You would be a great mother.
-
Seseorang mengulum kalimat itu. Ia tulis sembari dibisikkan. Ia menulis kalimat itu pada sebuah kertas yang kemudian dilipat dua kali menjadi ukuran seperempat ukuran semula. Ia simpan di common placenya.
Kalimat itu bisa dituliskan oleh siapa saja untuk perempuan yang dipercayainya. Hubungan keluarga, ayah atau ibu pada anak perempuannya, suami pada istrinya, atau hubungan persahabatan, kepada sahabat perempuannya.
Kalimat itu beserta potongan-potongan kisah selanjutnya terngiang sepanjang perjalanan pulang Selasa pekan lalu saat memotong belok di tole iskandar. Yang membuat saya membenak tentang percaya. Iya, tentang percaya.
-
Ada salah satu hal yang disampaikan di sesi sharing keluargakita yang berbunyi, sama anak itu, percaya aja dulu, nanti dia akan menunjukkan sendiri pada kita bahwa ia bisa melakukannya. Percaya dulu bahwa anak akan bisa berjalan. Walau ia masih tertatih, nanti ia akan tunjukkan bahwa ia bisa berjalan. Percaya anak akan memberikan kemampuan dirinya yang terbaik saat mengikuti lomba, tampil di penampilan, dan lain sebagainya. Nanti anak akan tunjukkan.
Bukan kebalikannya. Bukan baru percaya saat anak melakukannya, sementara sisanya kita meragukan dan bahkan malah menunjukkan ketidak percayaan kita pada anak sebelum anak itu melakukannya. Hemat saya, saya jadi berpikir bahwa rasa percaya memberi energi, jauh dari yang semula dibayangkan.
Dulu waktu skripsi, saya ada pada ambang batas nggak ngerti lagi harus diapain. Kalau pernah baca cerita saya di sini (terus jadi nemu banyak cerita menarik dengan keyword skripsi, bahkan yang ga berhubungan sekalipun), saya udah nggak tahu lagi akan ada takdir apa setelahnya. Saya berdoa kalau saya layak buat lulus, semoga Allah luluskan. Kalau saya nggak layak, semoga Allah kuatkan dan ikhlaskan hati saya jika harus mengulang sidang (beberapa bulan sebelumnya ada yang nggak lulus sidang soalnya dan itu jadi kekhawatiran sendiri untuk saya), dan semoga nggak ada temenyang nonton, saking takutnya waktu itu.
Saya ingat setakut itu sama skripsi, sampai nggak mau kabarin siapapun saya sidang saking takutnya malah diledek padahal mereka nggak tahu bahwa saya ngumpulin draft sekedar untu mendaftar. Draft itu belum ada hasil penelitiannyaaaaa, bahkan datanya pun belum dapat lengkap kalau tidak salah :") can you imagine betapa paniknya? Setakut dan sekhawatir itu. Menelepon Ummi hanya menangis isinya. Berdoa kuat-kuat di mushala teknik yang sepi (sidang saya mendekati libur natal sekaligus minggu tenang ujian) dan berpikir udah sepasrah itu, terserah Allah kasih apa, saya percya itu yang terbaik.
Allah kasih saya lulus sidang dengan revisi. Itu keputusan Allah. Malamnya, saat mengobrol dengan Afifah di parkiran motor, aku cerita segala turun naik fase skripsi itu. Dan kami sampai pada kalimat yang intinya, sepaasrah itu aku sama Allah udah nggak ngerti lagi harus bagaimana.. Tapi di atas itu semua, membuatku berpikir, bagaimana membangun kepercayaan sama Allah dalam menumbuhkan anak. Karena itu tentu dibangun perlahan sedari kecil. Kepercayaan yang seyakin itu apapun Allah kasih, pasti yang terbaik untuk hambaNya dalam kacamataNya. Obrolan kami menggantung di langit-langit. Tanpa kesimpulan dan jawaban Tapi masih teringat sampai saat ini, menumbuhkan kepercayaan itu penting sekali pada setiap manusia. Dan percaya itu, makna iman bukan? Yang punya banyak konsekuensi ketaatan setelahnya. Alhamdulillah kala skripsi saya pada akhirnya memasrahkan segalanya ke Allah, tapi itu belum menjamin apaka saya bisa selalu begitu bahkan pada titik terendah saya. Tidak menjamin saya bisa menanamkan hal yang sama pada anak-anak saya kelak. Namun tentu saya berharap, semoga kelak Allah mampukan. Aamiin.
Lalu aku jadi ingat cerita seorang teman. Ia pernah cerita bahwa ayahnya kerjanya jauh, di ujung Sumatera kala itu kalau tidak salah, sementara keluarganya di Depok. Ayahnya pulangnya jarang-jarang. Lalu ia pernah bertanya pada ibunya,,"Bu, kok bisa sih Ibu percaya kalau Ayah nggak akan macam-macam, nggak akan nyeleweng di sana?" Aku lupa jawaban persisnya, tapi intinya ibunya ini percaya sama ayahnya dan bilang, kalau ibu mikir gitu ibu jadi suuzon dong, malah dosa. Ya Ibu mikir yang baik-baik aja. Itu kepercayaan Ibunya teman saya dan temen saya bilang, iya juga ya kalau suuzon malah dosa nanti. Hm, bener juga.
Saya jadi ingat suatu ketika menjelang suatu acara, salah seorang teman baik saya tidak ada kabar. Padahal acara itu sangat penting. Saya tahu sesuatu yang besar mesti terjadi padanya. Sampai saya berangkat hari Jumat (acaranya Sabtu Ahad), dia sama sekali tidak ada kabar. Rasanya apa? Sedih sekali. Apalagi saya waktu itu semacam punya tanggung jawab lebih atas teman saya ini. Pun semua orang yang tak tahu kabarnya bertanya pada saya. Ya Allah rasanya tuuuuh.
Cuma satu yang saya punya selain mendoakan, entah bagaimana, saya percaya saja ia akan datang. Entah gimana akhirnya. Kalau Allah gak kabulin saya hanya mikir yaudah. Saya bahkan gak berpikir ini akan memberi energi, tapi itu yang terjadi. I don't think of it but it would be. Cuma itu yang akhirnya saya curhatin ke Kak Mars waktu itu, aku cuma percaya, gak tahu gimana.
Pada akhirnya, temen saya ngabarin dan meminta saya mengkeep kabarnya, bahwa ia akan datang hanya untuk Sabtu dan sampai sore saja. Jeder. Dilema lagi saya. Teman saya hanya bisa datang sepersekian acara dan sisanya ia akan kabur gitu? Aku benar-benar bingung. Tapi singkat cerita, dia pamit baik-baik dan ternyata akhirnya bisa dilobi, pulang dengan kendaraan paling malam hari itu. Aku bantu mencarikan. Kami dapat untuk jam 23.15, kalau tidak salah. Aku lega, dan berterima kasih pada segala pihak yang telah membantu.
Lalu aku juga jadi keikir, kalau orang memilih sesuatu itu, titik beratnya kayaknya bukan hanya soal memilihnya, tapi tentang percayanya. Memilih kuliah di suatu tempat, karena percaya bidang itu yang akan ia geluti, atau bidan itu yang ia betah terhadapnya. Orang tua memilih sekolah anaknya, karena percaya sekolah inilah yag terbaik untuk anaknya tumbuh, belajar, mengenal Allah dan Islam, berinteraksi dengan teman-teman yang baik pula pada suatu institusi yang kondusif. Teman saya memilih kerja di Badr bukan di perusahaan lain yang juga menerimanya, karena jawaban istikharahnya. Dan saya entah bagaimana berpikir bahwa ia percaya bahwa dari jawaban istikharahnya itu Badr akan menjadi tempat bekerja yang mendekatkan dia sama Allah (karena waktu itu ia sempat bilang juga mau belajar Daud). Percaya bahwa ada kebaikan yang dipilihkan Allah. Juga ketika seseorang meninggalkan sesuatu yang tidak baik, karena percaya bahwa i berhak atas sesuatu yang lebih baik. Ketika seseorang memutuskan dan memilih untuk menghubungi teman lamanya, meminta maaf. Karena ia percaya, nanti akan melegakan. Respon temannya bagaimana, ia mungkin sudah tak peduli. Ia lakukan saja dulu apa yang membuatnya percaya. Juga seperti saat supervisor memberikan amanah pekerjaan, atau perusahaan sedang seleksi karyawan. Tentu memilih seseorang pada role tertentu karena percaya ia layak dan cakap pada role tersebut, insya Allah. Sehingga pede lah si perusahaan manggil salah satu atau salah sekian di antara orang-orang yang diinterview.
Pun pada urusan memilih-memilih yang lainnya. Pada akhirnya, akan memilih sesuatu karena percaya akan sesuatu. Semoga jika kelak kita yang diberikan kepercayaan, kita tidak menyianyiakan kepercayaan yang diberikan. Aamiin
Saya waktu terngiang-ngiang kalimat yang pertama itu (yang great mother), saya ingat cerita-cerita yang saya tulis setelahnya ini. Bahwa percaya seperti memberikan kekuatan lebih gitu, ya rupanya.
Lalu ini kan pikiran Selasa 12 Maret lalu. Tapi terlalu lelah waktu itu untuk menuliskan dan mengeposnya setelah pulang. Lalu jumatnya aku melihat tulisan Icas di instagramnya.• Trust and Appreciate •
Semakin hari Saya menyadari bahwa menikah dapat memunculkan kebaikan dan potensi diri yg belum pernah ada atau belum terasah sebelumnya. Hal2 yg tdk bsa kta lakukan, tdk kta sadari, atau tdk kta sukai sebelumnya, perlahan bisa berubah. Seperti ketika sebelum menikah, bsa dipastikan Saya hanya ke dapur untuk masak mie dan goreng telor (meskipun sudah cukup sering membuat roti-donut-pizza). Lebih banyak menghabiskan wkt di luar rumah seolah jd pembenaran diri Saya untuk tidak mencoba belajar salah satu skill yg penting bagi perempuan dan calon ibu, yaitu memasak (jgn ditiru yaa :p).
Saat ta'aruf, Saya sampaikan di CV bahwa salah satu kekurangan diri adalah belum bisa memasak. Sampai H-1 menikah Saya ke dapur dan 'training' sama Ummi cara memasak sayur dan Ummi mengajari dg cara yg mudah Saya pahami. Hingga akhirnya Saya menikah, dan tinggal hanya berdua dg suami di Surabaya selama bbrp pekan. Suami tahu bahwa Saya blm bsa memasak, tp dari wajahnya sama sekali tdk ada ekspresi meragukan istrinya ini. Masih ingat betul kami belanja sayur dan lauk pauk ke warung pagi itu, lalu suami pasang2 kompor dan gasnya sedangkan Saya meracik sayur dan lauknya.
Masakan pertama Saya, dicicipi langsung oleh suami. Katanya enak, meskipun Saya tahu dia hanya memuji, tp melihatnya makan dg lahap dan cara dia menghargai masakan Saya membuat Saya sangat bahagia saat itu. Dan rasa bahagia itu terulang setiap harinya sampai hari ini, setiap Saya memasak utknya. Tdk cukup sampai di situ, suami jg memberi Saya challenge utk memasak masakan yg berbeda setiap harinya (lalu mengabadikan masakan Saya dlm foto yg masih disimpan di hpnya), entah mengapa Saya sangat bersemangat menjalankan challenge itu dan bsa tercapai jg alhamdulillah :)
Hingga saat ini kami tinggal di Swedia, dg bahan makanan tdk selengkap di Indonesia, makanan halal yg sangat terbatas, tdk ada warung makan pinggir jalan apalagi go-food dsb membuat diri ini harus lebih kreatif mengolah masakan. Namun kembali Saya menyadari, bahwa mungkin saja Saya tdk akan seantusias ini utk belajar memasak dan mencoba menu masakan baru tanpa kepercayaan dan apresiasi darinya, yg tercinta :) #IcasTyar
sumber: https://www.instagram.com/p/Bu_E1QElkfw/Waktu baca tulisan Icas, kerasa banget percaya bisa menjadikan apa yang sebelumnya tidak bisa jadi terwujud. Dengan izin Allah tentunya. Dukungan pasangannya yang kuat sangat membantu. Tekad untuk berubah yang lebih baik dari Icasnya juga tentu menjadi syarat wajib untuk bisa menciptakan berubah itu. Anyway, aku pos ini karena ngepas aja. Kalau Selasa pekan lalu udah ketulis tulisan ini pun aku insya Allah akan pos tanpa perlu lihat ig Icas dulu.
Tapi kerasa, rasanya kekuatan percaya :")
*btw, boleh aja sih ga setuju, hehe. Ini lintasan-lintasan pikiran sepanjang perjalanan pulang aja waktu itu.
terngiang sejak Selasa, 12 Maret
pulang bakda magrib dan abis KIP
masih ada terngiang-ngiangku soal Alquran
obrolan sama teman tahun lalu
yang kembali tertrigger KIP kemarin
ckck, obrolan tahun lalu loh
Tidak ada komentar:
Posting Komentar