Cerita hari keduabelas Ramadhan 1435 H ini...(lanjutan)
Tahap terakhir adalah Tanya jawab. Ini saya juga
suka banget karena ada poin-poin menarik yang bisa diambil lagi.
Pertama, Bagaimana sebaiknya menyeimbangkan antara keluarga dengan
kerja?
Jawab :
Pembicara 1 (secara general):
Fitrahnya seorang wanita letika sudah berkeluarga adalah
sebagai istri dan ibu. Ia baru wajib bekerja jika ada tuntutan syariat dan atau
dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti apa contohnya? Misal di sebuah perkampungan
ada seorang bidan. Jika ada penduduk yang mau melahirkan, maka ia wajib membantunya,
karena ilmu yang ia miliki itu tidak ada yang dapat menggantikannya.
Tapi yang harus menjadi pertimbangan adalah : apa
kebermanfaatan yang didapat oleh kita dan masyarakat melalui pekerjaan ini. Kemudian
apa pekerjaan ini membuat kita mendapatkan pahala? Kalau iya dapat pahala, maka
saya lakukan. Kalau tidak, ya tidak saya lakukan. Jangan sampai tujuan bekerja
itu adalah materi.
Pembicara 2 (menjawab lebih ke pengalaman):
Yang paling penting kita itu harus membuat komitmen-komitmen
dulu di awal : keluarga seperti apa yang mau kita buat. Ada komunikasi di awal.
Saya karena berasal dari keluarga yang kurang mampu, saya harus bekerja untuk
biaya kuliah anak-anak saya. Dulu ketika saya akan menikah, saya Tanya dengan
calon suami, “Mau perempuan yang tipe Makkah, atau tipe Madinah?” *setelah itu
dijelasin kalau tipe Makkah itu tipe yang selalu ada di rumah* Suami saya bilang
: Jadilah dirimu sendiri. Kemudian saya bilang lagi, saya tidak bisa menjadi
tipe Makkah, karena saya masih harus membiayai adik-adik saya kuliah. Dan suami
pun mengerti.
Kemudian kesini-sininya, malah suami saya yang terus
mendukung saya. Ketika saya sudah tidak berniat melanjutkan kuliah sementara
ada peluang S3, suami saya yang malah mendukung padahal suami saya pun hanya S1
kuliahnya. Katanya,”Ambil aja S3nya. Mumpung anak-anak sudah besar dan bisa
ditinggal.” Akhirnya kita saling sepakat dan saya ambil kesempatan S3 itu. Yang
penting ridha suami. Saya jadi dosen pun didukung suami, katanya, “Masih
sedikit orang-orang yang punya pemahaman Islam yang baik di Filsagat. Kalau
keluar nanti malah tergantikan oleh orang lain.” Akhirnya saya pun mantap.
Kedua, pertanyaan berbasis kasus. Mungkin penanya punya
kenalan orang yang ditanyakan ini.
"Ada dua orang mau menikah. Namun si
perempuan ada kontrak kerja 13 tahun karena ada ikatan beasiswa yang mengikatnya.
Nah masalahnya, kalau pernikahan jadi dilakukan, si laki-laki ini akan
melanjutkan kuliah ke Inggris. Sementara kalau si perempuan ikut mereka harus mengganti
seluruh perolehan beasiswa yang sudah didapat oleh si perempuan. Bagaimana sebaiknya?"
Jawab :
“Mungkin jawaban saya agak klise, tapi kita haru
kembali lagi ke tujuan. Tujuan pernikahan itu apa. Pernikahan sebagai sarana
ibadah. Bukan tujuan hidup kita itu menikah lalu semuanya harus ngikutin. Tapi tujuan
kita tetap harus Allah, dan salah satu medianya adalah dengan menikah. Kalau pernikahan
itu membuat kita jauh dari Allah, maka jangan dilakukan. Sahabat nabi, Abu
Hurairah, Ibnu Sina, mereka tidak menikah. Tapi jika iya pernikahan itu
dilakukan akan membuat kita lebih baik (dan dekat dengan Allah), maka lakukan."
Jawaban ini sebenarnya nggak menjawab secara langsung, tapi
saya suka jawabannya :’).
baiklah, semoga bermanfaat ^^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar