Lalu aku pulang dan sampai area rumah saat masjid bubaran maghrib. Aku menanti-nanti papasan sama dikadik sehingga mereka membonceng dan kami pulang bersama. Tapi tidak nemu.
Saya masuk rumah, tidak lama kemudian. Fatih pulang dari masjid dan masuk dari pintu rumah belakang. Dia melihat saya dari kejauhan, lalu berlari, meluk. Saya terharu, walau kalau ditanya, kangen Mbak Fitri yaaa dia suka tegas jawab, enggak. Hei dek, kangenmu itu loh keliatan dalam laku, dah gaperlu lagi aku kata-kata wkwkwk (boong deng, perempuan kan suka diakui :P)
Home is not a building. It is people.
Lalu ingatan saya terseret pada masa-masa saya tetiba keinget sama quotes ini, ingatnya pas itu lagi di depan tumpukan cucian piring, di wastafel dapur. Entah quote ini apa triggernya kala itu. Lupa juga euy dah dipos dimari atau belum. (omo ini paragraf napa ga penting bgt wkwk)
Kalau kamu mau menjadikan rumahmu kelak sebagai tempat pulang, jadikan dulu rumah saat ini sebagai tempat pulang.
Aku pernah bertemu orang, yang belakangan saat menyiapkan pernikahan, ia sadar, menikahnya karena pelarian, karena ada kenangan masa kecil dan kesan tidak involve d rumah. Padahal itu kenangan masa kecil banget, sesederhana usia lima merasa tidak dilibatkan dalam pemberitahuan agenda keluarga saat wiken. Begitu ngaruhnya dalam diri dia karena dia merasa, kenapa gue ga dilibatkan dalam acara weekend keluarga, tapi abang dikasih tahu? Walaupun kala itu Mbak Ane bilang, kalau anak kecil dikasih tau mau kemana, biasanya dia ga sabar, maunya berangkat hari itu juga. aku gak paham bagaimana itu bisa membangun mindset batasnya dengan keluarga, tapi itulah. Mungkin banyak hal lain yang aku tidak tahu.
Kadang kita meminta janji-janji masa depan, tanpa berupaya memperbaiki apa yang dimiliki saat ini.
Padahal mungkin ini modalnya. Bahan bakarnya. Amunisinya.
Keluarga adalah lingkaran terkecil, terdekat, terintim, termenerima apapun kondisi di dalamnya sebobrok apapun isinya. Kalau kata Lilo (dari Nikari ini quotenya buat BPH iCare, da aku mah belum nonton Lilo and Stich), Ohana means family, family means nobody gets left behind or forgotten.
Jalan tiga bulan ke belakang saya berusaha lebih untuk bisa terbuka, bisa menemani tidur adik, berusaha untuk ada, bisa melibatkan mereka dalam cerita anak yang saya buat, berusaha meningkatkan komunikasi dan menanyakan kabar. Aih, jangan ditanya sulitnya. Saya pernah menangis tanpa sadar sebab utamanya nyaris dalam...mungkin...dua pekan. Meski ga berturut-turut, tapi it's like kind a masa tercengeng saya seumur hidup. Baru kali itu bisa nangis depan umi abi kayak gitu. Dan selain segala cerita yang bisa saya ceritakan kala itu, bersamaan juga dengan kehadiran perasaan-perasaan gagal. Gagal jadi kakak yang baik, bahkan buat one in one person tiap adik. Gagal terlibat, gagal menjadi anak yang baik, gagal gak bikin repot. Tapi mereka bilang soal wajar, soal itu tugas umi dan abi, soal umi jadi lebih tahu. Ah, saya pun belajar. Banyak, semestinya.
Berhenti menyalahkan keadaan. Soal apa-apa yag sudah jadi qadha Allah. Responnya yang bisa diubah. Diri sendiri yang bisa diubah. Apa diri ini bsia mengontrol respon orang lain? Tanggapan orang lain? Sikap orang lain? Tentu saja tidak. Hanya diri sendiri yang bisa diri sendiri ubah perilakunya, sikapnya, strateginya, upaya-upayanya. Kalau ternyata tidak works, ganti strategi lain. Kalau bahasan kami setelah nonton searching, perbanyak komunikasi, hasilnya apa terserah nanti, ketimbang membiarkan dinding yang telah lama terbangun perlahan antara diri dan orang tua, atau bisa jadi dengan orang penting yang kita terlalu segan untuk memulai percakapan dengannya. Karena biarpun sulit, keluarga ingin tahu kabar satu sama lainnya. Ingin mendoakan satu sama lain. Ingin yang terlihat baik-baik saja memang karena baik-baik saja.
Bukan membangun barrier, dinding, yang perlahan terbangun sejak kecil dan dewasa sulit sekali dihancurkan. Pun ketika dinding besar ini baru disadari saat besar, well, lebih baik terlambat dari pada tidak sama sekali. Masih ada waktu memperbaiki (trims obrolannya!)
Dan oh tentu saja sayang, tidak gampang untuk itu semua. Paragrafku sebelumnya sudah menjelaskan. Dan aku masih perlu terus berjuang juga untuk itu. Hubungan itu dinamis, bukan?
Aku jadi ingat temanku yang mau belajar tahsin karena alasannya dulu ayahku nggak ngajarin aku ngaji. Dia juga bilang sih aku pengen perbaiki bacaan karena ngga lancar ngajinya, bisa jadi ayah yang baik buat anak-anak. Aku nggak mau anakku punya pengalaman yang sama, kecewa nggak diajarin ngaji sama ayahnya sendiri. Tau apa tanggapan temanku yang lain? Dia larang temenku belajar ngaji kalau cuma hanya karena itu. Hey boy, katanya, kalau lu cuma mau balas dendam sama masa lalu, nggak usah. Buat nyari apa itu semua? Pengakuan? Kalau kamu bisa lebih baik dari ayahmu?
Aku lupa detil percakapannya dan ingin aku tanya lagi. Tapi kala itu aku melihat benang yang tipis antara tulus ingin belajar dengan balas dendam akan masa lalu. Aku jujur tidak tahu batasnya. Temanku bilang nggak ada ujung baiknya dari alasan-alasan balas dendam. Ah, aku sungguh masih sulit melihat perbedaannya. Di titik mana alasannya bukan balas dendam, tapi semata ingin kehidupan yang lebih baik. Aku ingin bertanya lagi tapi belum jadi. Tapi yang kutebak, mungkin kalau sudah mencapai titik pembalasan balas dendam, setelah itu lalu sudah, tidak berkembang jadi lebih baik lagi. Atau barangkali kalau gagal jadi menyalahkan keadaan atau kondisi yang dulunya sama. Entah. Tapi memang temanku juga menghighlight soal pengakuan. Dengan tegas dia tanya, Terus kalo lo lebih baik dari bokaplo dulu kenapa? Aku masih takjub ada di antara percakapan mereka.
Jawaban mendasar selalu penting dipertanyakan, dan dijawab.
Kembali ke quotes ini : Kalau kamu mau menjadikan rumahmu kelak sebagai tempat pulang, jadikan dulu rumah saat ini sebagai tempat pulang.
Kadang kita meminta janji-janji masa depan, tanpa berupaya memperbaiki apa yang dimiliki saat ini.
Padahal mungkin ini modalnya. Bahan bakarnya. Amunisinya.
Kita mungkin bisa menumbuhkan cinta di tempat lain. Tapi tanpa cinta dari mana kita berasal, barangkali energinya tidak akan cukup kuat untuk menjaga cinta yang kita bangun. Hari ini, ego masa remaja menumbuhkan diri menjadi sosok yang fokus pada diri sendiri. Karena yang ingin dibangun adalah masa depan, lupa mengisi energi orang-orang di belakang. Support system terbaik, yang saat ini lebih berhak atas diri kita ketimbang masa depan yang belum tahu di mana Allah tambatkan. Saat ini.
aih, ini harusnya hasil refleksi setelah minggu depan
sambung refleksi nonton searching yang belum jadi kuceritain
tapi pelajaran juga sih buat diri ini
semoga bisa jadi support system yang baik untuk keluarga
kini, dan kelak
dah h-7, bismillah
ni kenapa mau ngepost quote doang bumbunya jadi banyak yak
kalau ada yang baik semoga bisa diambil
kalau ada yang buruk, kasih tau saya ya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar