Minggu, 11 November 2012

Becak itu Ia Kayuhnya Pelan-Pelan

Becak itu ia kayuhnya pelan-pelan
sepelan hatinya, menjalani kehidupan
sepelan hatinya, bersabar atas segala keputusan Tuhan
atas jalan hidupnya
yang seolah-olah itu-itu saja
begitu-begitu saja
bergantung pada kayuhan sepeda
setiap pagi, dilepas istri
menyalami takzim dan melepas dengan doa

usianya berbilang enam puluh tiga
guratan muka yang makin menua
belum berat penumpang di depannya
aih, pagi ini dua orang renta
hendak pesiar atau sekedar ke pasar?
entahlah, bukan urusannya

sejak dulu, tiga puluh tahun lalu tampaknya
becak ini telah setia
menemani setiap hari
kala ramai maupun sepi
di jalan-jalan kota
dulu, kawannya banyaaak sekali
tak terhitung jumlahnya
entah apa bisa dikatakan mengalahkan kendaraan bermotor
yang kini ramai dipakai orang
kawan sesama penarik becak juga banyak
sungguh tak terhitung rasa-rasanya
tapi kini, ia terlindas motor pribadi
kota ini kota pelajar, kawan, mereka ingin pesiar sendiri sekali-sekali
tanpa bergantung sana-sini
belum lagi usia senja para penarik becak
hei! rasa-rasanya, penarik becak sejak dulu ya dia-dia saja
tak bertambah angkatan barunya
maka jangan salahkan muka yang menua
gurat keriput yang memilukan
gigi ompong salam senyum matur nuwunnya
kesampatan mungkin berbeda dulu dan kini
biarpun tak ada kerjaan, apa mau berpeluh mengayuh?
biarkan diri topang beban yang kadang terasa tak tahu diri
tapi, biar hanya sisa, hanya ini yang bisa kami lakukan
menyambung kehidupan


Becak itu ia kayuhnya pelan-pelan
sepelan hatinya, menjalani kehidupan
sepelan hatinya, bersabar atas segala keputusan Tuhan
sepelan itu, sebatas kekuatan perlahan, yang sungguh terdegradasi dari kekuatannya dulu
oleh waktu

*di Jogja, mungkin becak udah nggak sebanyak dulu zaman saya kecil. Penariknya sungguh telah renta. Pilu, dan memprihatinkan. Ironis kadang. Kalau bisa, rasa-rasanya kini putra-putrinya yang gantian menopang hidup ayah-bundanya. Biarlah mereka habiskan masa tuanya di rumah. Melakukan hal lain yang tak seberat mengayuh becak-becak itu. Mengurus tanaman depan rumah, saling bercengkrama hangat, sesekali pelesir ke suatu tempat bersama, merajut, membaca koran ditemani teh hangat, bermain riang bersama cucu. Biarlah, biarlah. Tapi kadang, hidup tak seideal yang selalu diinginkan. Ada saja alasan untuk tidak. Anak yang nasibnya tak lebih baik (lebih arah lagi, sudah besar tetap saja masih bergantung pada ayah bunda), atau bernasib lebih baik tapi malah lupa daratan, lupa dulu siapa yang membesarkan. Atau salah-salah, tua renta itu malah tak punya keturunan, tak ada keluarga, bahkan negara pun lupa--ada orang yang seharusnya ia pelihara (seperti kata-kata dalam pasal 34 itu).

-catatan Minggu pagi, pada jalanan yang sepi, ketika melihat seorang tua mengayuh becaknya, dengan pelan-pelan, dengan perlahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar