Kamis, 10 Juli 2014

Sedikit Belajar tentang Menjadi Wanita pada Fitrahnya (Bagian 2)

Cerita hari keduabelas Ramadhan 1435 H ini...(lanjutan)
Kemudian pemateri kedua, saya tulis inti ilmu-ilmunya saja, ya J

Namanya Bu Supartiningsih. Agar tidak terlalu panjang, sayatulis Bu Ningsih saja, ya. Beliau dosen Fakultas Filsafat UGM, dan dulu pernah ngajar saya makul Pancasila semasa semester satu. Beliau cerita, bahwa bekerja baginya adalah menghasilkan kebermanfaatan bagi sekitarnya, meskipun tidak ada nominal rupiah. Dulu selepas S1, Bu Ningsih pun sama seperti kebanyakan wisudawan lainnya : bingung mau bekerja apa. Akhirnya Bu Ningsih aktif bantu-bantu kegiatan masjid, remaja masjid, isi training, dan lain sebagainya. Singkat cerita, pada suatu hari sepulang dari masjid, ada info beasiswa S2 dan kemudian Bu Ningsih mendaftar. “Karena saat itu saya nggak mampu kalau melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri. Alhamdulillah, Allah memberikan keberkahan lain dari apa yang saya maknai bekerja.”

Hal selanjutnya *makin seru nih :v* dibahas tentang peran ibu dan ayah dalam keluarga *ya ampun, saya beneran nggak nyangka kalau acaraya akan bahas topik ini, hehe*. Awalnya bermula dari bahas fenomena kaum feminis yang sekarang sudah mulai diangkat dan terlihat eksistensinya. Bahkan semboyan kaum feminis radikal, yang dalam Bahasa Indonesia kalau diartikan adalah : perempuan dengan laki-laki seperti ikan dengan sepeda. Maknanya? Ya emang nggak nyambung, dan nggak saling membutuhkan. Naudzubillahimindzalik, ya. Padahal perempuan dan laki-laki memang diciptakan berbeda karena pada keduanya Allah telah menitipkan peran dan amanah masing-masing.
Kelebihan ayah adalah, kaum laki-laki ini lebih visioner. Ia bisa merencanakan bahwa keluarga ini mau dibawa kemana. Ia kemudian bisa membuat kerangka tujuan yang akan dibangun dan dicapai oleh keluarga, kemudian ibu akan berperan pada detilnya, bagaimana mengisi kerangka tersebut untuk kemudian diterapkan di keluarga. 
Waktu disampaikan, saya cuma bisa manggut-manggut, terus entah kenapa saya langsung ingat sama Musa yang 5,5 tahun dan hafal 29 juz itu. Terus ingat kalau dari talkshownya, ayahnya emang kelihatannya lebih berperan pada membangun tujuan apa yang akan dicapai oleh anaknya, bahkan ibunya yang nggak tegaan diberi pengertian oleh sang ayah bahwa ini baik untuk Musa, dan pengertian-pengertian lainnya. Subhanallah, emang perlu kerja sama tim yang baik, ya^^!

Saya membayangkan keluarga itu kayak organisasi kecil. Kalau buat organisasi aja kita mampu kerja sama buat bikin proker dan mewujudkannya semaksimal mungkin, buat keluarga juga harus bisa. Masa proker organisasi yang palingan satu tahun masa baktinya bisa buat keluarga nggak bisa lebih serius dan sungguh-sungguh? Malu lah sama Allah. Apalagi anak itu—kalau kata tulisan di SD saya—investasi dunia akhirat.


Harus diingat bahwa, laki-laki dan perempuan diciptakan untuk memaksimalkan potensi kebaikan yang sudah Allah beri. Kalo kata QS Al Baqarah ayat 207 : “Orang yang mengorbankan diri karena mencari keridhaan Allah dan Allah Maha Penyantun bagi hambaNya.” Nggak usah takut kalau harus berkorban banyak buat anak. Waktu, tenaga, uang, dan lain sebagainya. Contoh kecilnya, anak kecil yang suka bertanya terus menerus, nggak boleh dipatahkan, karena itu bisa memutus daya kritis anak. Allah maha pemberi, penyantun bagi hambanya. Sementara rezeki itu datangnya dari Allah kan? Emang yang susah adalah pengaplikasiannya, sih. Mungkin karena kita masih sangat ‘berproses’ menjadi orang-orang yang sabar.

Oke, part 2 sampai di sini. Part terakhir tanya jawab aja sih. Tapi kayanya mending dipisah aja soalnya menurut saya kalo males baca yang part 1 sama 2 baca tanya jawabnya aja udah lumayan mewakili.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar