Ini tulisan untuk hari keenam Ramadhan. Kemarin, isi tulisan
ini sama sekali bukan salah satu di antara topik yang sempat saya pikirkan.
Tapi pada akhirnya saya menyerah pada kondisi fisik dan hati yang sudah sangat
lelah. Saya tidur sepulang tarawih. Menyetel beker agar terbangun sekitar 20
menit kemudian. Dan galau akut menjelang memejamkan mata, menangis pula.
Kemudian tertidur. (Merasa) Lelah mungkin membuat tidur saya jadi
berkepanjangan. Tapi apa daya, bahkan kalau nggak dibangunin salah seorang Mbak
kos, saya nggak dapat sahur juga pagi ini.
Saya lelah. Lelah fisik, pikiran, hati. Meski saya pun
menertawakan diri sendiri atas pernyataan lelah ini. Lelah apa yang layak saya
keluhkan kalau bahkan ini tidak ada apa-apanya dibanding apa-apa yang dulu
dilakukan rasul dan para sahabatnya selama Ramadhan. Bahkan keharusan berperang
saat Ramadhan. Dan satu hal, semua itu tidak akan bisa dilalui tanpa rasa cinta
yang besar, ikhlas yang tinggi, serta keridhaan atas segala ketentuan-ketentuan
yang ditetapkan oleh Allah serta janji surga sebagai jaminan abadi atas seluruh
pengorbanan.
Kemudian saya bertanya pada diri sendiri, prioritas macam apa yang sudah kamu berikan
pada Rabbmu? Saya sadar bahwa dua hari belakangan bahkan tilawah saya
tertinggal jauh dari targetan. Shalat yang cenderung tidak khusyu’, bahkan hal
kecil seperti senyum (dari hati) sulit sekali dilakukan. Saya dengan egoisnya
merasa bahwa saya sedang berada pada kondisi yang tidak saya harapkan. Apa yang
menyenangkan daripada berada pada kondisi yang ingin segera saya akhiri (karena
merasa pada akhirnya, niat kegiatan itu hanya berorientasi pada dunia), deadline
yang mendadak dan harus dipenuhi seolah-olah segalanya akan selesai semudah itu,
serta rasa rindu yang meletup sampai pada ujung-ujung pelupuk mata?
Maha suci Allah yang begitu mudah membolak-balikkan hati dan
perasaan. Kemarin misalnya, saya merasa kesal, tetiba bahagia, semangat,
pesimis, takut, dalam satu hari yang sama. Perpindahan ruang dan orang-orang
yang saya temui memudahkan perpindahan perasaan itu terjadi. Saya sadar, pada semua
titik, saya harus mengembalikan segalanya pada Allah. Maka kemudian pada kondisi
yang ingin segera saya akhiri tadi, saya mencoba untuk mengeksplor alasan apa
yang masih dapat membuat saya bersyukur pada kondisi ini. Nihil, belum ketemu. Berminggu
lalu saya sudah melakukannya untuk keadaan yang sama pula, kemudian bisa
terobati. Hari ini entah kenapa sulit sekali menemukannya. Apa barangkali hati
saya yang terlalu keras, atau makin sulit saja melompati tembok-tembok
keegoisan itu. Saya sadar, prioritas dan hal yang mendominasi kami
masing-masing bukan acara ini, dan mungkin karena niat utamanya masih dunia,
sulit sekali menemukan titik yang membuat saya percaya bahwa pengeluaran yang
sudah terjadi itu memang layak dipertanggungjawabkan.
Tapi kalau demikian, kalau saya ingin berbaikan dengan
takdir untuk mencintai proses ini, maka saya harus segera menemukannya. Setidaknya
dengan demikian saya tidak rugi dengan keputusan pulang yang masih (ah Arum,
kamu bikin aku sadar bahwa ini masih 2 minggu lagi T^T)…berhari-hari lagi.
Selepas acara itu saya beranjak ke mushala, ada rapat
selepas ashar. Saya sudah di sana, tapi pikiran saya tidak. Saya merindukan
tempat bersandar tapi entah mengapa saya tidak menemukannya. Shalat tidak
membuat perasaan kunjung tenang. Mungkin ada yang salah pada shalat saya. Dan saya
tidak juga menemukan bahu yang bisa saya sandari di dunia. Perasaan campur aduk
tak kunjung membaik. Bahkan pada shalat pun belum juga memberi ketenangan.
Mungkin saya belum memberi ruang yang cukup untuk Allah
sebagai prioritas. PR saya besar untuk kemudian mendekat lagi padaNya dan
menemukan ketenangan seperti yang dijanjikannya. Menemukan keikhlasan agar saya
kian maksimal dalam ibadah dan tak perlu mengharap apa-apa selain ridhaNya. Saya
sesekali heran, begitu banyak orang di luar sana yang juga belum memberi ruang
lebih untuk tuhannya, tapi mengapa saya melihat mereka sepertinya baik-baik
saja. Apa karena saya pernah berada di lingkungan asrama di mana semua berjalan
secara sistemik dan merasa hal seperti itulah yang ideal. Saya tahu sistemik
berarti buatan dan realita pada kehidupan yang sesungguhnya adalah justru diri
sendiri lah yang akan benar-benar punya kuasa penuh atas diri ini.
Dulu, saya setidaknya pernah mengalami di mana rapat akan
benar-benar selesai maksimal setengah enam, untuk memberi ruang mempersiapkan
maghrib (jika maghrib benar-benar jam enam—standar waktu Jabodetabek). Dan menjalani
maghrib akan satu paket dengan isya, yang ditengah-tengahnya dapat diisi dengan
makan, istirahat, ataupun membaca Quran. Jika pun kegiatan dilanjutkan lagi,
maka akan dilanjutkan selepas Isya. Semua proses berjalan beriringan dan
seimbang. Tanpa menerlantarkan waktu shalat dan memberi ruang untuk tilawah
ataupun diskusi ringan lain. Tapi ini sistem, dan terikat atas instansi. Di luar,
diri kitalah sang pemegang kendali. Banyak pilihan dan saya harus pintar-pintar
bagi waktu, juga untuk memprioritaskanNya. Kalau baca postingan Mbak Yasmin
yang ini, maka benar, rasanya ingin menangis. Terlalu banyak hal dunia yang masih
berebut perhatian dan saya masih terlalu sibuk meladeninya. Jika saya masih belum
memberi prioritas pada Allah, mau sampai kapan seperti ini? Apa siap kalau
nanti dipanggil menghadapnya. Apa sudah siap?
***
Saya ingat cerita
seorang teman yang pernah diceritakannya secara langsung pada saya. Suatu hari
ia bercerita pada murabbinya tentang kekecewaannya pada suatu lembaga yang ia
ada di dalamnya. Jadi kadep pula. Setelah menasihati tentang meluruskan niat,
MRnya bilang gini,
“Kamu tilawah aja dek, dua juz. Nanti juga hilang sendiri.”
Kemudian saya bertanya, lalu kelanjutannya gimana? Dia
bilang waktu itu dia kemudian juga tilawah. Meski nggak sampai dua juz, tapi saat
itu ia melebihkan bacaannya dari biasanya. “Dan habis itu….bener Fit, hilang.
Rasanya jadi tenang.” Saat itu saya tersenyum, kemudian meminta izin suatu saat
mengutip percakapan ini di blog saya. Dia mengizinkan.
Kalau shalat masih belum memberi ketenangan, mungkin karena
di dalamnyalah kita bercakap-cakap langsung dengan Allah dan belum melakukan
persiapan sebelum memulainya. Tapi bercakap-cakap juga butuh intro dan mungkin
kalau dianalogikan, semacam latihan agar ‘percakapannya’ bisa lancar dan
mengalir secara enak penuh ketenangan. Shalat agar khusyu salah satunya adalah
dengan mendahuluinya dengan tilawah Quran, atau dzikir, atau memurajaah
hafalan. Mungkin jika diintro demikian, shalatnya akan lebih khusyu, coba saja.
Wallahu a’lam bish shawwab, saya juga masih harus banyak
belajar.
yang sedang menerapi diri dengan menulis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar