Suatu ketika, pernah terbersit di pikiran saya, untuk orang-orang
yang punya hafalan banyak, apabila ia jadi imam di tengah-tengah orang yang
hafalannya di bawahnya (atau mungkin jauh di bawahnya), bagaimana sebaiknya
ketika ia menjadi imam? Apakah tidak apa ia bacakan saja hafalan-hafalannya
yang sudah jauh dari yang lainnya itu (apalagi memang jika biasanya shalat ia
membaca demikian), atau lebih baik ia baca saja hafalan yang dihafal juga oleh
orang kebanyakan, serupa surat-surat pendek juz 30. Bukan, orangnya bukan saya.
Saya hanya pengamat keadaan. Dan hari ini hal yang mirip terjadi lagi, sehingga
pikiran-pikiran ini muncul kembali di kepala.
Saya juga pernah terpikir, orang-orang yang biasa melakukan
shalat sunnah ba’diyah atau qabliyah, saat berada satu jamaah shalat dengan orang-orang
yang jarang melakukannya, bagaimana sebaiknya. Apakah ia melakukan saja
kebiasaannya itu, atau tidak usah. Ketakutan ini semata-mata karena
kekhawatiran tidak murninya niat ketika ia melakukannya. NIat, menurut saya,
adalah hal krusial yang begitu rawan. Sebegitu krusialnya sampai sebuah hadits
mengatakan bahwa segala perbuatan tergantung pada niatnya. Rawan, karena
kemurniannya begitu mudah tergoyahkan oleh hal-hal sederhana saja, serupa
perhatian orang-orang disekitar kita.
Membaca surat seperti surat-surat di luar juz 30 (karena juz
30 mungkin sudah terlalu mainstream dihafal mayoritas orang), bisa jadi
menimbulkan kekaguman dari orang-orang sekitarnya, karena hal ini jarang
dilakukan. Terutama di lingkungan-lingkungan umum, bukan di
lingkungan-lingkungan pendidikan yang memang siswa siswinya banyak yang
menghafalkan surat-surat serupa. Kekaguman inilah yang bisa jadi membuat
seseorang goyah niatnya. Salah-salah secuil perasaan di hati ingin dirinya diperhatikan
dan tanpa sadar muncul secuil rasa sombong. Urusan niat ini, takutnya, tidak
terasa. Kadang seseorang rasanya senang kan ketika punya kelebihan dibanding yang
lain? Dan, naudzubillahimindzalik, kita tidak pernah tahu kapan rasa sombong
itu muncul pelan-pelan dalam niat kita, menyelinap tipis dalam perbuatan kita.
Kita tidak pernah tahu, atau malah terlalu sombong untuk mengakuinya juga.
Pun halnya ketika berdiri kembali selepas shalat wajib untuk
menunaikan shalat sunnah. Bisa jadi, ada perasaan tidak nyaman bagi seseorang ketika
ia berdiri sementara lainnya masih duduk. Apalagi jika shalat jamaah dengan
lawan jenis di tempat tanpa hijab/sekat pembatas antara shaf putra dan putri. Takut
sombong, tapi tidak mengerjakan rasanya bagaimana. Apalagi jika selama ini ia sudah
bersusah payah mengerjakan tanpa putus, misalnya. Tapi disisi lain, ia pun
takut dengan kemungkinan-kemungkinan berbeloknya niat itu. Saat ia berdiri, ia
berpikir, apakah orang akan melihatku kemudian kagum? Atau bilang ‘alim banget
sih dia’? Atau jadi terkesan rajin? Awalnya bisa jadi ia ragu, tapi setelah
menimbang kebiasaannya shalat sunnah, ia mungkin akan mengerjakan. Meski takut
juga salah-salah tanpa sadar secuil perasaan hatinya memuji diri sendiri.
Saya pernah memikirkan hal tersebut dan kemudian
mencari-cari apa alasan yang paling tepat untuk menjadi jawaban. Di sisi lain
saya membenarkan bahwa hal tersebut bisa jadi pemicu sombong, tapi di sisi lain
hal ini dapat memacu semangat orang-orang di lingkarannya untuk memacu diri menjadi
lebih baik, dalam hal hafalan surat dan shalat saja misalnya. Sedemikian rumit
masalah niat ini sampai saya teringat blog Gian
yang memposting ulang
kalimat-kalimat dari akun @bersamadakwah, begini isinya :
"Jangan meninggalkan amal karena takut tidak ikhlas. Beramal sambil meluruskan niat lebih baik daripada tidak beramal sama sekali.
Jangan meninggalkan dzikir karena ketidakhadiran hati. Kelalaianmu dari zikir lebih buruk daripada kelalaianmu saat berdzikir.
Jangan meninggalkan tilawah karena tak tahu maknanya. Ketidaktahuan makna dalam tilawah masih lebih baik daripada ketidakmauan membaca firmanNya.
Jangan meninggalkan dakwah karena kecewa. Kesabaranmu bersama orang-orang shalih lebih baik daripada kesenanganmu bersama orang-orang yang tidak shalih.
Jangan meninggalkan amanah karena berat. Beratnya amanah yang kau emban sebanding dengan beratnya timbangan amal yang akan kau dapatkan.
Jangan meninggalkan medan juang karena terluka. Kematian di medan juang lebih baik daripada hidup dalam keterlenaan.
Jangan meninggalkan kesantunanmu karena lingkungan kasar. Santunmu saat dikasari hanya akan menambah kemuliaan dan mengundang simpati.
Jangan meninggalkan kesetiaan karena dikhianati. Setia kepada janji selalu lebih baik daripada mengkhianati orang yang mengkhianati.
Jangan meninggalkan cinta karena cemburu. Kecemburuan dalam cinta jauh lebih indah daripada kegersangan jiwa tanpa cinta."
Mungkin yang paling relevan adalah poin pertama, Jangan
meninggalkan amal karena takut tidak ikhlas. Beramal sambil meluruskan niat
lebih baik daripada tidak beramal sama sekali. Meski di sini saya posting
semuanya karena isinya menarik dan membuat seseorang (kalo bahasa sekarang mah)
stand on their side. Lakukan apa yang ingin kamu lakukan, selama itu baik, dan lakukanlah
sambil meluruskan niat.
Jangan meninggalkan amal karena takut tidak ikhlas. Beramal
sambil meluruskan niat lebih baik daripada tidak beramal sama sekali. Mungkin kita
perlu berdoa kuat-kuat dalam hati, agar diri ini senantiasa ikhlas melakukan
segala sesuatu. Doanya tentu bisa kata-kata ciptaan sendiri, karena tidak ada
batasan bahasa untuk meminta apapun kan? Tapi saya tetiba jadi teringat Surat
Al Isra ayat 80. Ayatnya demikian :
“Dan katakanlah (Muhammad), ya Tuhanku, masukkan aku ke
tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar
dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong(ku).”
Nah yang menarik, salah satu dari sedikit tafsirann ayat
tersebut di Quran saya, tertulis di sana begini,”Memohon kepada Allah agar kita
memasuki suatu ibadah dan selesai daripadanya dengan niat yang baik dan penuh
keikhlasan serta bersih dari riya dan dari sesuatu yang merusakkan pahala…”
Semoga perbuatan kita semua selalu dilandasi oleh istilah
ini : ikhlas. Dulu di DM saya pernah baca IKHLAS itu : Ibadah Karena Hati Lebih
Allah Sukai, pas banget ya kayak kepanjangannya ikhlas gitu. Pada akhirnya,
saya menarik kesimpulan. Kalau memang biasa membaca surat yang panjang, atau biasa
shalat sunnah, atau kebiasaan baik lainnya, lakukan saja. Selama kebiasaan baik
itu juga hal yang disenangi Allah. Tentunya sambil berusaha penuh untuk
senantiasa meluruskan niat, semua orang berproses kok. Dan kita pun bisa
belajar untuk meluruskan niat salah satunya dengan senantiasa bedoa memohon agar
selalu diluruskan niatnya, ikhlas menjalani segala perbuatan kita.
Terakhir, buat closing statement, saya suka sekali kata-kata
Bu Evi, wali asrama Gycentium putri (angakatan 15 MAN Insan Cendekia Serpong),
kurang lebih begini,
“Setiap baru bangun tidur, usahakan selalu ingat untuk meluruskan niat, berdoa kepada Allah agar apa-apa yang kita lakukan seharian ini selalu diniatkan untuk mendapatkan ridha Allah. Karena kalau sudah beraktivitas itu mungkin sulit lagi ingat tentang meluruskan niat.”
Yuk sama-sama belajar meluruskan niat :), saya juga masiiiiih
belajar :”)
gambar dari sini
Sering jadi pikiran juga, dan ini hampir selalu jadi bahan di kajian/artikel tentang riya'
BalasHapusCopas http://muslimah.or.id/aqidah/ketika-kita-ingin-dilihat.html
Al-Imam Al-Fudhail bin 'Iyadh rahimahullah berkata, "Meninggalkan amalan karena manusia adalah riya' dan beramal karena manusia adalah syirik. Sedang ikhlas, jika Allah Ta'ala menyelamatkanmu dari keduanya."
(Riwayat Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman, no. 6879)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah menjelaskan, "Makna perkataan beliau, barangsiapa yang telah bertekad melakukan suatu amalan, kemudian ia meninggalkan amalan tersebut karena khawatir dilihat orang, maka ia telah melakukan riya", sebab ia meninggalkan amalan karena manusia. Adapun jika ia meninggalkan shalat sunnah di keramaian untuk kemudian mengerjakannya saat tidak dilihat orang, maka yang seperti ini disunnahkan. Kecuali shalat wajib, atau zakat wajib, atau ia seorang ulama yang menjadi panutan, maka lebih afdhal dikerjakan secara terang-terangan." (Syarhul Arba'in, Al-Imam An-Nawawi, hal. 11)
makasih informasinya li :) (y)
BalasHapus