Catatan hari keduabelas Ramadhan 1435 H…(bagian 1)
Hari ini, atas izin Allah, saya berkesempatan datang ke
acara talkshow yang diadakan panitia RDK (Ramadhan di Kampus). Padahal suatu
kejadian di pagi hari membuat saya nyaris membatalkan rencana untuk pergi pagi
ini. Tapi emang semuanya kuasa Allah, hanya sekejap, niatan saya berubah haluan
kurang dari waktu satu menit.
Saya tidak menyangka kalau materi talkshow ini akan berujung
pada permasalahan yang sedikit menyinggung munakahat. Lihat saja topik pada
posternya, perempuan menjawab tantangan zaman. Saya kira yang dibahas nantinya
paling seputar bagaimana kita sebagai perempuan menjawab arus globalisasi yang
terjadi saat ini. Ternyata tidak. Mmm, mungkin sedikit iya juga sih.
Ada banyak ilmu yang saya dapat hari ini, mungkin saya
kurang bisa sistemati menyampaikannya layaknya pemateri tadi menyampaikan. Tapi
semoga tetap bisa didapat kebermanfaatannya.
Acara ini diisi oleh tiga pembicara, dan pembicara pertama
cukup bisa membawa iklim acara menjadi menarik. Saya rasa sebenarnya acara ini
lebih cocok disebut seminar daripada talkshow. Baiklah, topik bahasan yang
pertama adalah konsep pemberdayaan wanita dari perspektif Islam. Bahwa saat ini
budaya barat yang sudah diadopsi oleh masyarakat kita adalah bahwa wanita
dituntut menjadi superwoman. Di mana perannya sebagai pengurus rumah tangga juga
digandakan sebagai wanita karir. Kemudian menjadi ke arah wanita sebagai single
mother, ketika ia harus menghidupi keluarga tanpa bantuan suami. Dan kemudian
pada fenomena maraknya penitipan anak sebagai solusi ketika sang ibu bekerja. Tidak
sampai disitu, penitipan anak tidak dapat dijangkau biayanya oleh beberapa
keluarga. Hal yang nyesek yang saya dengar tadi adalah bahkan ada ibu yang
sampai hati meninggalkan anaknya selama delapan jam di mobil ketika ia bekerja.
Tahu apa ujungnya? Anaknya itu meninggal. Ini kejadian nyata di luar negeri. Naudzubilahimindzalik.
Tidak ada yang salah dengan penitipan anak, selama sang ibu
tetap bisa memberi kasih sayang yang cukup. Berkaca dari sejarah, dulu
Rasulullah saw. juga disusui oleh Halimah As Sa’diyah. Tapi coba diperhatikan
lagi, bahwa Halimah adalah ibu susu yang dipilih karena punya kualitas lebih
dari ibunda Rasulullah sendiri. Halimah berasal dari suku yang bahasa Arabnya
adalah bahasa Arab yang murni. Kalau ibu Erma selaku pemateri tadi bilang, “Saya
belum pernah menemukan ada pembantu rumah tangga yang pendidikannya lebih
tinggi dari ibu kandungnya sendiri.”
Kemudian poin selanjutnya adalah tentang fakta-fakta yang
terjadi di masa ini.
Pertama, disfungsi ayah/suami.
Di poin ini saya baru tahu
kalau pendidikan adalah tanggung jawab ayah, sementara pengasuhan adalah
tanggung jawab ibu. Selama usia 0-2 tahun, peran ibu sangat penting karena di
usia ini anak masih diberi asi. Dan pemberian asi secara langsung itu penting,
karena di sini ada interaksi secara langsung antara ibu dan anak. Ketika menyusui,
sang ibu bisa memmbacakan Al Quran, membaca doa, mengajak ngobrol sang anak,
dan lain sebagainya yang akan mendatangkan kedekatan pada anak. Sementara jika
menyusu menggunakan botol, anak akan cenderung memegang botol dan berusaha
sendiri. Ia tidak berinteraksi secara langsung degan ibunya.
Sebagian ibu, merasa galau ketika punya tuntutan pekerjaan
dan anak yang masih dalam usia wajib asi. Untuk menjawab kegalauan ini, Bu Erma
bilang, kembalikan lagi pada prioritas. Apakah prioritas kita itu Allah? QS Al
Baqarah ayat 233 menyebutkan bahwa seorang ibu hendaknya menyusui selama dua
tahun penuh. Quran lho yang bilang. Sekarang kembali lagi pada diri
masing-masing, prioritasnya pada siapa? *ternyata prioritas itu nggak cuma ibadah
kayak shalat ngaji saja*
Kemudian usia selanjutnya 2-7 tahun masih menjadi tanggung
jawab ibu. Di mana pada usia ini anak masih belum mandiri. Ia belajar makan
sendiri, ke kamar mandi, dan lain sebagainya yang masih membutuhkan perhatian
dan kesabaran ibunda. Namun setelah usia 7 tahun, anak sudah mandiri, maka ibu
sudah tidak punya kewajiban lagi pada Allah dalam segi pendidikan anak. Kewajiban
ini ada pada ayah, namun karena ibu sebagai seorang istri, ketika diminta
menaati suami dalam bekerja sama mendidik anak, disitulah letak kewajibannya. Jujur
saya juga baru tahu kalau kewajiban mendidik itu lebih dititikberatkan pada
ayah. Bahkan Bu Erma bilang, ketika ayah dan ibu cerai, namun letak tinggalnya
berdekatan maka si anak bisa siang ikut ayah untuk mendapat pendidikan lalu
malam ikut ibu untuk mendapatkan perhatian dan kasih saying yang lebih. Namun jika
ayah dan ibu kemudian tinggal berjauhan, ia mestinya ikut pada sang ayah karena
padanyalah terletak kewajiban mendidik itu, sementara kasih sayang adalah hak
sang anak yang bisa didapat dari ibunya. Dan kewajiban harus didahulukan
daripada hak.
Poin kedua, fenomena bahwa istri tidak digaji.
Titel ibu rumah tangga pada kebanyakan orang masih dianggap
kurang terhormat dibandingkan jabatan karir. Padahal kalau kita sadari,
subhanallah, dari ibulah generasi yang lebih baik akan dimulai. Dan alasan kemandirian
ekonomi membuat sebagian IRT bekerja. Alasan lain yang melatarbelakanginya
seperti misalnya ketakutan jika nanti menjadi single mother (baik karena suami
meninggal maupun cerai). Padahal dalam QS Ath Thalaq ayat 6 disebutkan bahwa
meskipun sudah cerai, istri itu teta digaji (baca : dinafkahi). Sayangnya fenomena
zaman sekarang udah nggak ngikutin kaidah-kaidah yang ditetapkan Al Quran.
Di poin ini juga dibahas tentang pemisahan harta antara
suami dan istri. Bukan apa-apa, hal ini jika tidak dilakukan akan menimbulkan
kesulitan ketika salah seorang meninggal dan harus dilakukan pembagian waris. Ingat,
ahli waris bukan hanya anak, ada juga hak ayah, ibu maupun saudara-saudara. Salah-salah
jika harta istri semuanya harta suami atau sebaliknya, maka orang-orang tadi
tidak mendapatkan haknya. Ada lima hal yang termasuk harta wanita : mahar,
waris (dari orang tua, saudara, dll), hadiah, nafkah dari suami, dan upah yang
didapat dari luar. Kalau harta suami sama kayak istri tapi tanpa mahar dan
nafkah dari suami.
Poin selanjutnya, disfungsi wali.
Bu Erma bilang, seharusnya orang itu tidak usah khawatir
ketika ayahnya meninggal. Dalam konsep Islam, setiap anak yatim akan otomatis
memiliki wali. Dan wali inilah yang akan mengambil alih semua urusan sang anak.
Tapi, katanya lagi, kalau zaman sekarang mah repot ngurus wali itu cuma kalau
mau nikah *apalagi anak perempuan*. Dan dalam Islam, konsep wali itu nyata. Hal
ini perlu digarisbawahi. Ironisnya, masa sekarang ini solusi Islam masih belum diminati.
Baiklah, poinnya nggak saya bahas semua ya, nanti kalo mau
kita ngobrol aja ;)
Kemudian yang menarik dan seringkali membuat dilema kaum
hawa adalah tentang bekerja. Terutama pada para mahasiswa yang baru saja
diwisuda alias sarjana. Mana yang akan dipilih? Kerja atau keluarga?
Kalau menilik ke pembahasan tadi, perempuan itu sebenarnya
sudah ada yang menanggung. Jika bukan ayahnya, atau suaminya, maka akan ada walinya.
Maka perempuan itu pada dasarnya tidak wajib bekerja. Ia baru wajib bekerja
jika ada tuntutan syariat. Seperti apa contohnya? Misal di sebuah perkampungan
ada seorang bidan. Jika ada penduduk yang mau melahirkan, maka ia wajib membantunya,
karena ilmu yang ia miliki itu tidak ada yang dapat menggantikannya. Perempuan bekerja,
seharusnya bukan karena tuntutan materi.
Yap, ini part 1nya, part 2 dan 3 segera saya post. Kalau dijadiin satu postingan nanti kepanjangan dan bikin males baca lagi, hehe. Tapi insya Allah ilmunya tadi dapet banget. Kalau ada yang kurang jelas, sila ditanyakan :))
Fitriiii, entah kenapa postinganmu ndak masuk ke reading list-ku dan komentarku nggak ke-publish TT
BalasHapusBaca ini jadi bikin galau ya? Eh, nggak juga sih. Beberapa waktu yang lalu entah kenapaaa sempat kepikiran buat ngelakuin kayak yang kebanyakan senior aku lakuin di sini: ibu tetap kuliah S2/S3 dan anak dititip ke Hoikuen (TK sekaligus penitipan anak). Pendidikan anak bisa dilakukan usai urusan kampus selesai. Toh, banyak kakak-kakak yang "sukses" jug atuh ngedidik anaknya dgn cara begitu.
Tapi....terus aku beberapa kali dengar kajian ttg fitrah seorang wanita, baca tulisan ibu-ibu yang bener-bener ibu rumah tangga, dll yang akhirnya membuat bayangan kesuksesan mendidik anak dan jadi wanita yg sesuai fitrahnya tuh lebih penting daripada sukses di penelitian dsb. Ah entahlah
*Ya Allah, apa sih Nis, ini masih lamaa :"
hihihi dauuus >.<
Hapusyah dipertimbangin aja nis, kalau memang ilmu kamu itu blm ada yg menggantikan dan secara syariat tidak bisa digantikan oleh org lain *kaya misal bidan di suatu kampung dan cuma dia yg jadi bidan, ya itu diperbolehkan (liat di postingan lanjutan ini)
tapi tentu,,,ada hal2 berharga sama anak yang tidak tergantikan ya :")