Sabtu, 05 Juli 2014

Memprioritaskan Allah

Ini tulisan untuk hari keenam Ramadhan. Kemarin, isi tulisan ini sama sekali bukan salah satu di antara topik yang sempat saya pikirkan. Tapi pada akhirnya saya menyerah pada kondisi fisik dan hati yang sudah sangat lelah. Saya tidur sepulang tarawih. Menyetel beker agar terbangun sekitar 20 menit kemudian. Dan galau akut menjelang memejamkan mata, menangis pula. Kemudian tertidur. (Merasa) Lelah mungkin membuat tidur saya jadi berkepanjangan. Tapi apa daya, bahkan kalau nggak dibangunin salah seorang Mbak kos, saya nggak dapat sahur juga pagi ini.

Saya lelah. Lelah fisik, pikiran, hati. Meski saya pun menertawakan diri sendiri atas pernyataan lelah ini. Lelah apa yang layak saya keluhkan kalau bahkan ini tidak ada apa-apanya dibanding apa-apa yang dulu dilakukan rasul dan para sahabatnya selama Ramadhan. Bahkan keharusan berperang saat Ramadhan. Dan satu hal, semua itu tidak akan bisa dilalui tanpa rasa cinta yang besar, ikhlas yang tinggi, serta keridhaan atas segala ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh Allah serta janji surga sebagai jaminan abadi atas seluruh pengorbanan.

Kemudian saya bertanya pada diri sendiri, prioritas macam apa yang sudah kamu berikan pada Rabbmu? Saya sadar bahwa dua hari belakangan bahkan tilawah saya tertinggal jauh dari targetan. Shalat yang cenderung tidak khusyu’, bahkan hal kecil seperti senyum (dari hati) sulit sekali dilakukan. Saya dengan egoisnya merasa bahwa saya sedang berada pada kondisi yang tidak saya harapkan. Apa yang menyenangkan daripada berada pada kondisi yang ingin segera saya akhiri (karena merasa pada akhirnya, niat kegiatan itu hanya berorientasi pada dunia), deadline yang mendadak dan harus dipenuhi seolah-olah segalanya akan selesai semudah itu, serta rasa rindu yang meletup sampai pada ujung-ujung pelupuk mata?

Maha suci Allah yang begitu mudah membolak-balikkan hati dan perasaan. Kemarin misalnya, saya merasa kesal, tetiba bahagia, semangat, pesimis, takut, dalam satu hari yang sama. Perpindahan ruang dan orang-orang yang saya temui memudahkan perpindahan perasaan itu terjadi. Saya sadar, pada semua titik, saya harus mengembalikan segalanya pada Allah. Maka kemudian pada kondisi yang ingin segera saya akhiri tadi, saya mencoba untuk mengeksplor alasan apa yang masih dapat membuat saya bersyukur pada kondisi ini. Nihil, belum ketemu. Berminggu lalu saya sudah melakukannya untuk keadaan yang sama pula, kemudian bisa terobati. Hari ini entah kenapa sulit sekali menemukannya. Apa barangkali hati saya yang terlalu keras, atau makin sulit saja melompati tembok-tembok keegoisan itu. Saya sadar, prioritas dan hal yang mendominasi kami masing-masing bukan acara ini, dan mungkin karena niat utamanya masih dunia, sulit sekali menemukan titik yang membuat saya percaya bahwa pengeluaran yang sudah terjadi itu memang layak dipertanggungjawabkan.

Tapi kalau demikian, kalau saya ingin berbaikan dengan takdir untuk mencintai proses ini, maka saya harus segera menemukannya. Setidaknya dengan demikian saya tidak rugi dengan keputusan pulang yang masih (ah Arum, kamu bikin aku sadar bahwa ini masih 2 minggu lagi T^T)…berhari-hari lagi.

Selepas acara itu saya beranjak ke mushala, ada rapat selepas ashar. Saya sudah di sana, tapi pikiran saya tidak. Saya merindukan tempat bersandar tapi entah mengapa saya tidak menemukannya. Shalat tidak membuat perasaan kunjung tenang. Mungkin ada yang salah pada shalat saya. Dan saya tidak juga menemukan bahu yang bisa saya sandari di dunia. Perasaan campur aduk tak kunjung membaik. Bahkan pada shalat pun belum juga memberi ketenangan.

