Cerita hari keduabelas Ramadhan 1435 H ini...(lanjutan)
Kemudian pemateri kedua, saya tulis inti ilmu-ilmunya saja,
ya J
Namanya Bu Supartiningsih. Agar tidak terlalu panjang,
sayatulis Bu Ningsih saja, ya. Beliau dosen Fakultas Filsafat UGM, dan dulu
pernah ngajar saya makul Pancasila semasa semester satu. Beliau cerita, bahwa
bekerja baginya adalah menghasilkan kebermanfaatan bagi sekitarnya, meskipun
tidak ada nominal rupiah. Dulu selepas S1, Bu Ningsih pun sama seperti
kebanyakan wisudawan lainnya : bingung mau bekerja apa. Akhirnya Bu Ningsih
aktif bantu-bantu kegiatan masjid, remaja masjid, isi training, dan lain
sebagainya. Singkat cerita, pada suatu hari sepulang dari masjid, ada info
beasiswa S2 dan kemudian Bu Ningsih mendaftar. “Karena saat itu saya nggak
mampu kalau melanjutkan kuliah dengan biaya sendiri. Alhamdulillah, Allah
memberikan keberkahan lain dari apa yang saya maknai bekerja.”
Hal selanjutnya *makin seru nih :v* dibahas tentang peran
ibu dan ayah dalam keluarga *ya ampun, saya beneran nggak nyangka kalau acaraya
akan bahas topik ini, hehe*. Awalnya bermula dari bahas fenomena kaum feminis
yang sekarang sudah mulai diangkat dan terlihat eksistensinya. Bahkan semboyan
kaum feminis radikal, yang dalam Bahasa Indonesia kalau diartikan adalah : perempuan
dengan laki-laki seperti ikan dengan sepeda. Maknanya? Ya emang nggak nyambung,
dan nggak saling membutuhkan. Naudzubillahimindzalik, ya. Padahal perempuan dan
laki-laki memang diciptakan berbeda karena pada keduanya Allah telah menitipkan
peran dan amanah masing-masing.
Kelebihan ayah adalah, kaum laki-laki ini lebih visioner. Ia bisa merencanakan bahwa keluarga ini mau dibawa kemana. Ia kemudian bisa membuat kerangka tujuan yang akan dibangun dan dicapai oleh keluarga, kemudian ibu akan berperan pada detilnya, bagaimana mengisi kerangka tersebut untuk kemudian diterapkan di keluarga.
Waktu disampaikan, saya cuma bisa
manggut-manggut, terus entah kenapa saya langsung ingat sama Musa yang 5,5
tahun dan hafal 29 juz itu. Terus ingat kalau dari talkshownya, ayahnya emang
kelihatannya lebih berperan pada membangun tujuan apa yang akan dicapai oleh
anaknya, bahkan ibunya yang nggak tegaan diberi pengertian oleh sang ayah bahwa
ini baik untuk Musa, dan pengertian-pengertian lainnya. Subhanallah, emang
perlu kerja sama tim yang baik, ya^^!
Saya membayangkan keluarga itu kayak organisasi kecil. Kalau
buat organisasi aja kita mampu kerja sama buat bikin proker dan mewujudkannya
semaksimal mungkin, buat keluarga juga harus bisa. Masa proker organisasi yang
palingan satu tahun masa baktinya bisa buat keluarga nggak bisa lebih serius dan
sungguh-sungguh? Malu lah sama Allah. Apalagi anak itu—kalau kata tulisan di SD
saya—investasi dunia akhirat.
Harus diingat bahwa, laki-laki dan perempuan diciptakan
untuk memaksimalkan potensi kebaikan yang sudah Allah beri. Kalo kata QS Al
Baqarah ayat 207 : “Orang yang mengorbankan diri karena mencari keridhaan Allah
dan Allah Maha Penyantun bagi hambaNya.” Nggak usah takut kalau harus berkorban
banyak buat anak. Waktu, tenaga, uang, dan lain sebagainya. Contoh kecilnya, anak kecil yang suka bertanya terus menerus, nggak boleh dipatahkan, karena itu bisa memutus daya kritis anak. Allah
maha pemberi, penyantun bagi hambanya. Sementara rezeki itu datangnya dari
Allah kan? Emang yang susah adalah pengaplikasiannya, sih. Mungkin karena kita
masih sangat ‘berproses’ menjadi orang-orang yang sabar.
Oke, part 2 sampai di sini. Part terakhir tanya jawab aja sih. Tapi kayanya mending dipisah aja soalnya menurut saya kalo males baca yang part 1 sama 2 baca tanya jawabnya aja udah lumayan mewakili.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar