekali, ya. Bayangin, ada satu sama lain yang mungkin dia baru tahu sedikiiiiit aja (katanya sebelum nikah tau banyak pun, abis nikah akan tetep banyak kagetnya). Lalu saling sepakat mengarungi hidup bersama, dengan segala konsekuensinya, senang sedihnya, tawa tangisnya, dan kebiasaan-kebiasaan yang berbeda. Tapi bersepakat artinya menerima. Segala lebih kurang, kebiasaan yang baik dan buruk. Bahkan soal fisik atau label atas sikap yang orang kadang gak pede tentangnya, lalu ada orang yang mau menerima dengan penerimaan yang luas.

Heu, nggak ngerti lagi, aku. Ada lho, yang siap menerima segala kekuranganmu(semoga benar begitu). Penerimaan yang luas yang terbungkus oleh sabar dan syukur :")
Aku nangis juga kayaknya bagian ini kemarin.

Semoga hal-hal tentang penerimaan itu awet, nggak cuma karena nafsu suka semata lalu karena mau nikah jadi mentolerir hal-hal tersebut. Lalu udahannya malah jadi hal yang diungkit-ungkit atau menimbulkan cekcok. Karena, katanya kalau nikah karena fisik atau sekedar cinta, dua tahun lalu perasaan-perasaan itu akan hilang. Katanya sih. Makanya perlu alasan yang lebih besar. Beyond that.
Tapi kembali, cinta yang baik adalah yang menumbuhkan, bukan yang apa adanya. Jadi ingat tulisan lama ini.

semalam sampai rumah, rekor suhu tertinggi selama beberapa hari terakhir
minum obat, kompres byebyefever andalan meski tulisannya unuk anak-anak, bawa tidur
pagi alhamdulillah sudah turun, walau masih lemes dan ngegrundel-grundel aja saat adikadik repot mau berangkat sekolah

1 komentar:

  1. sama fit, ummiku ndak pernah pake lipstik, sampe ngajar pun ndak pake. Eh akhirnya malah temen-temen ngajar ummiku jadi ikutan ndak pake lipstik sampe make up gitu katanya haha. Ummiku juga kemana-mana pake ransel, hampir gak pernah lihat dia pake tas tangan doang gitu, soalnya biasanya bawanya segambreng, entah apa-apa di masukin tasnya wkwk

    BalasHapus