Mungkin saya belum memberi ruang yang cukup untuk Allah sebagai prioritas. PR saya besar untuk kemudian mendekat lagi padaNya dan menemukan ketenangan seperti yang dijanjikannya. Menemukan keikhlasan agar saya kian maksimal dalam ibadah dan tak perlu mengharap apa-apa selain ridhaNya. Saya sesekali heran, begitu banyak orang di luar sana yang juga belum memberi ruang lebih untuk tuhannya, tapi mengapa saya melihat mereka sepertinya baik-baik saja. Apa karena saya pernah berada di lingkungan asrama di mana semua berjalan secara sistemik dan merasa hal seperti itulah yang ideal. Saya tahu sistemik berarti buatan dan realita pada kehidupan yang sesungguhnya adalah justru diri sendiri lah yang akan benar-benar punya kuasa penuh atas diri ini.

Dulu, saya setidaknya pernah mengalami di mana rapat akan benar-benar selesai maksimal setengah enam, untuk memberi ruang mempersiapkan maghrib (jika maghrib benar-benar jam enam—standar waktu Jabodetabek). Dan menjalani maghrib akan satu paket dengan isya, yang ditengah-tengahnya dapat diisi dengan makan, istirahat, ataupun membaca Quran. Jika pun kegiatan dilanjutkan lagi, maka akan dilanjutkan selepas Isya. Semua proses berjalan beriringan dan seimbang. Tanpa menerlantarkan waktu shalat dan memberi ruang untuk tilawah ataupun diskusi ringan lain. Tapi ini sistem, dan terikat atas instansi. Di luar, diri kitalah sang pemegang kendali. Banyak pilihan dan saya harus pintar-pintar bagi waktu, juga untuk memprioritaskanNya. Kalau baca postingan Mbak Yasmin yang ini, maka benar, rasanya ingin menangis. Terlalu banyak hal dunia yang masih berebut perhatian dan saya masih terlalu sibuk meladeninya. Jika saya masih belum memberi prioritas pada Allah, mau sampai kapan seperti ini? Apa siap kalau nanti dipanggil menghadapnya. Apa sudah siap?
***
 Saya ingat cerita seorang teman yang pernah diceritakannya secara langsung pada saya. Suatu hari ia bercerita pada murabbinya tentang kekecewaannya pada suatu lembaga yang ia ada di dalamnya. Jadi kadep pula. Setelah menasihati tentang meluruskan niat, MRnya bilang gini,
“Kamu tilawah aja dek, dua juz. Nanti juga hilang sendiri.”
Kemudian saya bertanya, lalu kelanjutannya gimana? Dia bilang waktu itu dia kemudian juga tilawah. Meski nggak sampai dua juz, tapi saat itu ia melebihkan bacaannya dari biasanya. “Dan habis itu….bener Fit, hilang. Rasanya jadi tenang.” Saat itu saya tersenyum, kemudian meminta izin suatu saat mengutip percakapan ini di blog saya. Dia mengizinkan.

Kalau shalat masih belum memberi ketenangan, mungkin karena di dalamnyalah kita bercakap-cakap langsung dengan Allah dan belum melakukan persiapan sebelum memulainya. Tapi bercakap-cakap juga butuh intro dan mungkin kalau dianalogikan, semacam latihan agar ‘percakapannya’ bisa lancar dan mengalir secara enak penuh ketenangan. Shalat agar khusyu salah satunya adalah dengan mendahuluinya dengan tilawah Quran, atau dzikir, atau memurajaah hafalan. Mungkin jika diintro demikian, shalatnya akan lebih khusyu, coba saja.

Wallahu a’lam bish shawwab, saya juga masih harus banyak belajar.

yang sedang menerapi diri dengan menulis.

Oh iya kalau mau mungkin juga bisa baca tulisan ini

gambar dari sini 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar