Kerjaan kontenku belum kelar. Rencana ke kantor kutunda dengan kemalasanku yang kusadari dan bodohnya kuturuti*laptopku kutinggal di kantor btw. Aku seharusnya sudah tidak terlarut lagi pada pikiran-pikiran rumit yang kuciptakan sendiri.
Tadi, aku malas sekali buka perpus. Masih kebawa malas sebelum-sebelumnyalah. Dan dari beberapa yang kujapri, tidak bisa gantiin. Ummi juga mau pergi silaturahmi. Lalu aku dadakan dapat peng-iya-an dari kakak yang mau kuwawancara lewat telpon dan kakaknya bisanya sore.
Akhirnya, aku bilang nitip tempel tulisan buka jam setengah lima.
Jam setengah lima. Telpon selesai. Aku berkemas. Hujan turun super deras.
Aku hendak urung saja rasanya. Malas sekali ya ke perpus juga.
Tapi ingat kata-kata Ummi waktu tadi aku bilang tutup aja apa ya....
Kasihan anak-anak.
Akhirnya mantap aku ambil payung dan berjalan. Belum jauh dari rumah, baru sampai beberapa rumah samping rumahku saja, gamisku sudah basah di bagian depan bawah. Kaos kaki jangan ditanya.
Tapi mendekati perpus, anak-anak berhimpit meneduh. Ah, rasanya bersalah, sekaligus menghargai mereka. Mungkin tepat waktu pukul empat mereka sampai. Atau, untuk anak-anak yang sangat excited, biasanya sebelum waktunya sudah mondar-mandir tak sabaran. Mereka tentu baru tahu waktu buka diundur ketika sampai. Excited yang membuat dan menggerakkan mereka untuk datang.
Kita orang dewasa, punya gadget, mudah komunikasi untuk janjian waktu. Tapi sulit menghargai waktu. Telat. Bahkan lupa bilang dari awal izin jika telat. Sudah lupa kenapa penting menghadiri agenda yang butuh diri ini di sana.
Anak-anak. Seexcited itu mereka datang. Tidak sabaran mengembalikan dan mencari buku baru. Datang tepat waktu. Tahu betapa pentingnya buku, sekalipun hanya untuk kesenangan pribadi. Maka, mungkin mereka kecewa ketika tahu perpus bukanya telat. Dan baru tahu ketika sampai. Kita orang dewasa, yang punya gadget untuk bertukar kabar, seringkali lupa menghargai waktu dan orang lain untuk konfirmasi. Lupa betapa pentingnya waktu orang lain yang sudah lebih dulu ada. Lupa pentingnya adab berakad, berjanji, mengiyakan di awal bisa jam sekian.
Lalu pandai membuat alasan. Kalau tidak ada, ya dicari-cari. Untuk telat, bahkan tidak datang.
Excited mereka tertuang dalam laku. Bukan hanya bualan belaka kata-kata. Bukan yang kalau terhalang pun memilih bilangnya nanti saat sudah tiba saja, meskipun terlambat. Menzalimi hak-hak orang lain. Bukan excited yang hanya bilang mau tapi nggak gerak buat dapat kesempatan, nggak gerak buat mewujudkan.
Semoga kita mau merendahkan diri dan belajar dari anak-anak. Setua apapun kita.
Dan tentu saja, ini pelajaran untuk saya sendiri.
---
Jadi inget, suatu waktu temen cerita. Saya sekian tahun menikah, paling bersyukur sama omelan istri.
Lalu aku heran. Baru kali ini aku dengar yang sejenis itu. Waktu aku SMA (karena SMP tidak ada laki-laki) aku pernah menangkap gelagat tidak suka teman lelakiku waktu diingetin perempuan, pas praktikum Kimia apa Fisika gitu. Lalu aku langsung pars pro toto (oh itu nama majas), aku pikir semua laki-laki ndak suka diingetin perempuan. Entah, mungkin merasa harga dirinya jatuh. Terus kadang aku merasa nggak enak ngingetin cowok, kadang sampe kebawa takut nikah kalau nggak sama-sama mau nundukin ego buat perbaikan satu sama lain (bukan aku mau ngomel loh ya-,-), dan takut kalau punya masukan gak diterima.
Lalu aku bilang ke beliau, kalau dulu aku ngalamin itu dan aku bilang juga baru pertama kali denger bersyukur diomelin istri.
Kata dia, kata ustadz Salim A Fillah, kalau laki-laki diingetin malah marah, itu laki-lakinya yang kurang soleh .
Kenapa cerita bawahnya lebih panjang, padahal kenapa inget cerita ini karena di ending si temen ini bilang, jadi siapapun yang ngingetin kita, bahkan anak sendiri, bahkan (sebutnamaanak) yang masih kecil, harusnya kita bisa nerima.
Ya, intinya belajar dari anak-anak sore ini.
Sekian, tulisan soal kemarin belum jadi. Belum ditulis bahkan. Hmm perlu nggak ya?
Masih hujan. Mari berdoa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar