Kamis, 09 Mei 2019

Mencari Keberkahan Waktu

Waktu itu Abidah izin nelpon, dia bilang hanya 10 menit, rupanya jadi sekitaran 30 menit.
Maret, sebelum ke Klaten. Saat banyak deadline mampir dan menghampiri. Saat rasa-rasanya ragu, apakah bisa semua konten selesai sebelum April, lalu cetak dummy dsb. Apakah kalau ikut ke Klaten (tadinya aku pikir aku nggak ikut), aku tetap bisa submit naskah buat seleksi pelatihan, tetap bisa handle kepanitiaan acara. Dan apakah bisa semua berjalan sesuai timeline. Termasuk targetan testing dan development yang belum usai.

Lalu aku bilang soal mencari keberkahan waktu, yang kala itu pernah jadi status whatsappku. sekaligus reminder buat diri sendiri. "Bid," kubilang, "Di kayak gini aku cuma bisa berharap sama keberkahan waktu."

Aku ndak mau alasan-alasan kesibukan atau pekerjaan yang satu jadi mematikan pekerjaan yang lain, atau jadi alasan untuk ga jadi submit naskah, atau jadi alasan untuk membatalkan amanah yang sudah diambil sebelumnya. Is it easy? Tentu saja tidak. Nguatin diri sendiri bahwa ini sekarang waktunya buat aktivitas yang lain, bukan lagi kerjaan, kadang-kadang ya ada penolakan juga. Tapi memang perlu diingat lagi itu adalah hak tubuh yang lainnya. Kuatin niatnya, inget tujuannya. Kan hidup orientasinya nggak satu kerjaan aja terus hidup mati di sana. Ada aktivitas lainnya yang bisa jadi itu justru jadi pemberat amal kita.

***

Dulu waktu kelas 9, tarawih di masjid sekolah. Ramadhannya beririsan sama masa-masa UTS atau UAS entahlah, namun intinya sama: pekan ujian.

Ada sekumpulan adik-adik kelas, kelas 7 yang  hanya ikut takbiratul ihram, lalu saat jamaah sudah shalat--mungkin saat sudah mulai Al Fatihah, mereka membatalkan shalatnya, duduk, membaca buku. Aku ingat sekai cover hijau putih berjudul, IPS Terpadu. Aih, mungkin tidak tepat disebut bata kalau dari awa memang hanya berpura-pura, agar terlihat guru yang ikut shalat di masjid.

Adik-adik ini belajar. Untuk ujian. Meninggalkan tarawih dan mereka masih di shafnya. Nanti saat tarawihnya mendekati salam, mereka akan duduk umpama orang tahiyat, lalu ikutan salam. Sehingga guru asrama yang ada satu shaf depan mereka tidak akan menangkap kegiatan curi-curi waktu yang mereka gunakan selama shalat tarawih untuk belajar ujian. Sedih sekali melihatnya

Aku tidak ingat apakah momen ini atau ada momen lain, atau siapa yang memberi nasehat, yang memberikan aku insight bahwa semua punya waktunya masing-masing. Semua punya porsinya.

Ada waktu ibadah, ada waktu mendengar ceramah, ada waktu tilawah, ada waktu belajar di kelas, ada waktu diskusi, ada waktu belajar dalam forum, ada waktu mandiri, ada waktu makan, semua punya porsi waktunya.

Dan aku lupa momen apa yang membuatku berusaha menerapkannya.

Sehingga saat aliyah, saat ada kajian bada subuh di masjid sementara hari itu ulangan. Aku berusaha tidak membaca catatan kecil atau buku catatan-yang semula bisa dibawa ketika menunggu atau nanti dibaca di perjalanan. Ini waktunya kajian bada subuh. Dengarkan. Dengarkan dengan baik, tidak disambi.

Atau juga saat muhadharah bada zuhur. Dengarkan, tidak disambi belajar. Tidak ditinggal tilawah mengejar targetan. Usahakan. Atau ketika ceramah tarawih, kadang aku melihat ada saja orang yang memiih tidak mendengarkan dan mengejar targetan tilawahnya. Tapi aku berusaha menanamkan pada diri bahwa, ini sekarang haknya penceramah untuk didengar, haknya aku untuk mendapatkan pelajaran Jadwalnya saat ini ceramah tarawih, bukan waktunya tilawah. Sehingga, nggak jadi baper juga kalau tilawahnya udah kekejar sama yang lain. Toh ada yang kita penuhi haknya pada saat yang sama.

Karena setiap waktu punya porsinya, dan setiap agenda ada waktunya.

Kadang rasanya memang gemas, kayak, aku pengen banget belajar ini, tadi belum selesai belajarnya. Baca pas kajian aja apa ya? Menyingkir ke ruang permadani (perpustakaan masjid insan cendekia) aja apa ya habis shalat? Biar nggak keliatan-keliatan amat kalau ada yang di mimbar kalo lagi sibuk sendiri.

Tapi pengalaman tadi waktu mts atau entah pengalaman yang mana membuatku sampai hari ini percaya bahwa ada hak-hak dan kewajiban yang perlu ditunaikan. Hak untuk menuntut ilmu, kewajiban mendengarkan dan menghargai orang lain yang berbicara dan mengisi, hak tubuh untuk dicharge imannya, untuk belajar.

Apa tidak khawatir nanti ulangan nggak bisa? Atau sebel sendiri karena waktunya bisa dipakai (egois) untuk mengisi diri sendiri pelajaran yang mau diujianin?
Tentu saja khawatir.
Makanya berharapnya hanya pada keberkahan waktu. Minta sama Allah dikasih keberkahan waktu. Agar pada waktu yang sempit, yang sedikit, yang terbatas, Allah kasih keberkahan. Allah beri kemudahan. Karena diri ini mau berusaha memenuhi hak-haknya. Keberkahan waktu, udah itu aja satu-satunya alternatif biar masih bisa mengusahakan apa yang perlu diusahakan, dan memenuhi hak terhadap waktu yang sudah dijadwalkan, oleh sistem, oleh hal-hal yang diikuti, dan lain sebagainya.

Jadilah waktu itu, di tengah segala kekhawatiran dan ketakutan akan melewati deadline, akan banyak hal yang kelewat, akan banyak hal yang nggak memenuhi ekspektasi, akan batas watu yang semakin dekat sementara pekerjaan meminta banyak, juga amanah yang belum tuntas di suatu kepanitiaan, cuma bisa mengarahkanku pada: meminta keberkahan waktu sama Allah, meminta keberkahan waktu dari Allah.

Biar Allah yang kasih jalannya, dan diri ini masih bisa memenuhi amanah-amanah di berbagai tempat. Sekitaran ke Klaten itu, aku pusing banget rasanya. Load testing, load konten, deadline ikutan seleksi pelatihan menulis, load pegang amanah jadi ketua acara dan CP konfirmasi peserta yang meski ga gede-gede banget aku tahu aku nggak maksimal di situ, bahkan udah ga mampu merekap peserta sepulang dari bandara di Damri. Sudah terlalu lelah.

Tapi yang bisa diusahakan, hari H acara tetap standby sama acaranya, nggak nyambi ngerjain yang belum selesai. Habis itu ngejar targetan dan naskah buat seleksi, ke kantor, ngusahain biar kondusif. Berusaha nggak pake nyalah-nyalahin kenapa awalnya nggak perlu ke klaten jadi harus ikut, atau ngga pake nyalah-nyalahin kenapa aku mau jadi ketua dan ga izin aja, dsb dsb.

Yang aku akui masih belum mampu, belum bisa kayak yang Kak Ridho suka bilang, "Ane kerasa banget, kalau kualitas ibadahnya nurun, produktivitas kerjanya juga nurun." Ini senada sama postingan lalu-lalu yang aku nanya ke Ima gimana biar tilawahnya bsia teratur. PR banget ini masihan buatku.


Hem, mungkin ada yang melihat aku terlihat strict ya. Atau kok kayaknya kaku banget.
Tapapa. Hanya berusaha menempatkan hal-hal pada tempatnya.
Meski ku tahu kujuga masih proses belajar ke sana. Ke kondisi ideal itu. Banget.

Fitri,
yang masih belajar
sudah lama tulisan ini ingin ditulis

2 komentar:

  1. Dear Fitri, terima kasih sudah menulis ini. Semoga selalu diberikan Allah keberkahan waktunya :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Dear Memey, terima kasih sudah datang dan membaca. Aamiin aamiin, untukmu juga ya my dear <3

      Hapus