Kamis, 10 Juli 2014

Sedikit Belajar tentang Menjadi Wanita pada Fitrahnya (Bagian 3 : Tanya Jawab)

Cerita hari keduabelas Ramadhan 1435 H ini...(lanjutan)

Tahap terakhir adalah Tanya jawab. Ini saya juga suka banget karena ada poin-poin menarik yang bisa diambil lagi.

Pertama, Bagaimana sebaiknya menyeimbangkan antara keluarga dengan kerja?

Jawab :
Pembicara 1 (secara general):
Fitrahnya seorang wanita letika sudah berkeluarga adalah sebagai istri dan ibu. Ia baru wajib bekerja jika ada tuntutan syariat dan atau dibutuhkan oleh masyarakat. Seperti apa contohnya? Misal di sebuah perkampungan ada seorang bidan. Jika ada penduduk yang mau melahirkan, maka ia wajib membantunya, karena ilmu yang ia miliki itu tidak ada yang dapat menggantikannya.

Tapi yang harus menjadi pertimbangan adalah : apa kebermanfaatan yang didapat oleh kita dan masyarakat melalui pekerjaan ini. Kemudian apa pekerjaan ini membuat kita mendapatkan pahala? Kalau iya dapat pahala, maka saya lakukan. Kalau tidak, ya tidak saya lakukan. Jangan sampai tujuan bekerja itu adalah materi.

Pembicara 2 (menjawab lebih ke pengalaman):
Yang paling penting kita itu harus membuat komitmen-komitmen dulu di awal : keluarga seperti apa yang mau kita buat. Ada komunikasi di awal. Saya karena berasal dari keluarga yang kurang mampu, saya harus bekerja untuk biaya kuliah anak-anak saya. Dulu ketika saya akan menikah, saya Tanya dengan calon suami, “Mau perempuan yang tipe Makkah, atau tipe Madinah?” *setelah itu dijelasin kalau tipe Makkah itu tipe yang selalu ada di rumah* Suami saya bilang : Jadilah dirimu sendiri. Kemudian saya bilang lagi, saya tidak bisa menjadi tipe Makkah, karena saya masih harus membiayai adik-adik saya kuliah. Dan suami pun mengerti.

Kemudian kesini-sininya, malah suami saya yang terus mendukung saya. Ketika saya sudah tidak berniat melanjutkan kuliah sementara ada peluang S3, suami saya yang malah mendukung padahal suami saya pun hanya S1 kuliahnya. Katanya,”Ambil aja S3nya. Mumpung anak-anak sudah besar dan bisa ditinggal.” Akhirnya kita saling sepakat dan saya ambil kesempatan S3 itu. Yang penting ridha suami. Saya jadi dosen pun didukung suami, katanya, “Masih sedikit orang-orang yang punya pemahaman Islam yang baik di Filsagat. Kalau keluar nanti malah tergantikan oleh orang lain.” Akhirnya saya pun mantap.

Kedua, pertanyaan berbasis kasus. Mungkin penanya punya kenalan orang yang ditanyakan ini. 
"Ada dua orang mau menikah. Namun si perempuan ada kontrak kerja 13 tahun karena ada ikatan beasiswa yang mengikatnya. Nah masalahnya, kalau pernikahan jadi dilakukan, si laki-laki ini akan melanjutkan kuliah ke Inggris. Sementara kalau si perempuan ikut mereka harus mengganti seluruh perolehan beasiswa yang sudah didapat oleh si perempuan. Bagaimana sebaiknya?"

Jawab : 
“Mungkin jawaban saya agak klise, tapi kita haru kembali lagi ke tujuan. Tujuan pernikahan itu apa. Pernikahan sebagai sarana ibadah. Bukan tujuan hidup kita itu menikah lalu semuanya harus ngikutin. Tapi tujuan kita tetap harus Allah, dan salah satu medianya adalah dengan menikah. Kalau pernikahan itu membuat kita jauh dari Allah, maka jangan dilakukan. Sahabat nabi, Abu Hurairah, Ibnu Sina, mereka tidak menikah. Tapi jika iya pernikahan itu dilakukan akan membuat kita lebih baik (dan dekat dengan Allah), maka lakukan."

Jawaban ini sebenarnya nggak menjawab secara langsung, tapi saya suka jawabannya :’).

baiklah, semoga bermanfaat ^^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar